Omelet, roti panggang dan irisan keju, sudah siaga di atas meja makan dalam piring keramik berwarna biru. Di ujung meja, di dalam sebuah mangkuk sup plastik; pupuk urea organik dicampur sedikit kompos dan setengah gelas air, tersaji sudah; bubur sehat, sarapan kegemaran Renja.
Renja duduk, membaca novel “cantik itu luka” berulang-ulang. Ia belum mau memulai sarapannya. Menunggu Yura, yang masih bercanda dengan air hangat di kamar mandi.
Ritual pagi, selalu diawali dengan Renja bangun lebih awal, memetik setangkai bunga kertas dari halaman rumah, lalu berkutat di dapur untuk menyiapkan variasi sarapan istrinya. Lantas Renja akan menata meja dengan hati-hati. Meletakkan vas bunga keramik lonjong bercorak merah jambu di tengah meja, lalu meninabobokkan setangkai bunga kertas di dalamnya. Hampir setahun sudah, Renja melakukan ritual itu setiap paginya. Persis di waktu yang sama, tidak lewat atau kurang sedetikpun.
Yura, keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk putih melilit tubuhnya. Kamar tidur itu tidak lebar. Dindingnya bercat hijau terang dengan gambar-gambar pohon bergaris tak rapi. Yura suka memandangi gambar yang dilukis Renja kurang lebih sebulan itu. Tak begitu banyak perkakas di dalam kamar, hanya ada meja rias kecil, lemari kecil dan tempat tidur dari kayu jati yang sedikit lebar, warisan keluarga Yura.
Di depan cermin, Yura mengenakan seragam kerja, memakai sedikit bedak, eye shadow tipis, dan lip gloss. Sekali saja dalam hidupnya Yura memakai lipstik; di resepsi pernikahannya dengan Renja. Yura menatap bayangan dirinya di dalam cermin, kemudian menjahit senyum dibibirnya. Dari matanya; ia masih melihat aura luka yang terus mengganggunya. Dari atas tempat tidurnya, seperti biasa, ia akan memunguti kuntum-kuntum kamboja sebelum beranjak ke dapur.
“25 helai Nja, 25 helai! Apa sakitmu memburuk?” Yura menatap tajam ke arah Renja. Matanya menyipit, mulut tertutup mengecil, tangannya bergetar; Yura tengah diamuk marah, resah sekaligus takut. Yura memperbesar aura luka di matanya pagi itu.
Renja menggeleng kaku. Bunyi derak halus selalunya akan terdengar tiap kali Renja menggerakkan tubuh. Renja meletakkan bukunya dengan sangat hati-hati sekali. Dengan perlahan dan gerak patah-patah, Ia memulai sarapannya.
Yura geram, ia menggebrak meja, lalu kembali mengatur nafasnya sambil mengeluarkan cermin dari tas Gucci biru aslinya. Memandangi wajahnya di dalam cermin. Kembali menjahit senyumnya yang berantakan.
“Tak mengapa Nja, Tak mengapa sayang. Kita akan baik-baik saja! Toh, sekarang hidupmu sudah milikku! Kita bisa saling berpelukan, saling menyetubuhi dan dan bisa saling bertemu setiap hari di rumah ini!
Yura diam sesaat, matanya seketika berubah menjadi belati yang diasah ribuan tahun. “Kau tidak akan bisa pulang lagi! Kau harus yakinkan itu pada dirimu sendiri! Ya, Kau harus! Dan harus, harus!” Yura menceracau pada dirinya sendiri. Renja diam.Tetapi pikirannya membuat ia mengangguk perlahan. “Krrrraaaakk”, Renja berderak.
“Aku pergi dulu! lakukanlah apa yang hendak kamu lakukan! Kau beruntung, aku memberimu kebebasan dan kepercayaan! bersyukurlah!”
Yura beranjak, membuka pagar halaman, menguncinya dengan rantai yang berlapis, kemudian memasukkan kembali kunci-kunci itu ke dalam tas. Sebatang pohon bunga kertas tumbuh subur di samping kanan rumah mereka. Yura menatap ke arah pintu rumah mereka; tidak ada tanda-tanda akan dibuka. Yura tersenyum, lalu membuang pandang ke arah kiri. Sebelum menghilang bersama taxi yang menelan tubuhnya.
Di dalam rumah, Renja mencuci perkakas dapur; lima piring pecah, dua kali lebih banyak dari hari sebelumnya. Setelahnya, Renja akan membuka jendela ruang tamu. Dari bingkai jendela itu, pohon bunga kertas tampak bergerak, di hidupkan angin “Pulangkanlah diriku padamu, pulangkah dirimu padaku” Kraaaakk. Renja berderak, tiga puluh kuntum kamboja, gugur dari kepalanya. Lalu Renja tenggelam dalam novel “cantik itu luka.” Bukan membacanya, lebih tepat bila dikatakan memandanginya tanpa kedip, sebab Renja sudah lupa caranya berkedip.
*
Hiruk pikuk perintah dan tumpukan memo, bikin Yura lupa rumah sepenuhnya. Disampingnya, lelaki paruh baya dengan kemeja putih liris bersetrika rapi dipadu padan dengan celana panjang hitam yang juga bersetrika rapi, tengah setia duduk menunggunya. Yura melirik lelaki itu sesekali, kemudian menunjukkan senyum yang telah dijahitnya sempurna semenjak rumah. Lelaki itu memandang Yura, mata mereka beradu temu, liur mereka tumpah.
- “Kenapa kau mau menikahinya?”
- Kenapa kau suka melumatku?
“Aku suka tubuhmu!” - Aku suka keliarannya!
“Dia sudah mati dalam hidupnya yang sekarang kan?” - Setidaknya aku menang dengan memilikinya, dia karibmu bukan?
“Tapi kelamin hanya mengenal birahi, bukan teman, begitukan?”
Yura kembali memasang senyum yang telah dijahitnya sempurna, lelaki itu kembali bergemuruh, liur mereka kembali tumpah.
“Apa dia pernah tau apa yang kita lakukan?” - Tentu saja, bahkan dari awalnya. Itu kenapa dia memutuskan pergi, menuju purnama yang menghidupkannya!
“Lantas bagaimana kau bisa memilikinya!” - Ia lupa, Ia terbang tanpa sayap. Oleh sebab itu ia jatuh. Lalu aku mengutipnya dan menanamnya di rumah!
*
Pagi tumbuh belum sempurna. Renja, dengan derak perlahannya, bangkit dari tempat tidur. Ribuan kuntum kamboja, gugur di atas seprai yang kusut marut. Yura melingkar, mendengkur halus seperti bayi jerapah. Senyum polos yang mekar di bibirnya tumbuh tanpa perlu di jahit. Renja mengulang paginya. Membuka pintu, lalu berdiri menatap bunga kertas yang tumbuh subur di halaman rumah.
Renja memetik setangkai, menciumnya perlahan-lahan dan dalam. Renja larut dalam damainya. Ia mendekap tangkai bunga kertas itu di dada kirinya. Renja diam tak bergeming.
“Pagi, Renja!”
Suara itu tak asing. Suara itu membangkitkan hidup Renja. Renja gemetar bukan kepalang. Lama sudah ia tidak mendengar bentuk suara yang begitu di rindunya itu. Renja menolehkan kepala dengan lentur tak kaku. Pun tak ada suara derak. Di ujung jalan, di luar pagar, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya. Sosok yang menghidupkannya. Sosok yang diam-diam disebutnya purnama. Naina, Sosok itu tersenyum datar.
“Berhentilah berimajinasi dan berangan-angan, Renja. Kepemilikanmu atasku hanyalah imajinasi dan angan-anganmu sepihak, sedari dulu memang begitu. Maka berhentilah!”
Renja menatap sosok itu dengan penuh ketenangan, segala kerinduan yang dimilikinya lebur ke dalam tetesan bening yang mengalir keluar dari tengah mata kirinya. Pertama kalinya, Renja tersenyum.
“Pagi, Renja!” Sosok itu kemudian memudar bersama pagi yang telah tumbuh sempurna. Matahari melebur tubuhnya kedalam cahaya lembut, mengikisi kulit pohon kamboja yang tumbuh di tubuh Renja. Pagi itu, Renja kembali dilahirkan dirinya sendiri. Dengan ketenangan yang tetap, Renja menuju dapur rumahnya, meletakkan dengan lembut, setangkai bunga kertas di dalam vas bunga. Lalu menyiapkan sarapan pagi sebagai seorang manusia, untuk pertama kalinya.
<>
Penulis: Senjakalasaya