Tiga kisah lelaki yang sangat payah dalam relationship dengan perempuan.
[1]
“Jadi, gimana sih dia?” tanya pacar saya. Di mobil dalam perjalanan, ia ingin bertanya soal mantan saya, yang sempat menjadi alasan mengapa saya meninggalkan pacar saya. Sebelum pada akhirnya saya dan pacar saya jadian. Saya sendiri cukup bingung ketika tiba-tiba ia menanyakan soal mantan. Maksudku, apa yang ingin diceritakan dari mantan selain hal-hal yang sudah basi dan kadung tak menarik lagi? Lagipula, apa tidak awkward, baru berapa hari jadian sudah bicara soal mantan?
“Heh?”, kataku.
“Iyaaaa,” ia tersenyum. “Aku pengen tahu mantan kamu gimana dulu. Manatau aku lebih baik dari dia.”
Maka kemudian mulailah aku menghela nafas. Aku ceritakan tentang mantanku dari hal-hal yang baik. Karena apa? Karena aku memang begitu. Aku mudah mengingat kebaikan orang dan dengan mudahnya melupakan keburukan orang. Lalu, baru dua-tiga kalimat keluar dari mulutku untuk mendeskripsikan kebaikan mantanku, pacarku menangis.
Katanya, dengan tangisan yang terisak-isak, “kamu kok, ceritain ini sama aku? Maksudnya apa sih?”
Aku hanya bisa memasang ekspresi kikuk selama dalam perjalanan.
[2]
“Jadi apa sih sebenarnya ingin kamu?” Saya kaget, berusaha menerka-nerka apa yang perempuan di depan saya ini sedang persoalkan. “Dulu kita dekat, tapi sekarang aku benci dengan kamu!” Ia teman saya, yang sialnya, jatuh cinta dengan saya.
Lalu saya coba ajak bicara untuk mengetahui sebabnya kenapa orang ini. Kemudian diketahui bahwa ia jatuh cinta setelah saya ajak nonton satu kali. Iya, satu kali. Tapi setelah nonton saya dan dia makan. Jalan mengelilingi kota. Saya tidak merasakan apa-apa. Sementara dia, malah sebaliknya.
Di situasi seperti ini, tentu situasi jadi tidak enak. Perempuan ini teman saya, dan bagaimanapun juga saya tidak mau kehilangan seorang teman. Saya mencoba menyanjungnya agar situasi tidak runyam. Serta menyalahkan terus diri saya sampai ia muak melihat saya menyalahkan diri saya. Situasi membaik. Hingga pada akhirnya ia menanyakan lagi soal perasaan saya kepadanya.
“Tapi, dulu kamu cinta kan sama aku?” katanya. Ia sedang harap-harap cemas, mungkin.
“Ya,” jawabku untuk menjaga perasaannya. Sungguh seumur-umur berapa kali ditolak perempuan, baru kali ini saya nolak. Rasanya, tidak enak rupanya. Tidak semaskulin seperti dalam bayangan saya.
[3]
Ada fase di mana saya sangat depresi. Lalu saya mencari pelarian dalam banyak hal. Di fase di mana saya setengah putus asa dengan hidup saya, ada seorang yang baru saya kenal mengajak saya jalan. Ia perempuan, tentu saja, dan ia teman dari teman saya. Wajahnya manis, jika mengacu pada komposisi hidung kecil, senyum tipis dan matanya yang tidak sipit namun juga tidak belo ditopang oleh tengkorak kepalanya yang bulat. Serta, ia sangat pintar. Saya suka bicara dengan orang pintar, terutama perempuan. Untungnya, ia mengajak saya jalan ke salah satu Café yang cukup populer di kota saya.
Maka bicaralah kami ngalor ngidul. Mulai ngomongin masa depan negara. Bicara kehidupan kuliah. Masa depan satu sama lain. Serta pada akhirnya bicara soal diri sendiri. Saat sedang bicara tentang diri, saya kemudian mendadak ingin menceritakan fase depresi saya. Tak ada niatan untuk meng-impress perempuan itu, tentu saja. Saya tidak suka dikasihani dan itu murni ketidaksengajaan.
Setelah cerita habis, perempuan ini memberikan nasihat-nasihat kepada saya. Tidak saya dengar lagipula. Karena setelah saya cerita, baru saya sadar saya sedang menceritakan apa yang tidak harusnya diceritakan oleh orang yang baru saya kenal. Agar ia lupa, saya kemudian bercerita tentang hal-hal konyol. Seperti guyonan receh yang bisa saya temukan di Twitter.
Lalu saya mengantarnya pulang. Ia berikan senyuman kepada saya. Saya balas. Teman saya, yang saya rasa mendengarkan curhatnya, kemudian bilang bahwa saya bodoh. Dan ia benar. Setelah cerita itu, beberapa hari kemudian perempuan ini jadi rajin ngirim pesan ke saya. Menanyakan kabar atau sekedar ingin mengajak jalan. Atau tengah malam menelpon saya untuk sekedar cerita tentang kehidupannya.
Saya kebingungan dan memikirkan cara bagaimana keluar dari jebakan seperti ini. Kata teman saya, “jangan digubris, nanti dia mundur sendiri, kok.” Saya ikuti sarannya sehingga sekarang, dia jadi diem-dieman dengan saya. Saya biarkan saja sebagai pengigat untuk jangan curhat ke sembarang orang.
—
[]
Penulis: @utamaarif
Ada frekuensi. 3 bulan. Chat ketika matahari bersinar dan perbincangan seru setelah ia tenggelam. Pertemuan yang disempatkan setiap minggu hanya untuk sekedar makan es krim. Dia: musik, saya: travel, pemahaman kami tentang hidup dan secuil cerita tentang bekas luka kami.
Bulan ke empat. Diantara ulang tahun kami yang berjarak 14 hari, kami melakukan sebuah perjalanan 4 hari 3 malam. Berbagi waktu diantara tawa dan diam sembari menonton senja. Namun sepulang perjalanan itu tersisa senyap. Saya cuma teman yang asik katanya. Entah saya berbuat apa atau saya salah mengira. Mungkin hanya ‘kulino’. Saya perempuan, tapi saya juga payah hahaha
SukaDisukai oleh 1 orang