Tidak pernah mengira ada pembaca yang kangen dengan lanjutan serial Kukuruyuk ini. Alasan terhentinya sebenarnya ada dua, pertama karena materinya dipersiapkan untuk buku (semoga tahun ini terbit, awas aja kalo gak beli!) dan yang kedua karena sejujurnya saya tidak mengira ceritanya menarik.
Perkiraan ini bukan tanpa alasan, tapi kalau dilihat dari statistik pengunjung, kedua tulisan sebelumnya memiliki views yang biasa saja. Tulisan menggalau, kritik sosial, kehidupan sekitar, sepertinya lebih menarik perhatian. Kalau ada satu hal yang saya pelajari dari menulis dari linimasa ini adalah soal “nau’in”. Bahasa Emak saya yang sebenarnya berarti memahami.
Sekarang, adalah tulisan bagian terakhir. Ada tiga pelajaran dan kesimpulan yang saya dapatkan dari berjualan nasi ayam selama ini.
- Pasrah Pada Alam
Setiap makanan itu berasal dari bahan alam. Bahkan makanan instan pun asalnya dari bahan alam. Karena dari alam, maka pasti terpengaruh cuaca dan iklim. Kecuali yang sudah “dipaksa” tumbuh apa pun kondisinya. Yang ini sebaiknya tak perlu dibahas karena selain tidak menarik saya, juga membuat saya merasa tak berdaya.
Seperti contohnya, Coriander atau Daun Ketumbar. Selain mahal, sulit sekali menyimpannya dalam waktu lama. Sangat sensitif. Di musim kemarau, daun ini tumbuh di iklim tropis yang sejuk, bukan dingin. Awalnya Maret dan Mei adalah bulan ideal. Tapi dengan cuaca tak menentu seperti sekarang, semua sulit ditebak. Bisa terkadang hilang dari pasaran sama sekali.
Selain Coriander, masih ada jamur Shitake yang ketersediannya tak selalu ada. Berbeda dengan daun bawang yang hampir tak pernah menghilang di pasaran. Selain kedua bahan tadi, mungkin tak banyak dari kita yang menyadari kalau bawang putih, bawang merah dan cabe tak selalu sama rasanya. Ada bawang putih yang menang wangi tapi rasanya cenderung biasa. Ada bawang merah yang tampilannya cakep tapi rasanya hambar. Ada pula cabai yang tingkat kepedasannya berganti-ganti walau dari jenis yang sama.
Perbedaan-perbedaan ini tentu mempengaruhi rasa makanan. Dan karenanya secara berkala takeran bahan-bahan itu harus disesuaikan. Di tahun pertama menyesuaikan resep ini tentu menjadi beban tersendiri bagi saya. Tapi lama-kelamaan secara otomatis saya melakukannya. Mengubah resep pun jadi rutinitas yang menyenangkan. Dan di atas ini semua, sambil melihat ke langit dalam perjalanan pulang, saya sering berbisik dalam hati “saya ini tiada”.
2. Be Kind
Saya pernah mengikuti tes kepribadian yang menanyakan kalau saya punya anak dan bisa memilih, apakah saya memilih anak yang pintar atau anak yang baik. Refleks saya menulis anak yang baik. Karena orang-orang baik di sekitar saya selama ini lah yang bukan hanya ikut membantu saya memperbaiki resep, tapi juga diri saya.
Orang-orang baik yang tanpa pamrih berbagi resep. Tanpa menuntut imbalan mempromosikannya di media sosial. Berbagi info sampai meminjamkan uang. Kalau suatu hari bisnis ini terhenti, maka pelajaran terbesar adalah selamanya kita membutuhkan orang lain. Dan satu-satunya cara adalah dengan berusaha keras menjadi orang yang baik untuk orang lain.
Banyak orang menyalah artikan menjadi orang baik berarti selalu menyenangkan. Ada banyak definisi. Salah satunya, menjadi jujur. Kalau enak bilang enak, kalau tidak enak bilang tidak enak. Bukan bilang enak padahal tidak enak hanya karena takut menyakiti perasaan teman. Banyak cerita pebisnis yang terjungkal karena memilih untuk bergaul dengan orang-orang yang senang memuja mujinya saja. Ini bukan hanya merugikan bisnis tapi mematikan pengembangan diri.
Percayalah, ada banyak orang pintar dan cerdas di sekitar kita. Orang yang banyak akal dan ide. Tapi semakin lama terasa semakin sulit menemukan orang baik. Daripada mengeluhkan situasi, berusaha menjadi orang baik sepertinya pantas untuk dimulai.
3. Tumbuh Sesuai Waktu
Di angkatan saya pasti pernah mendengar penyanyi cilik bernama Chiquita Meidi atau Maissy. Walau booming, banyak yang saat ini merasa risih melihat anak kecil yang bertingkah dan berdandan seperti orang tua. Demikian pula dengan bisnis. Yang sering kita lihat di sekitar adalah bisnis yang mungkin sebenarnya kecil tapi ditiup cepat sehingga terlihat besar.
Ligwina Hananto dalam sebuah perbincangan mengenai bisnis dengan saya pernah menyarankan “don’t rush it”. Setiap bisnis memiliki tantangan dan caranya sendiri untuk berkembang. Yang bikin sulit adalah kalau mulai membanding-bandingkan dengan bisnis lain. Yang lebih cepat bukan berarti lebih menguntungkan dari yang lebih lambat.
Ada banyak contoh di sekitar saya, bisnis yang dikembangkan dengan terlalu cepat untuk kemudian tutup dengan kondisi rugi. Kadang, pengusaha mula sering terpacu karena merasa bisnisnya tumbuh pesat di awal. Padahal dalam bisnis makanan, kalo baru buka pasti laku karena orang ingin mencoba. Padahal tantangan sebenarnya ada di pemesanan ulang.
Sampai jumpa di edisi cetak 🙂
❤❤❤❤
(semoga tahun ini terbit, awas aja kalo gak beli!)
siappp om!! ditunggu and nanti beli.
SukaSuka