Membuat virus siber kemudian mendulang uang darinya, merupakan metode yang baru. Pada 2016 lalu, peretas yang menyebarkan Ransomware berhasil menodong dan mengumpulkan sebanyak 10 trilyun rupiah dari para korbannya yang kebanyakan lembaga publik dan sektor bisnis.
Anda dapat mencari sendiri informasi mengenai Ransomware yang kini sedang naik daun dan telah disebar ke seluruh dunia oleh para kriminal siber. Secara sederhana, cara kerja ‘hantu’ digital tersebut ialah menyusup kepada perangkat gawai yang tampak normal lalu kemudian ‘menyandera’ data-data yang ada di dalamnya. Data-data tersebut bisa kembali bila Anda membayar tebusan kepada si peretas. Tentu saja bagi kita yang tak sempat melakukan back up akan sangat tersiksa. Apalagi bagi lembaga publik yang pada dasarnya adalah pelayanan, seperti rumahsakit. Di Jakarta saja, sudah ada dua rumahsakit yang terjangkit Ransomware sehingga operasional harian seperti data pasien, jadwal operasi, dan lainnya menjadi kacau. Hingga awal kuartal II 2017 ini sudah ada 79 negara yang terkena Ransomware.
Kembali ke belakang, tahun 1949, John von Newman sebagai salah seorang pencipta komputer membuat virus dan kemudian diabadikan menjadi virus pertama di dunia. Lalu di AT&T Bell Laboratory, salah satu laboratorium terbesar di dunia, para peneliti di sana membuat permainan yang dinamakan Core War. Sadar bahwa program permainan itu berbahaya, mereka kemudian memusnahkan Core War setiap kali sehabis memainkannya. Persoalannya, tidak semua ahli siber itu bertanggungjawab, sehingga virus-virus itu diciptakan kembali dan disebarkan untuk tujuan tertentu.
Determinisme Teknologi
Yang paling mendukung penyebaran dari malware-malware adalah jaringan (internet) yang mana merupakan hasil dari perkembangan teknologi. Perubahan yang terjadi dalam perkembangan teknologi sejak zaman dahulu hingga sekarang memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat. Hubungan teknologi dengan masyarakat juga menentukan perkembangan dan perubahan sosial serta nilai-nilai budaya. Dalam teori Determinisme Teknologi, kunci untuk mengendalikan masyarakat ialah dengan menguasai teknologi dan inovasinya.
Teori ini dicetuskan oleh Thornstein Veblen pada tahun 1920 dengan maksud bahwa setiap generasi manusia akan memiliki penemu-penemunya sendiri yang kemudian menghasilkan karya teknologi yang menjadi landasan perkembangan manusia. Hal ini memperjelas bahwa teknologi dan masyarakat memang telah memiliki hubungan yang erat sejak lama.
Determinasi Teknologi memiliki tiga bentuk dalam perkembangannya, di mana bentuk yang ketiga yang mungkin sedang terjadi saat ini yaitu bentuk konsekuensi yang tidak disengaja. Bentuk ini melihat kemungkinan yang muncul dari perkembangan teknologi seperti polusi, transformasi masyarakat yang radikal seperti maraknya penyebaran informasi palsu (hoax), serta gaya hidup yang berubah menjadi lebih konsumtif sehingga menghabiskan sumber daya alam dengan cepat dalam pemenuhannya.
Kabut Peradaban
Pada dasarnya, manusia ialah mahluk sosial (bergantung). Kita akan senantiasa bertahan hidup dengan berkoloni. Faktanya, bumi kini dihuni oleh lebih dari 6 milyar manusia yang terkoneksi satu sama lain dengan cepat. Arus informasi tersalurkan tanpa hambatan waktu dengan adanya jaringan dari teknologi komunikasi dan informasi. Ramainya Ransomware telah menandakan bahwa kita sudah cukup jauh bergantung kepada teknologi. Tidak sedikit aktivitas yang lumpuh total karena terserang malware tersebut. Tapi apakah kita sebegitunya bergantung terhadap teknologi? Atau adakah hal lain yang sesungguhnya lebih dibutuhkan manusia selain dari teknologi?
Dalam konsep Kabut Peradaban, manusia kini semakin tidak sadar akan kebergantungannya terhadap alam. Zaman dulu manusia memenuhi rasa laparnya dengan berburu dan mengolah makanannya secara langsung. Kini kita bisa lebih leluasa untuk memilih bahan makanan di etalase supermarket tanpa perlu bercocok tanam. Atau bahkan, kita bisa memesan makanan siap saji dengan sangat mudah langsung ke depan rumah hanya menggunakan layanan ojek antar. Kita semakin jauh dari alam akibat kemajuan peradaban yang kita buat sendiri. Ya! Tanpa alam kita tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan dengan kemajuan teknologi sepesat apapun. Seperti terkena serangan virus atau malware, menjaga kelangsungan alam juga memiliki serangkaian upaya penanggulangannya. Berikut adalah tips dari saya bagi kita yang ingin turut merawat alam dari hal yang paling sederhana;
- Mengurangi (Reduce). Bijaklah dalam mengonsumsi sesuatu. Pastikan Anda membelinya karena kebutuhan. Coba jawab ini; Berapa banyak pakaian yang teronggok tak terpakai di dalam lemari Anda?
- Memakai ulang (Reuse). Anda bisa menggunakan barang pribadi hingga betul-betul tak bisa dipergunakan lagi. Misalnya, apakah Anda perlu mengganti smartphone hanya karena ingin berkamera lebih bagus? Bukankah esensi smartphone adalah untuk berkomunikasi? Anda juga bisa mempertimbangkan untuk membeli barang bekas yang masih layak atau hasil refurbish yang kini sudah marak dijual.
- Mendaur ulang (Recycle). Bila memiliki barang tak terpakai, jangan langsung dibuang, tapi bisa juga dimanfaatkan kembali atau disalurkan kepada penerima yang masih memerlukannya. Hal ini guna memperpanjang usia pakai sebuah barang.
Saat fenomena Ransomware ini meledak, hampir semua orang termasuk di Indonesia panik seakan hal buruk sedang terjadi. Tapi untuk fenomena Indonesia yang setiap tahunnya kehilangan 684.000 hektar hutan, kita tidak menjadikan itu sebagai hal krusial. Padahal, unsur utama manusia dalam bertahan hidup adalah oksigen, yang mana penghasil oksigen utama ialah pohon.
[]
Penulis: @ayodiki