Agama Sebagai Asuransi

SEKITAR 174 tahun lalu, Karl Marx bilang agama adalah candu bagi manusia, khususnya sebagai bagian dari masyarakat atau struktur sosial yang menekan.

Jutaan orang di seluruh dunia tersinggung sejak saat itu. Sampai sekarang.

Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.”

Yang dimaksud candu dalam konteks ini; agama beserta perangkat-perangkatnya difungsikan sebagai pemberi rasa nyaman, senang dan gembira walaupun hanya jangka pendek, sehingga bakal terus dicari dan dilakukan berulang-ulang.

Agama menjadi semacam pelarian, supaya orang-orang bisa mengaso sejenak dari realitas hidup yang dijalani. Ketika hidup sedang tidak menyenangkan, agama digunakan menjadi pengingat untuk selalu bersyukur dan meredam kegelisahan, serta tetap bersabar. Sebab ada imbalan untuk orang yang taat, dan ganjaran bagi mereka yang bejat.

Typo tuh… “Daripada” dan “akhirat”.

Sampai bagian ini, agama tidak terdengar buruk, kan?

Lalu tanpa sadar, praktik agama diperlakukan sama seperti keinginan kuat untuk merokok sehabis makan atau saat mulut asem, atau seperti keharusan minum kopi setiap hari bagi para pecinta kafein. Memang jauh lebih besar dari sekadar ritual, akan tetapi tidak mengarah kepada kedewasaan religius. Sekadar terasa menyenangkan saat dilakukan, susah lepas, dan cenderung sukar dibendung kalau lagi kepengin.

Dengan karakteristik yang demikian, agama beserta perangkat-perangkatnya pun bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan, melenakan orang banyak secara sekaligus. Agama pun dapat dijadikan alat untuk berkuasa. Jadi, bukan agamanya yang salah, melainkan arah dan tujuan penggunaannya.

Belakangan ini, agama juga diperlakukan sebagai asuransi. Para pengkhotbah dan mereka yang mengklaim diri sebagai pemuka agama menjadi para sales. Itu sebabnya mereka selalu mencari-cari panggung publik.

Apa yang mereka pasarkan? Intinya hanya dua:

  1. Rasa takut tentang apa yang akan terjadi di masa depan, dan
  2. Jaminan agar bisa menghindari hal-hal buruk yang bisa terjadi di masa depan, lengkap dengan beraneka fitur dan layanannya.

Masalahnya bukan sekadar punya atau tidak punya asuransi, tetapi harus berhasil memindahkan sebanyak-banyak nasabah dari asuransi lain. Tentu saja dengan memanfaatkan rasa takut, bahwa asuransi yang ini lebih baik daripada yang itu. Apalagi di era media sosial seperti ini, kita makin sering mendengar dan membaca kutuk atas nama agama. Dikit-dikit ngomongAwas lho nanti masuk neraka…

Apa salahnya dengan mengajak orang lain ke jalan yang diyakini benar dan dirahmati tuhan? Harap tinjau kembali niat awalnya, apakah sosialisasi dan ajakan tersebut semata-mata bertujuan agar orang lain bisa berubah menjadi baik, atau ada tujuan lain yang tidak disadari? Apa sasarannya? Supaya jadi tumpukan pahala supaya boleh masuk surga? Sama seperti sales dengan target penjualan supaya bisa naik level dong.

Apakah dengan berhasil mengubah (beda tipis dengan menakut-nakuti) orang lain membuat diri merasa unggul? Tak ada bedanya dengan ilusi ego, ketika kita merasa sudah lebih hebat padahal belum tentu.

Dalam beberapa kasus lain, terjadi pada seseorang yang dulunya kelewat nakal dan amoral. Saat mulai beralih menjadi agamis dan alim, malah menjadi semacam gegar budaya dan jemawa.  Hanyut dalam euforia karena belum pernah merasa sesaleh itu sebelumnya, semua tindakannya pun seolah meneriakkan pesan “Ini yang terbaik, jadi kamu juga harus begini.” Biasanya ada lanjutannya “Kalau kamu enggak begini, berarti kamu salah/sesat. Nanti kamu masuk neraka!

Dari dua kondisi di atas, langsung teringat ucapan almarhum KH Zainuddin MZ: “Intinya pengendalian diri.” Termasuk pengendalian diri dalam menjalankan agama. Lantaran keduanya merupakan penyalahgunaan agama (religious abuse). Agama dijadikan komoditas dengan memanfaatkan rentannya perasaan manusia… yang saya yakin cara ini pasti dicela oleh para nabi, rasul, orang suci, guru agung, bahkan tuhan dari ajaran agama apa pun.

Sebagai candu, agama dititikberatkan sebagai pemberi rasa nyaman. Tidak perlu repot-repot berpikir untuk menjadi dewasa secara religius, pokoknya jalani saja praktik-praktik keagamaan dan rasakan efek psikologisnya.

Ada beberapa teman saya yang terang-terangan ingin mampu seperti ini, menjalankan agama tanpa ribet. Hanya perlu kepatuhan total. Sayangnya, mereka terbiasa menjalani hidup dengan pemikiran yang kritis. Susah bagi mereka untuk tidak tergoda bertanya, atau mempertanyakan sesuatu dan berusaha mencari jawabannya dengan beragam cara.

Sebagai asuransi, agama diberdayakan untuk fear marketing. Memanfaatkan rasa takut agar seseorang menjadi impulsif. Banyak yang langsung berpindah agama setelah peristiwa kesembuhan pada diri sendiri maupun orang lain, atau setelah mendengar penuturan tentang kengerian neraka versi agama tertentu. Selain sebagai tanda percaya, berpindah “asuransi” karena khawatir kalau-kalau nanti bisa kedapatan penyakit lagi. Lantaran setidaknya yang baru ini sudah pernah “terbukti”.

Karena rasa takut ini pula, jangan heran dengan kemunculan para oportunis agama. Bukan mereka yang berpindah agama supaya bisnisnya lancar, atau supaya bisa direstui menikah dengan sang kekasih yang berkeyakinan beda, melainkan orang-orang yang mempertimbangkan ajaran agama dari sisi untung-rugi. Contohnya sebagai berikut.

Buddhisme tidak mengharuskan seseorang menganut agamanya untuk bisa menjadi manusia yang baik, atau bahkan untuk dapat merealisasi kebenaran, apalagi jika cuma ingin masuk surga. Dengan begitu, pilihannya adalah masuk Kristen atau menjadi mualaf supaya tidak menderita setelah meninggal dunia. Sebab (keduanya sama-sama) merupakan satu-satunya jalan kebenaran, dan tertulis di kitab suci masing-masing. Saya ingin sekali mengutipnya, tapi batal daripada nanti dilaporkan atas kasus penistaan agama.

Gaya beragama seperti ini, yang mempertimbangkan untung-rugi, memang terkesan kekanak-kanakan sih, tapi kenyataannya banyak yang berpikiran demikian kok.

Tuhan dan kebaikan-kebaikan dalam ajaran agama, pasti jauh lebih besar daripada kenikmatan emosional maupun asuransi kekhawatiran semata.

Kita sama-sama sepakat bahwa setiap orang memiliki tingkat kedewasaan spiritual yang berbeda. Kecepatan belajarnya pun tidak sama. Maka, banyak-banyaklah belajar, membaca buku, berdiskusi dan melakukan telaahan, tapi harus fair dan terawasi biar tak keliru. Terlepas dari kita sebagai umat biasa yang sangat awam ilmu agama, ada banyak ahli yang bisa ditanya-tanya. Mulai dari para pemuka dan pemimpin umat, sampai para sarjana agama. Hanya saja, ada yang benar-benar ahli, tetapi ada juga yang mengklaim dirinya sebagai ahli.

Silakan kembali merujuk pada filosofi padi. Yang benar-benar mengerti dan paham, biasanya tidak ribut atau meledak-ledak. Dalam sikap diamnya, seorang ahli agama sungguhan mampu memberikan gelombang suasana berbeda. Semacam memiliki daya dan karisma. Sementara yang ribut dan meledak-ledak, terasa seperti memiliki batin yang bergejolak. Lah, bukannya kedalaman ilmu agama itu berdampak pada batin-sanubari yang lembut dan hening ya? Kok malah bertolak belakang?

Kerasa bedanya, kan?

[]

8 respons untuk ‘Agama Sebagai Asuransi

  1. Bener sekali. Bahkan kadang2 Tuhan pun ikutan digadaikan, menyalahkan bencana sebagai cobaan dari Tuhan (sehari2 buang sampah ke sungai, begitu banjir: cobaan dari Tuhan). Memang dagangan yang paling laris sih..

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s