Satu dekade lalu, seorang dosen dan insinyur teknik sipil, Indrawan Sastronagoro melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi karena mengandung syirik dan menyekutukan allah. Ia juga menilai bahwa UU tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi:
“Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
“Pasal 1, angka 4 tersebut menunjukkan menyekutukan Tuhan atau syirik. Karena yang menggunakan teknologi baru adalah manusia, bukan hewan, berarti manusia dengan teknologi baru bisa menghasilkan sumber energi baru, jadi sama pintar, menyamai Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang disebut syirik. Karena, dalam agama Islam, tidak ada yang menyamai Tuhan Yang Maha Esa,” kata Indrawan; dikutip dari Risalah Sidang MK Perkara Nomor 84/PUU-XIV/2016.
Singkat cerita, sejak persidangan Oktober 2016 itu MK akhirnya menolak gugatan Indrawan. Mahkamah berpendapat, untuk memahami maksud satu ketentuan dalam suatu undang-undang, haruslah secara sistematis dengan membaca pula ketentuan-ketentuan lain dalam UU tersebut.
“Pembacaan secara sistematis yang dilakukan Mahkamah terhadap UU 30/2007 tidak menemukan indikasi apapun, bahwa UU tersebut telah menyekutukan Allah SWT melalui rumusan Pasal 1 angka 4, angka 5, dan angka 6,” ujar majelis MK yang dibacakan pada 10 Juli 2017.
Indrawan menjelaskan akibat dari adanya pasal ini menjadikan pikirannya terganggu. Ia jadi kurang produktif, yang tadinya bisa mengajar hingga 34 SKS dalam sebulan, jadi cuma bisa 20 SKS. Akhirnya, membuat pendapatannya menurun. Kerugian immaterialnya tentu ia tersinggung tuhannya disekutukan sedemikian rupa. Lewat Undang-undang ciptaan manusia pula.
Jika saja Indrawan menelaah lebih dulu lewat kaidah bahasa, lengkap dengan konteksnya; tuhan, baik itu allah maupun tuhan kaum lain yang secara adil-merata juga dipercaya terlibat dalam penciptaan, ndak lagi perlu dideskripsikan. Energi yang berulang kali disebutkan dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2007 adalah energi yang sepenuhnya bersumber dari alam semesta. Alam yang dihuni oleh manusia yang berhak dan wajib dengan segala usahanya mengonversikan sumber daya tersebut menjadi energi yang siap pakai. Usaha manusia inilah yang salah satunya disebut sebagai teknologi baru (inovasi) dalam Undang-undang yang ia masalahkan tadi. Dan pasal tersebut ndak sekalipun meragukan maupun menyangkal kalau Alam yang dimaksud adalah ciptaan tuhan. Hingga batas ini, MK telah melakukan hal yang benar. Tapi ndak efisien. Satu dekade untuk menolak kegilaan ini?
Logika yang sama juga pernah dipermasalahkan oleh satu rombongan pengajian Ibuku. Mereka menilai lirik pembuka lagu “Engkaulah Segalanya” yang dinyanyikan Ruth Sahanaya menyekutukan allah.
Terutama bagian “mungkin hanya tuhan yang tahu segalanya.” Iman mereka bilang: pasti hanya tuhan yang tahu segalanya. Kenapa mungkin? Tuhan tahu segalanya dan sudah jadi kepastian karena sudah tertulis dalam kitab suci.
Untungnya Ibu-ibu pengajian tadi hanya mencoret lagu itu dari daftar lagu wajib yang akan dinyanyikan dalam acara halal-bihalal awal Juli 2017 lalu. Ndak diteruskan ke ranah hukum dengan tuntutan memasukkan Ruth Sahanya dalam bui, misalnya.
Lagi-lagi soal konteks berbahasa, untuk ndak menyebutkan gampang banget kebakar. Yakinlah Tito Sumarsono, penggubah lagu tadi, ndak punya niat buruk terhadap allah. Cukup dengan meneruskan bait selanjutnya dari kalimat yang dicurigai syirik:
“Mungkin hanya Tuhan yang tahu segalanya apa yang kuinginkan di saat-saat ini.”
Kalimat di atas bukan meragukan tuhan atas pengetahuannya. Tapi meragukan apakah ada pihak lain yang tau selain tuhan. Dan ya, mungkin aja ada. Mungkin juga ndak ada. Kalimat itu bersifat ratapan dengan konteks “segala yang kuinginkan saat ini.”
Pemahaman bahasa adalah soal berlogika. Gramatikalnya berkembang melalui budaya dan keseharian penuturnya. Bahasa selalu tumbuh, apalagi arti dan tafsirnya. Bahasa juga mengajarkan kita lebih terbuka, kritis sekaligus rendah hati terhadap perubahan.
Yang bikin khawatir dari dua kejadian di atas adalah: atas nama iman, bahkan logika diabaikan. Implikasinya bisa seremeh dikeluarkan dari daftar lagu, satu dekade perkara pengadilan, atau… memenjarakan orang yang ndak bersalah.
Kok pengen ketawa ya? 😁
SukaSuka