Iseng-iseng Membandingkan

DALAM menjalani kehidupannya, seseorang tak akan pernah benar-benar bisa tenang tanpa usikan dan gangguan. Selalu ada komentar-komentar orang lain untuk hampir segala hal… yang berbeda adalah bagaimana cara mereka menyikapi dan menanggapinya.

Apabila komentar itu terasa ofensif dan memojokkan, berarti dianggap sebagai sebuah celaan bahkan hinaan. Ada yang bereaksi dengan melawan balik, atau malah tidak diacuhkan dan dibiarkan berlalu begitu saja. Sedangkan apabila komentar itu terasa bermanfaat dan pantas diperhatikan, berarti dianggap sebagai kritik dan masukan.

Akan tetapi penting untuk diingat, kondisi ini merupakan siklus yang tak terelakkan. Ada kalanya kita dihujani komentar, namun ada saatnya pula kita yang justru jadi pemberi komentar baik secara sadar maupun tidak, dengan tujuan baik atau sebaliknya. Perubahan posisi yang terjadi hanya perkara tempat, waktu, dan niatan.

Ini menjadi semacam keniscayaan sosial, karena tidak ada manusia yang hidup sendirian.

Sama seperti dalam “Homo Homini Celaterus*“–tulisan dua tahun lalu, bahwa setiap orang memiliki celah cela dalam kehidupannya. Cuma ada dua peran utama dalam hal ini: menjadi pencela, dan menjadi yang dicela. Semua pasti ada gilirannya, dan lagi-lagi… yang berbeda hanyalah bagaimana cara mereka merespons dan menanggapi kesempatan tersebut. Apakah mereka ingin mencela saat bisa mencela? Apakah mereka bisa menahan diri atau bertindak lebih bijaksana? Apakah mereka menerima celaan yang diberikan, atau malah melakukan penolakan?

Mustahil untuk dibantah, ada orang-orang yang hobi mengomentari atau mencela orang lain, namun ada juga yang cenderung diam atau menghindari menyampaikan sesuatu kecuali bila ditanya.

Golongan pertama akan selalu memiliki alasan untuk mengomentari orang lain. Terlalu ini lah… Kurang itu lah… Tidak tepat lah… Kebanyakan apa lah… Ada yang merasa puas setelah berhasil melancarkan komentar-komentarnya, ada juga yang malah menunggu untuk dibalas… agar bisa dikalahkan lagi kemudian.

Belum punya pacar, disuruh cari pacar.
Sudah punya pacar, disuruh cepat nikah.
Sudah menikah, ditanya kapan punya anak.
Sudah punya anak, ditanya kapan nambah lagi.
Ibu yang wanita karier, ditanya kenapa kok tega meninggalkan anaknya.
Anak sudah usia 4 tahun, ditanya kapan masuk Playgroup.
Anak sudah masuk TK, ditanya kenapa kok pilih sekolah tersebut.
… demikian sampai si anak sudah besar, sudah punya pacar, sudah siap menikah, dan seterusnya.

Sementara bagi golongan kedua, selalu ada pertimbangan untuk tidak memberikan komentar terhadap orang lain. Termasuk sikap apatis dan tidak peduli.

Saya iseng-iseng meninjau hal ini dengan meminjam perspektif “Ikigai”, sebuah konsep tentang “Alasan Keberadaan” kita sebagai manusia. Agak kurang nyambung sih, tapi ya… sebodoamat lah… Cuma iseng ini.

Ilustrasi: LinkedIn

Di manakah bidang perpotongan lingkaran yang menjadi tempat para pemberi komentar, dan mereka yang tidak terlalu suka memberi komentar?

Apakah kamu suka mengomentari kehidupan orang lain, atau justru merasa terlalu sering direcoki dengan komentar-komentar orang lain?

Dalam kehidupanmu saat ini, kamu bisa melihat dirimu berada di mana dalam diagram tersebut?

Udah, tiga pertanyaan itu saja.

[]

4 respons untuk ‘Iseng-iseng Membandingkan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s