“Perkenalkan, Aku; Kresek!”

 

Perkenalkan, aku kresek. Di tempat lain, aku dipanggil Asoy. Aku berasal dari bangsa plastik-plastikan. Tidak berkumis tidak berbuah dada. Diciptakan untuk satu tujuan; mengabdi kepada sang pencipta; Manusia.

Aku kresek dewasa. Sebab memiliki “pengalaman hidup” mengabdi pada pencipta. Oleh karenanya, aku mengenal “pencipta”; mereka juga memiliki “Sang Pencipta” dan mereka juga diciptakan untuk tujuan “mengabdi pada Sang Penciptanya”

Kagum aku pada manusia; mereka itu mampu menghargai segala sesuatu. Mereka itu mampu mempelajari sesuatu. Mereka itu juga punya kemampuan luar biasa lainnya; membentuk sifat dan sikap dari prilaku mereka sehari-hari. Mereka tidak statis, tetapi dinamis. Kemampuan yang tidak mereka berikan padaku. Yang perlu di ingat bahwa aku juga tidak elastis.

Manusia juga mengenal dan memiliki konsep “moral”. Dengan moral ini, manusia mengetahui baik buruk yang kemudian tercermin ke dalam prilakunya itu. Semisal : Menghargai pengorbanan dan kebermanfaatan yang diterimanya. Maka manuia, mengenal kata “terimakasih” dan “balas budi.”


Masih pagi sekali. Aku masih lelap tidur tindih menindih dengan saudara sebangsa. Lelap di posisi kelima puluh. Artinya, di atas ada saudara yang menindih dan di bawah ada juga yang tertindih. Untungnya kami tidak berjenis kelamin dan tidak memiliki kelamin pula. Mari bantu kami bersyukur!

Ada sentuhan di kulit. Sedikit kasar dan geragas. Itu pertama kali manusia menyentuhku. Mungkin sedang terburu, atau kulit yang terlalu rapuh. Hingga aku merasa sebagian tubuh tercubit; remuk. Tentu saja kami juga bisa merasakan sakit (ini mungkin tidak diketahui manusia, karena mereka ternyata tidak maha mengetahui).

Di atas meja sedikit basah itu, aku melihat banyak sekali makhluk lain. Bangsa ikan-ikanan, begitu manusia menyebutnya. Bertumpuk tindih-menindih. Mungkin tindih-menindih adalah bagian dari proses kehidupan. Apakah manusia juga pernah saling tindih-menindih?

Ikan-ikan itu diam. Matanya melotot, ada bercak merah. Mulutnya menganga, tapi ikan (mungkin) tak mengenal bagaimana memproduksi bunyi. Beberapa ekor ikan berukuran besar dimasukkan ke dalamku. Tubuhku tertarik, berbunyi. Ada rasa linu ada nyeri setelahnya. Tangan manusia kembali menyentuh. Mengangkat. Gravitasi bikin ikan memberat. Kembali berbunyi tubuhku. Linu menjadi, nyeri menyeri.

Setengah jam berayun di tangan manusia lalu kembali di letak di atas meja. Nyeri sedikit mereda, linu sedikit jera. Di atas meja itu, aku melihat bulir-bulir putih. Bangsa beras-berasan, begitu manusia menyebutnya. Beras-berasan itu, bertumpuk-tumpuk, tindih menindih. Dimasukkan ke dalam plastik lainnya. Lalu, saudara sebangsaku itu, diikat kepalanya agar bulir-bulir beras tak tumpah. Ia pun dimasukkan ke dalamku. Aku bertubuh lebih luas darinya.

Kembali diangkat, bebanku makin berat. Tubuhku makin nyeri sejadi-jadinya. Gravitasi menarik tubuh kian jadi. Belum lagi ditambah ayunan tangan manusia, bikin mual.

Aku menyempatkan bincang dengan suadaraku itu, sekedar mengalih rasa sakit.

“Maaf saudaraku, aku yang membekap bulir-bulir beras ini, bikin bebanmu semakin berat saja!” Saudara sebangsaku setengah meringis berujar tulus.

“Tak mengapa saudaraku, untuk inilah kita diciptakan, inilah bentuk pengabdian itu. Bagaimana kepalamu yang dipuntir ikat?”

Saudaraku itu, menjawab dengan ringisan. Kami kemudian diam. Berkonsentrasi melawan rasa yang sakit.

Di meja lainnya, kembali aku berkenalan dengan makhluk baru; kangkung. Mereka punya kaki-kaki yang panjang. Ada yang sedikit tajam, hingga kulitku yang kian melar tertarik beban, terkoyaklah.

Kami tidak memiliki darah, tapi rasa sakit seperti tersayat, kami juga bisa rasakan. Beberapa lubang tumbuh di tubuh tipisku kemudian. Ikan-ikan itu memberi bau amis yang menyengat, cairan mereka membasahi tubuhku. Tak mengapa, inilah pengabdian pada sang pencipta itu.

Siksa dera lumayan panjang terasa, tetapi waktu pasti akan memperjalankan keadaan pada batas akhir. Sampailah aku di rumah manusia. Nyaman sekali rasanya, setelah diletakkan cukup lama di atas meja. Semakin nyaman ketika satu persatu, makhluk yang mesti kupikul sedari tadi, di keluarkan dari dalam tubuhku. Saudara sebangsaku merasakan hal yang sama tatkala puntiran di kepalanya di lerai sudah. Meskipun ia harus sedikit mengaduh, sebab salah satu telinganya koyak. Mungkin manusia itu tengah terburu-buru. Setelahnya, aku dan saudara sebangsaku itu, saling tatap saling diam saling bertanya; Apakah pengabdian itu selesai sudah?


Kami tidak tahu apakah yang kami jalani selanjutnya ialah bentuk pengabdian baru. Kami berpindah-pindah tempat. Awalnya, di tempat sempit. Manusia, sang pencipta itu, menyebutnya tong sampah.

Sebelum berumah di tong sampah, kami terlebih dahulu di “remuk”. Aku menemukan banyak saudara sebangsaku ditempat itu. Tak lama, seluruh kamipun dipindah ke tanah luas. Semakin banyak aku berjumpa dengan saudara sebangsaku disana. Kami bertanya-tanya, Apakah ini bentuk pengabdian selanjutnya, atau, beginikah bentuk rasa terimakasih dari manusia, sang pencipta yang mengenal moral itu?

Di suatu sore yang tak mungkin pernah kulupakan, ada manusia yang datang. Ia menyiramkan semacam cairan, lalu memantikkan nyala api. Hampir semua saudara sebangsaku kemudian terbakar dalam lolongan rasa sakit yang mengerikan. Tubuh mereka mengerut dimakan api, berubah jadi asap sedikit hitam. Aku gigil ketakutan. Sakit sekali membayangkan panasnya itu menyentuh kulit. Aku limbung, tatkala sepercik bara menyentuhku. Pada saat itu, aku berpikir, pastilah aku segera mati dalam kesakitan yang lebih mengerikan dari rasa sakit yang pernah ku kenal sebelumnya.

Kenyataan berkata lain. Aku mesti berterimakasih pada arwah-arwah saudara sebangsaku, semoga mereka tenang di alam sana. Sebab dengan tiba-tiba, asap yang mengepul itu, menerbangkanku. Kemudian angin menyambut lalu menghempasku pada aliran sungai yang tak jauh dari tempat pembantaian itu.

64677-590-367

Tubuhku gigil perih. Mengambang mengalir hingga sangkut di tunggul kayu, tubuhku koyak! Aku bertemu beberapa saudara sebangsaku yang juga sangkut disana. Tubuh mereka itu, tercabik sudah! Nyawa mereka itu, tinggal satu cabikan lagi saja! Aku mengumpat, mengutuk. Hendak kubendung aliran sungai, biar menguap ke dataran dan lalu menenggelamkan manusia.

Dalam suara yang sekarat, saudara sebangsaku itu berkata “Tak baik mengumpat pencipta sendiri, mereka bukanlah Maha Pencipta, mereka itu sedang belajar mengenal moral, mereka itu sedang belajar mengenal bagaimana membiasakan diri untuk menghargai.” Aku terdiam dalam dengung deras air yang mulai meninggi, sambil menceritakan kisah ini.

[]\

penulis: Senjakalasaya // twitter: @senjakalasaya // profil

2 respons untuk ‘“Perkenalkan, Aku; Kresek!”

  1. menganalogikan kehidupan menjadi sebuah kresek, pengabdiannya kepada sang penciptanya sungghh mengalahkan pengabdianku terhadap sang penciptaku. Cerita yang bagus kawan 🙂

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s