Masa kecil saya belum dikotori oleh Indomaret, Alfamart, juga Hape. Apalagi media sosial.
Ketika saya masih kelas 3 SD, usai shalat ashar di bulan suci Ramadan adalah saat yang paling ditunggu-tunggu. Bapak akan mengajak saya keliling kota sembari menunggu azan maghrib. Caranya sederhana saja, saya berdiri di depan vespanya. Setang Vespa persis setinggi dagu sehingga kepala saya pas di atas speedometer motor. View yang pas dan begitu indah bagi anak seusia saya.
Usia dimana saya dianjurkan Bapak untuk belajar berpuasa hingga azan maghrib tiba. Hadiahnya komik atau sepatu baru jika berhasil menerima tantangan ini. Sebulan penuh tanpa batal puasa. Saya mau-mau saja. Apalagi Bapak janji setiap sore saya boleh ikut Bapak untuk ngabuburit. Ketika itu Bapak menyebutnya “Luzor“. Artinya Luru Zore. Mencari sore. Bapak dengan vespanya dan Saya dengan radio transistor kecil untuk memastikan jika azan maghrib telah tiba.
Kami biasanya melakukan ritual yang selalu sama. Usai melipat sarung usai Ashar, mandi, sisiran dan dibedaki Ibu, Saya meminta mampir dahulu ke penjual es kelapa muda. Pesan beberapa porsi untuk saya, Kakak, Adik, Ibu dan Bapak. Bayar, lalu beri pesan akan diambil 15 menit sebelum azan tiba. Terkadang saat mampir, Mang Bawon, penjual es kelapa itu sedang mengupas kulit kelapa dengan golok saktinya. Istrinya menyiapkan gula. Anaknya mengaduk santan. Bagi mereka menjual es kelapa muda di bulan puasa adalah cara terbaik mempersiapkan diri menghadapi hari raya. Kata Bapak, Mang Bawon di bulan-bulan lainnya adalah seorang penarik becak.
Biasanya kami tak lama berada di warungnya. Bapak akan menawarkan beberapa pilihan: Pantai, Kota, atau Sawah. Maksudnya adalah apakah akan ke pantai, yang sebetulnya lebih mirip muara sungai karena airnya keruh dan pasirnya bukan pasir putih melainkan lumpur. Bisa juga Bapak mengajak kami ke pelabuhan. Tapi ini adalah pertanyaan jebakan, karena jika nantinya Bapak bawa saya ke pelabuhan, maka saya terancam akan menemani Bapak memancing. Saya benci memancing. Bosan. Apalagi aroma pelabuhan adalah bau pupuk urea berserakan. Banyak kuli panggul yang bongkar muat ribuan karung berisi pupuk dari kapal menuju gudang di sisi dalam pelabuhan. Baunya pesing.
Maka saya biasanya memilih kota atau persawahan. Kalau ke kota saya akan disuguhi pemandangan tepi jalan rel kereta api, melihat kereta api berseliweran melalui stasiun. Banyak anak kecil yang bernasib sama. Dipertontonkan kereta api PJKA sambil disuapi oleh bapak atau ibunya. Saya nanti akan iri juga. Kenapa mereka boleh nonton kereta lewat sambil makan dan minum. Sedangkan saya menahan rasa lapar karena puasa. Atau kami akan melewati pecinan, dengan sederetan toko emas, toko kelontong yang menjual alat elektronik, sepatu, baju atau makanan ringan. Saya biasanya akan mampir ke toko mainan dan membeli selembar kertas bergambar produksi Gunung Kelud yang berisi cerita filem atau komik. Gambar itu sudah dengan kotak-kotak yang siap digunting. Diberi nomor dari 1 hingga 36. Atau saya membeli komik Petruk Gareng keluaran Gultom Agency. Bapak akan membeli serial Khoping Ho atau majalah Intisari.
Terkadang jika sedang apes, Bapak akan bilang tidak bawa uang banyak. maka paling mujur saya akan dibelikan mainan Yoyo atau beberapa kelereng. Itu pun dengan wajah bersungut-sungut.
Bapak terkadang memilih sawah. Tanpa bertanya kepada saya, Bapak akan membawa buku gambar dan pinsil konte. Sedangkan saya akan dibawakan Bapak krayon. Jika Bapak sibuk mencari alat gambar, saya sudah yakin Bapak akan mengajak ke sawah.
Biasanya kami akan naik motor beberapa menit lebih lama daripada ke tujuan yang lain seperti pantai atau kota. Saya senang sekali jika Bapak ajak saya ke sawah. Karena saya bisa menggambar. Saya juga bawa radio transistor. Sambil menggambar saya menyalakan radio. FM belum ngetren saat itu. Masih penuh stasiun dengan gelombang AM atau MW. Saya merasa gagah dengan menggambar di tepi sawah. kata Bapak kalau saya gambarnya bagus bisa dikirim ke stasiun televisi. Saya tahu maksudnya. Gambar saya akan dipuji Pak Tino Sidin. Saya tidak mau. Saya lebih suka dikumpulkan saja. Seusia itu Bapak bilang bahwa lukisan yang baik itu seperti Pak Basuki Abdullah. Apalagi seperti Raden Saleh.
“Saking bagusnya, kalau Raden Saleh melukis berak, maka lalat pun akan berkumpul di atasnya!”, bual Bapak. Tapi entah kenapa saya mengamini dan membayangkan betapa lihainya Raden Saleh melukis. Saya iri. Saya ingin pandai melukis.
Di tepi sawah, saya menggambar kerbau dengan latar belakang gunung menjulang. Atau orang-orangan sawah. Jika obyek benda yang menjadi contoh saya menggambar tidak ada, saya akan menggambar aliran irigasi dan pintu airnya. Atau saya menggambar tiang listrik besar tegangan tinggi. Apa yang saya lihat dan dirasa mudah akan saya jadikan model.
Jika menurut Bapak azan akan segera tiba, Bapak akan mengajak segera pulang dengan janji besok kembali ke tempat yang sama dan boleh meneruskan gambar. Tapi seingat saya, tidak pernah Bapak mengajak ke tempat yang sama secara berurutan. Sepertinya Bapak orang yang pembosan.
Sebetulnya Bapak jarang menggambar. Saat saya menggambar Bapak akan membawa gergaji kecil, pisau pemotong dan sekeranjang kresek berisi tanah. Bapak senang berburu bonsai. Jika ada tanaman yang cocok menjadi bibit bonsai, Bapak akan memotong dan membawa ke rumah. Saya sendiri tidak peduli dengan kegiatan Bapak. Saya tekun menggambar. Bapak tekun mencari Bonsai. Semua peralatan berburu bonsai ternyata selalu ada di kotak penyimpanan di samping motor Vespanya.
Apakah Bapak pernah bermufakat jahat dengan saya untuk diam-diam berbuka di tengah jalan tanpa diketahui Ibu dan Kakak-Adik? Sepanjang ingatan Saya ndak pernah melakukan itu. Sekalinya saya berdiri di bagian depan Vespanya, saya yakin maghrib akan dengan sabar menunggu saya untuk dijemput. Jarang saya merasa haus yang amat sangat atau lapar tak terkira ketika sedang Luzor.
Beberapa hari yang lalu saya pernah menelpon Bapak. Membicarakan soal ini. Nostalgia semasa saya kecil. Bapak hanya tertawa-tawa.
Vespa itu sekarang enath kemana. Saat saya kuliah, Bapak menjual vespanya. Alasannya bukan soal ekonomi, melaikan kesehatan. Menurut dokter, Bapak terlalu lama naik vespa. Mesin vespa di sisi kanan membuat tekanan tak seimbang bagi pinggangnya. Bertahun-tahun setiap hari naik vespa dan lambat laun Bapak mengeluh sakit. Dokter bilang Bapak hernia.
“Oh Vespa Hernia..”, kata Bapak saat diingatkan soal vespanya. Saya hanya tertawa.
Masa kecil saya belum dikotori Youtube, XBox, juga InstaStory. Apalagi Habib.
salam anget,
RoyVespa
- Bonus: Coba tebak siapa penyanyi dan judul lagu berikut ini.
Kenangan berdiri di vespa nya sama kayak kenanganku oom :”)
SukaDisukai oleh 1 orang
membayangkan masa kecil aja, ati anget ya
SukaSuka
Skuter Vespa kayaknya memang jadi barang keren sejuta umat pada masanya ya. Jadi ingat posisi berdiri yang sama persis, waktu dulu kecil diajak Bapak jalan-jalan naik Vespa birunya.
Semoga Ayahnya Mas Roy, dan semuanya sehat-sehat selalu ya. 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Amin. Iya Naga. Masih sehat. Terima kasih. 🙂
SukaSuka
Emha ainun najib yaaaaa
SukaSuka
bukan. jarang kedengeran sih namanya.
SukaSuka
Lagunya familiar banget… Tapi lupa judul beneran. Btw, senang membaca kenangan masa kecilnya… Sehat sekali… Semoga anaknya juga punya kenangan serupa
SukaDisukai oleh 1 orang
iya Om. Terima kasih
SukaSuka
Bila Kau Rindu Sebut Namaku oleh Whyu Os
SukaDisukai oleh 1 orang
Yeay! 🎉🎉🎉👍🏼👍🏼
SukaSuka
Jadi inget vespa Bapak. Vespa Bapak digunakan untuk mengangkut belanja untuk warung Ibu. Itu keperluan utama. Tentunya jika ke rumah kakek, kami bertiga dibawa pakai vespa itu.
SukaDisukai oleh 1 orang
Anak tunggal?
SukaSuka
bisa aja sih googling berdasarkan liriknya, tapi i didn’t.
Bimbo? (sotoy) judul gak tau.
anyway ini sweet banget, jadi inget Bapak. kalo ketemu seringnya berantem, kalo jauh ya kangen. hiks..
SukaDisukai oleh 1 orang
bukan bimbo.
nci, sana telpon bapak.
SukaSuka
Judul lagu: Nabila. Penyanyi: gak tau.
SukaDisukai oleh 1 orang
tetot! salah
SukaSuka