Familiar

Beberapa tahun lalu, saya pernah menemukan kutipan wawancara Michael Douglas, produser dan bintang film ternama Hollywood. Di kutipan itu, dia menyebutkan kalau dia lebih senang menonton acara olahraga, karena hasilnya tidak pernah bisa diduga, tidak seperti kebanyakan film.

Terus terang saya lupa sumber kutipan itu berasal dari mana. Tapi yang tidak pernah saya lupa adalah reaksi saya ketika itu, yang membaca sembari berkata dalam hati, “masak sih?”

Tentu saja waktu itu saya masih cukup naif, tidak mengetahui bahwa pertandingan olahraga jenis apapun juga bisa diatur hasil akhirnya. Meskipun, jujur saja, susah untuk menemukan bukti kalau suatu pertandingan sudah diatur sebelumnya. Apalagi saat menontonnya secara langsung.

Sementara untuk film, well, tentu saja pernyataan Michael Douglas itu ada benarnya, sekaligus ada tidak benarnya.

Kalau Anda sudah menonton ratusan bahkan ribuan film, tentu saja kadang kita suka membatin, “eh ini filmnya kayak film yang pernah kita tonton dulu itu deh.” Apalagi tidak ada yang orisinal lagi di dunia ini, ‘kan?
Maka sebuah hasil karya, yang merupakan adukan dari berbagai inspirasi cerita yang ada, diberi sentuhan lain bernama plot twist yang membuat kita tidak menduga-duga hasil akhirnya. Tentu saja, kepiawaian pembuat film akan menentukan seberapa believable atau bisa dipercaya hasil tontonan yang kita lihat, sehingga film tersebut masih terasa segar dan berbeda dari apa yang sudah kita lihat.

Beberapa hari lalu, saya menonton film The Sense of an Ending. Film ini diangkat dari novel pemenang penghargaan bergengsi Man Booker Prize karya Julian Barnes berjudul sama. Yang saya ingat, novel ini cukup pendek, kurang dari 200 halaman. Namun terasa padat, karena banyak events yang diceritakan dalam novel tersebut. Ditambah lagi dengan akhir yang mengejutkan, yang membuat banyak orang membaca ulang novel ini dari tengah, hanya untuk mencari petunjuk yang tersembunyi.

The Sense of an Ending (source: BBC)

Demikian pula dengan adaptasi filmnya.
Ketika jawaban dari misteri mengapa karakter utama, yang diperankan Jim Broadbent, mendapatkan warisan dari ibu temannya yang hanya dia pernah jumpai sekali 50 tahun yang lalu, akhirnya terungkap, mendadak saya ingin rewind cerita dari awal untuk mencari tahu hidden clues.
Padahal gaya penceritaan dan visualisasi film ini tidak baru. London yang ditampilkan tidak berbeda dari banyak serial BBC akhir-akhir ini. Beberapa cerita karakter mengingatkan saya akan Atonement, yang kurang lebih mempunyai benang merah cerita yang sama soal penyesalan masa lalu.
Toh sense of familiarity itu tidak mengurangi kenikmatan menonton. Paling tidak, perhatian saya tidak lagi tertuju pada ponsel yang ditaruh di dekat kursi.

Meskipun ponsel saya nyalakan pun, saya masih menikmati sesi-sesi pertandingan tenis French Open yang sedang berlangsung minggu ini. Apalagi saat Dominic Thiem mengalahkan juara bertahan Novak Djokovic di perempat final beberapa hari lalu. Walaupun sudah familar dengan gaya bermain Djokovic, tetap saja mata saya terbelalak melihat set-set terakhir Djokovic kedodoran dan terlihat lelah menghadapi serangan-serangan Thiem.

(source: tennistours.com)

Hal yang sama waktu semalam saya melihat pertandingan Andy Murray melawan Ken Nikishori. Sempat berharap Nikishori menang, apalagi unggul di set pertama dan menahan permainan Murray sampai 7-6 di set ketiga, toh kegigihan Murray membuatnya unggul dan melaju ke semifinal. Still, an interesting match to watch.

Jadi, kalau misalnya bisa bertemu dengan Michael Douglas (setelah mungkin bengong sebelumnya sambil cuma bisa ngomong, “I’m a huge fan”), maka saya akan bilang ke dia:

Sir, with all due respect, both films and sport matches are equal, in terms of them still being interesting and unpredictable. We can just surrender ourselves to the magic of filmmakers in their storytelling, and the sport players in their fields. If they fail to amuse or entertain, we just shrug and move one. But when they do, that’s where the magic happens. Even in anticipating the outcome, there’s a sense of unpredictability in it. And that itself is a wonder we cannot wait to experience, over and over again.

4 respons untuk ‘Familiar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s