Tak habis tanya, untuk menemukan jawab “kenapa” orang sering sekali melontarkan pertanyaan abadi nan jaya “Kapan Nikah?” Saya melihat kebiasaan ini adalah penanda sederhana; bahwa sebahagian manusia tanpa sadar sedang mempermainkan keyakinannya terhadap Tuhan. Di sisi lain, saya melihat fenomena pertanyaan “kapan Nikah” ini merupakan paradoks yang luar biasa kejamnya atas; manusia seolah percaya pada Tuhan tetapi diam-diam nan sublim manusia meragukan keberadaanNYA.
Pernah dengar pertanyaan kapan nikah? kapan punya anak? Pertanyaan ini mungkin ada yang menganggap sekedar basa-basi memula percakapan atau pelengkap saja. Tapi biasanya ia keluar secara refleks, dan yang refleks itu memuat kejujuran yang lebih tinggi ketimbang yang terencana.
Lantas pernah dengar; “Jodoh itu ditangan Tuhan”, “Anak itu karunia dari Tuhan” Maka mari kita coba komparasi antara pertanyaan dan pernyataan tersebut di atas, yang menurut saya bertolak belakang samasekali.
“Kapan Nikah? Kapan punya anak?”
Pertanyaan tersebut di atas, mencerminkan bahwa orang yang bertanya, dari alam bawah sadarnya, meyakini bahwa; Nikah (bertemu jodoh) dan punya anak adalah mutlak ketentuannya di tangan orang yang sedang ditanya nya. Sementara kalimat pernyataan :
“Jodoh di tangan Tuhan” dan “Anak itu karunia Tuhan”
Maka pernyataan tersebut di atas, mencerminkan bahwa orang yang mengeluarkan pernyataan itu, dari alam bawah sadarnya, meyakini bahwa bertemu jodoh kemudian menikah, dan soal “melahirkan anak” adalah sepenuhnya dan mutlak ketentuannya berada di dalam Kuasa Tuhan, sehingga manusia tidak ada kuasa atasnya.
Lantas, bila demikian, bila orang benar-benar meyakini adanya Tuhan dengan segala kuasaNYA itu, maka pertanyaan “kapan nikah“ dan atau “kapan punya anak itu”, tidak akan pernah ditanyakan seseorang kepada orang lain, melainkan ditanyakan kepada Tuhan, dalam doa misalnya, yang tak perlu di dengar oleh orang yang dimaksud.
Bila orang meyakini bahwa soal nikah dan atau punya anak itu mutlak di tangan manusia, maka ianya tak sepantasnya mengamini bahwa jodoh di tangan Tuhan dan anak adalah karunia dari Tuhan. Serta kalimat pernyataan ini tak seharusnya muncul.
Maka bila ditanya kapan nikah misalnya, kita mesti bertanya balik untuk mengklarifikasi pandangan si penanya, apakah ia golongan orang yang percaya bahwa jodoh itu di “tangan” Tuhan, atau ia pada golongan kedua; Ia percaya bahwa jodoh di tangan manusia.
Maka bila ia menjawab, bahwa ia percaya Jodoh di tangan Tuhan, maka sepantasnya kita mengingatkan dengan kalimat : “Tolong bantu saya, jumpailah Tuhan dan tanyakanlah langsung padaNYA, kapan ia mempertemukan saya dengan jodoh itu lalu dengan segala kuasaNYA menikahkan saya! Saya berdoa supaya kamu bersegera bertemu Tuhan secara langsung, kalau dikabulkan, saya berdoa malam ini saja kamu bertemu Tuhan.”
Bila orang yang bertanya mempercayai bahwa jodoh itu mutlak di tangan manusia, maka cukup ingatkan “Saya percaya jodoh di “tangan” Tuhan, kalau kamu nggak percaya tanyalah saya!”
Kemungkinan ngeyel, pastinya ada dari orang yang suka memerahkan muka orang lain dengan bertanya “kapan nikah?” maka boleh juga sampaikan, menikah itu bukan semudah “memilih menu jengkol rendang dari tumpukan daftar makanan yang ada di rumah makan Padang, yang pemiliknya jarang pulang bersebab tarif dasar listrik, air, dan segala harga barang suka melonjak ke atas kepala, sehingga orang tersebut terkuras selalu tabungannya, untuk membayar harga kebutuhan yang jarang sekali ia tahu apa penyebab naiknya, sementara pajak semakin tinggi saja, dan kasus korupsi nggak selesai-selesai, begitupun partai sepertinya tidak mampu menemukan orang jujur baik dan negarawan yang benar-benar mau membangun kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, Hidup Pancasila, Merdeka!”
Mungkin ada yang berpandangan bahwa manusia wajib berupaya! Maka ini lebih berbahaya, sebab ianya menuduh orang yang ditanyanya itu, bermalas-malasan, tidak mau bergaul, tidak berupaya mencari, sekedar mengurung seluruh masa hidupnya di kamar mandi sambil gosok gigi saja pagi siang sore malam subuh hingga ketemu pagi lagi sampai tua sampai nanti mati, hidup gosok gigi! Maka orang itu perlu diingatkan bahwa menghakimi orang lain dalam pikiran adalah fitnah yang malu-malu, perlu disampaikan bahwa bukankah berburuk sangka itu tidak baik!
Atau yang paling sederhana, yang biasanya saya lakukan dan cukup efektif membungkam pertanyaan kawan-kawan saya, ialah dengan menunjukkan nomor rekening sambil mengingatkan “Nikah nggak bisa pakai daun dan orang belum bisa menguasai ilmu makan batu, sementara pesta sepertinya sudah menjadi syarat sah sebuah pernikahan.” Biasanya kalau “ditembak” uang begitu, kawan-kawan saya akan berujar “sabar-sabar ya”, see? betapa usilnya mereka itu, lempar ternak teriak maling.
Ada yang pernah nyeletuk, makanya cari yang keluarganya nggak minta syarat yang macem-macem, saya pernah menjawab dengan “Baiklah nikahkan kakakmu atau adikmu denganku!” malah dianya marah! see? betapa usilnya mereka itu, lempar jin baca ayat kursi sendiri!
Tapi begitupun, sikap yang paling baik adalah mengasihani yang bertanya, mungkin dia sedang lelah dengan hidupnya sehingga ia sedang mencari kawan lelah bersama dengan pertanyaan pemancing sehingga dapat membuka ruang curhat sendu-senduan, atau membuka peluang baginya untuk dapat menasehati dengan segala kebijaksanaan, sehingga ianya merasa di dengar, mungkin ia lelah mendengar sehingga begitu ingin di dengar segala petuahnya, sebab partai politik itu egois nggak mau mendengar rakyat jelata bin laden, maunya di dengar saja dan di puja saja. Maka memaklumi dan mengasihani itu perlu dilakukan, Oleh karenanya, ketika ada yang bertanya demikian cukup sodorkan sebotol Aqua (bukan iklan terselubung) sambil katakan: Kamu butuh Aqua! Sabar-sabar ya, dunia ini memang fana.
[]
Penulis:
Senjakalasaya // twitter: @senjakalasaya
Jujur ketika ketemu keluarga Feb lalu, saya hanya jawab “Tolong tanya Tuhan ya, tanya dengan detail, kapan, di mana, gimana, tinggi,berat badan, pekerjaan, penghasilan, anak keberapa, lalu apakah kami akan bahagia, anak kami berapa, jenis kelamin apa dan kapan saya ketemu menantu saya” itu saya ucapkan ke om tante yang usil nanya mulu bantu engga. Diam
Saya mengakhiri dengan jawaban standart sejak 6 tahun lalu “om tante jaga kesehatan dan siapkan angpao. Begitu saya kirim undangan om tante sudah siap sedia.” Tersenyum dan bodoh amat dengan “ga sopan, kurang ajar” karena basa basi udah terlalu basi 😊😊😊
SukaSuka
Mantaap. Ya benar, suka dengan kalimat “basa basi sudah terlalu basi” Terimakasih sudah membaca 😀
SukaSuka
Tulisan ini asyik, menggelitik, luar biayasaak. Usia 24 k atas mesti baca wkwkwkwk
SukaSuka
Terimakasih 😀
SukaSuka