Email dari Seorang Sahabat

Minggu lalu salah seorang sahabat yang bekerja di negeri jiran melalui whatsapp bertanya alamat email saya. Tidak lama setelah saya jawab, surat itu masuk.

Om, langsung aja ya. Jadi gini, di perusahaan ane sekarang lagi pada ribut soal jam kerja. Gara-garanya sepele. Atau malah sama sekali bukan soal sepele. Kantor sering banget ngadain meeting kantor pas wiken. Jadi hari kerja kita kerja, pas wiken ya kerja juga. Semacam bahas evaluasi kerja dan rencana strategis gitulah. 

Dua hari lalu pas ada acara sama bos regional, kita kena musibah. Salah satu rekan kerja, orang India, bawa keluarga. Biasa dong bawa keluarga. Namanya juga wiken. Eh mereka berenang di kolam hotel. Terus tenggelem. Terus mati. Dua-duanya. Combo! Ributlah seluruh kantor.

Kita mulai WA, diskusi sana-sini. Banyak yang nyalahin manajemen kenapa keseringan meeting di wiken. Mau gamau bikin pada bawa keluarga. Sebagian lain bilang ya yang salah ortu lah. Tau anaknya berenang kudunya ada yang jagain. Ada juga yang nyalahin hotel kenapa ga ada pengawas kolam. Jadi selama dua hari ini hape kita tang-ting-tung silih berganti saling ngasih komen. 

Ane pribadi gak ngikut kubu mana-mana. Sedih. kaget. Ane belom berkeluarga. Tapi bisa ngerasaain sih kehilangan anak gitu. Tapi yang ane pikirin itu ane mau balik ajalah ke Indo. Cari kerja yang ga usah aneh-aneh. Gaji standar tapi wiken bisa jalan-jalan….”

Kalimat selanjutnya masih panjang.  Saya baca hingga tuntas. Teman saya ini adalah teman kuliah dulu. Rajin. Pandai. Ganteng. Belum Kawin. Atau ndak mau kawin. Dari suratnya saya jadi bertanya-tanya tentang banyak hal. Jauh ke negeri tetangga kejar karir, kejar uang. Lalu tiba-tiba kepikiran mau pulang. Saya ndak tahu apakah karena beban pekerjaan atau karena insiden kematian rekan kerjanya. Atau dia mau balik untuk kerja santai? Atau apalagi?

Dalam suratnya yang dia bayangkan adalah di Indonesia, atau setidaknya di Jakarta bekerja lebih santai atau lebih manusiawi. Saya sendiri malah ragu soal ini. Soal bekerja hingga wiken, inipun sebetulnya ndak beda jauh dengan kantornya bekerja. Atau jangan-jangan dia mau balik ke Jakarta karena dia mau cari cintanya yang entah ada dimana.

Kami lanjutkan diskusi via whatsapp. Di WA Grup dia ndak kelihatan sedang galau. Tapi pesan japri-nya via email saya tahu dia gelisah. Sepertinya dia hanya cerita soal ini kepada saya.

Saya tidak memberikan nasehat apapun. Saya hanya terus bertanya. Bagaimana kondisi dia. Sehat? Betah? Bahagia? Terus mau apa? Kenapa berpikiran untuk pulang? Kenapa malah berpikiran di sini bisa banyak jalan-jalan saat akhir pekan.

Saya banyak bertanya soal apakah dia siap jika bermacet ria di Jakarta. Atau siap ditanya kenapa belum berkeluarga. Apakah siap ternyata pekerjaannya kelak tidak jauh berbeda dengan kondisi kerja dia saat ini.

Dahulu, saya kagum dengan pola pikir dia. Salah satu sahabat yang lulus paling cepat. Sempat bekerja di perusahaan lokal terbaik. Lalu pindah sana-sini dan akhirnya bekerja di negeri jiran. Setiap hari kelihatannya baik-baik saja. Guyonan garing via wa grup. Sering kasih meme lucu. Sering sekali ribut dengan teman lain untuk diskusi soal politik, ekonomi dan juga soal remeh-temeh. Ndak kelihatan sama sekali dia ndak betah.

Semalam dia email lagi. Tetap dengan email panjang.

“..ane sementara masih jalanin pekerjaan di sini aja Om. Belum tentu ane balik dapet kerjaan yang pas. Keluarga India itu ikhlas. Perusahaan uda minta maaf.”

Saya membaca beberapa kalimat yang bicara soal pribadi, kantor dan rencananya.

Wiken ya tetep meeting. Besok aja kita mau meeting lagi nih. Dan orang-orang kantor kayaknya juga uda lupa soal insiden kolam renang.”

[]

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s