Eh, Pistol Lari!

Dear pembaca Linimasa,

Apa kabarmu? Kabarku baik-baik saja.

Dear pembaca Linimasa,

Aku tidak bermaksud mengajakmu menyanyikan lagu “Sunny” yang pernah populer 10 tahun lalu oleh Bunga Citra Lestari dengan membaca kalimat di atas. Memang mirip sih. Pertama kali aku mendengarkan lagu itu, aku bertanya-tanya, “ini maksudnya apa sih? Nanya kok abis itu dijawab sendiri.” Baru setelah beberapa kali mendengarkan lagu itu, aku jadi paham, kalau lirik lagu itu bermaksud meniru isi surat.

Nah, kalau berbicara tentang surat, kapan kamu terakhir kali menerima surat?

Bukan surat elektronik atau e-mail, tapi surat yang ditulis tangan. Apakah kamu masih ingat, kapan terakhir menerima, atau membuat dan mengirimkan surat?

Dear pembaca Linimasa,

Aku bertanya padamu, karena belakangan ini aku keranjingan membaca buku-buku, terutama novel, yang ditulis dengan gaya epistolary. Setengah mati aku menghapal kata ini. Sampai akhirnya aku menemukan formulanya, yaitu satu kata ini dipenggal jadi tiga bagian yang ada padanannya dengan bahasa Indonesia. “Eh”, “pistol”, “lari”. Hehehe. Curang ya? Namanya juga menghafal kata yang jarang kita pakai sehari-hari. Makanya, judul tulisan, eh, surat ke kamu ini pakai penggalan kata-kata itu. Maaf ya.

Dear pembaca Linimasa,

Setelah aku google, yang dimaksud karya epistolary ini adalah karya tulis naratif yang dibuat dalam bentuk dokumen. Kebanyakan surat. Bisa juga surat elektronik, telegram, jurnal buku harian, atau dokumen lain. Jadi, satu cerita dalam buku diceritakan lewat surat. Bukan sekedar kumpulan surat lho, ya.

Penyebabnya, waktu itu aku iseng mengambil buku yang belum terbaca di rak buku. Terambillah buku berjudul “Black Box”. Penulisnya bernama Amos Oz. Dia orang Israel. Aku lupa kapan pernah beli buku ini. Lalu aku mulai baca.

Black Box by Amos Oz (source: Amazon.com)

Ternyata satu buku isinya korespondensi antara seorang perempuan dengan mantan suaminya, lalu suami perempuan itu dengan si mantan suami istrinya, lalu anak laki-laki mereka dengan bapaknya. Setting ceritanya berkutat di Jerusalem, beberapa kota di Israel, di London dan New York, di pertengahan tahun 1970-an.

Tahu nggak, apa yang terbayang pertama kali di kepala apa saat membacanya? Aku risih, lho. Habis baca surat orang seperti mengintip hal yang personal dari kehidupan personal mereka, gitu.
Tapi kok ya aku baca terus sampai habis. Padahal isi surat-surat itu banyak marah-marah.

Dan dari situ aku baru sadar, by nature kita itu orangnya kepo, ya? Suka ingin tahu kehidupan pribadi orang lain. Ini juga yang aku baca dari beberapa ulasan soal novel “Black Box” ini. Bahwa dari surat, pembaca bisa tahu secara detil kehidupan pribadi dari orang-orang yang berada di periode tertentu, yang tidak bisa didapat dari sekedar membaca koran, atau dokumen fakta lainnya. Meskipun itu disampaikan dalam karya fiksi, yang merupakan ciptaan dari penulisnya berdasarkan kehidupan nyata. Bener juga, sih.

Dear pembaca Linimasa,

Sejak selesai membaca buku itu beberapa minggu lalu, akhirnya aku mencari buku-buku serupa lainnya. Yang paling memuaskan adalah saat membaca ulang “The Perks of Being a Wallflower” karya Stephen Chbosky. Nama belakangnya susah ya, sampai aku harus cek ulang berkali-kali.

The Perks of Being a Wallflower by Stephen Chbosky (source: Pinterest)

Persis sama seperti baca novelnya yang sudah kesekian kali. Dulu awal-awal baca dan baca ulang karena isi ceritanya. Sekarang aku baca lagi karena penasaran dengan formatnya. Si tokoh utama, Charlie, menulis surat ke seseorang antah berantah hampir setiap hari, menceritakan pengalaman hidupnya. Akhirnya surat-surat itu tersusun menjadi cerita tentang pengalaman Charlie tumbuh dan berkembang menjadi remaja dengan segala kondisi psikis yang harus dia hadapi.

Semuanya diceritakan dari sudut pandang Charlie yang mengamati lingkungan sekitarnya, termasuk dirinya. Kita hanya bisa tahu dari sudut pandang Charlie, ya karena kita sedang membaca surat.

Dear pembaca Linimasa, terutama yang kelahiran tahun 1995 ke atas,

Ada masanya di mana kita dulu menulis surat, bukan email atau chatting. Kita bisa menulis surat berlembar-lembar dengan tulisan tangan kita. Apa nggak pegel tangannya, mungkin kamu penasaran. Pegel, sih. Kalau pegel, ya berhenti sebentar. Lalu kita melanjutkan menulis lagi. Satu surat bisa ditulis berjam-jam, bahkan seharian.

Lalu kita kirim surat itu. Tergantung tujuan pengiriman, bisa sampai berhari-hari kemudian, atau berminggu-minggu. Lalu kita menunggu balasan surat itu … kalau dibalas. Balasannya pun bisa datang berminggu-minggu, atau berbulan-bulan kemudian. Toh kita sabar menunggu, karena hidup tidak melulu ditujukan buat menunggu balasan surat.

Ada yang menarik dari surat, terutama dari sifatnya yang sangat personal.
Sediakan kertas kosong dan pena, maka dalam waktu kurang 15 menit saja, seseorang akan mulai menulis atau menggambar. Yang hobi menggambar akan memenuhi kertas tersebut dengan coretan gambar, yang hobi menulis akan memenuhi kertas dengan guratan cerita, atau menulis surat.

Tidak percaya? Coba sesekali kamu ambil buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ini bukan kisah fiktif, tapi beneran surat-surat Kartini. Waktu aku baca ulang buku ini awal tahun lalu untuk kepentingan riset, yang ada aku malah heran, “Kartini kok ya kuat nulis segini banyak? Apa karena dia dipingit? Dan gak ada hiburan lain?” Beberapa surat malah repetitif, tapi bisa dimaklumi, karena dikirim ke orang yang berbeda.

Dear pembaca Linimasa,

Setelah membaca ulang beberapa novel dengan gaya epistolary ini (yang masih aku penggal dengan pengucapan “eee, pistol lari!”), aku semakin tertarik dengan elemen surat sebagai penyambung cerita. Korespondensi paling personal ternyata bisa mengungkap begitu banyak kejadian dalam kurun waktu tertentu, dan karakter-karakter yang bisa berkembang dan berubah. Surat pun membuat kita tidak malu-malu dalam bertutur.

Beberapa tahun lalu, aku pernah menonton film 84 Charing Cross Road. Yang main Anthony Hopkins (si Hannibal Lecter itu), dan Anne Bancroft, yang pernah jadi Mrs. Robinson di film The Graduate. Tahu nggak filmnya tentang apa? Tentang korespondensi antara penulis di New York (Anne Bancroft) dengan pemilik toko buku bekas di London (Anthony Hopkins) selama 20 tahun! Udah, itu “aja”.

85 Charing Cross Road by Helen Hanff (source: ThingsThatMadeAnImpression.wordpress.com)

Ternyata filmnya diangkat dari novel berjudul sama, yang dibuat dari korespondensi nyata antara penulis novel itu, Helen Hanff, yang memang pernah surat-suratan sama pemilik toko buku bekas di London in real life, selama 20 tahun juga!
Hebat ya?

Dan kita nggak bosen baca novelnya, demikian juga pas nonton filmnya. Sepertinya membaca tulisan atau melihat tontonan visual yang diangkat dari tulisan yang dibuat dengan hati, tidak akan membuat kita jenuh mengikuti ceritanya.

Seperti juga saat menonton film The Lunchbox. Kalau yang ini, memang film dengan cerita asli, tidak diangkat dari buku atau novel manapun. Film India yang sangat aku suka banget banget banget. Ceritanya tentang istri yang setiap hari kirim rantang makanan makan siang suaminya, tapi suatu hari, rantangnya salah kirim ke pria lain. Akhirnya si istri orang dan pria lain ini surat-suratan, ninggalin surat di rantang. Mereka tidak pernah ketemu, tapi isi surat itu, yang dijadikan voice over narration sepanjang film, malah jadi menarik buat diikuti. Namanya juga bahasa tulisan ya. Banyak yang bisa kita ungkapkan lewat tulisan dibanding kata-kata yang kita omongkan.

A very heartwarming, wonderful film called The Lunchbox (source: isthatablog.wordpress.com)

Dear pembaca Linimasa,

Sama seperti yang aku tulis buat kamu sekarang ini. Sudah terlalu panjang dan banyak ngelanturnya. Maklum, sudah lama aku tidak menulis surat seperti ini ke siapa-siapa, termasuk pakai kata “aku” dan “kamu”. Dan benar saja ‘kan? Begitu kasih kesempatan ke diri sendiri buat menulis surat, langsung bablas tanpa tedeng aling-aling keterusan.

Semoga harimu cerah ceria selalu, seperti hatimu yang terlihat sumringah setiap saat.

Love,

Nauval.

17 respons untuk ‘Eh, Pistol Lari!

  1. Pas baca bagian ini “Film India yang sangat aku suka banget banget banget.”, kepikiran “Kok tumben Mas Nauval nulisnya pakai aku?” Eh kejawab setelahnya. :’)

    Sampai saat ini, meski jaman sudah modern sekali, menulis surat dengan tangan itu tetap paling wah.
    Sekarang masih suka menulis surat, banyakan untuk diri sendiri, di jurnal harian. Utk orang lain jg (meski kl di jurnal harian itu tdk akan pernah terbaca olehnya) dan ternyata Mas orang-orang yang menerima surat tulisan tangan merasa lebih bahagia, tertegun sebentar lalu menyimpan surat itu dgn sangat baik, bak harta karun.

    Salam hangat dan cerah selalu 🙂

    Suka

    1. Mbak Agnes pinter banget! Hahahaha. Penasaran, bakal ada nggak ya yang nangkep pergantian format ini, eeeh ternyata Mbak Agnes jagoannya! Congrats. 🙂
      Sampai tahun lalu, aku masih kirim-kiriman surat sama teman di Bandung. Tapi frekuensinya udah jauh berkurang, dan tahun ini belum menulis dan kirim surat sama sekali. Ternyata orang jaman dulu lebih kuat fisiknya ya, menulis tulisan tangan berlembar-lembar. Hahaha.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s