1.
Saya masih ingat bagaimana ayah saya mengajari saya berenang. Saya tak henti-hentinya teriak kala ayah saya melepas tangannya yang ia gunakan untuk menahan dada saya agar tidak tenggelam. Tinggi kolam itu 1.5 meter, dan untuk ukuran anak usia 8 tahun, masih sangat tinggi. Namun ayah memiliki caranya untuk meyakinkan saya.
Kata ayah saya, “Tenang… Tenang… Makin kamu panik, kamu bakal beneran tenggelam.” Tentu saja, menurut ayah saya, saya sudah siap waktu itu. Saya sudah belajar mengambang dan mengayuhkan kaki dengan benar sesuai kaidah berenang gaya bebas sepengetahuan beliau.
Tentu saja pada akhirnya saya menenggak terlalu banyak air kaporit di hari pertama saya betulan berenang. Kaki saya menghentakkan air sehingga saya persis seperti kapal di ombak yang ganas alih-alih seperti orang yang berenang. Saya berusaha menguasai rasa takut saya. Entah kenapa, rasa ingin saya bisa mendadak menguasai saya. Teknik berenang saya saat itu sangat payah, tentu saja. Saya menghabiskan banyak energi. Akan tetapi, saya sampai ke ujung. Dan ayah saya memandang saya dengan bangga.
2.
Saya masih ingat hubungan saya dengan pacar pertama saya, terutama, bagian di mana kita pertama kali jadian. Saya laki-laki biasa – remaja dengan pengalaman minim terhadap perempuan. Sementara dia? Saya rasa, dia sangat populer dan tentu saja sangat manis. Saya terus mengutuki diri saya bahwa saya tidak populer dan not good enough for her. Sehingga pada akhirnya, mulut saya bisa mendadak kelu saat bertemu dengannya. Saya tidak berani untuk mengajaknya jalan. Bahkan, untuk mengatakan hai saja saya perlu berlatih di depan cermin selama beberapa hari.
Tentu menyebalkan di situasi macam ini. Lama kelamaan, imajinasi saya jadi nambah aneh. Awalnya pengen kenalan, lama-lama jadi ingin jadian hingga kencan. Saya terus memimpikannya dan memikirkannya, entah berapa kali, hingga ibu saya tahu namanya juga. Saya jadi cemburu saat dia dekat dengan laki-laki lain meski saya bukan siapa-siapanya. Saya sempat hampir berkelahi dengan salah satu orang yang mendekatinya dan menjadi pacarnya.
Lalu pada akhirnya, karena saya tidak tahan, mulai berpikir bahwa saya harus bicara dengannya. Saya lakukan, dan butuh berkali-kali agar saya percaya diri dan pada akhirnya kita jadian. Rupanya, saya pantas untuk dia, dan saya sangat kaget bagaimana sesungguhnya saya adalah pacar yang baik selama ini.
3.
Saya masih ingat pertama kali naik rollercoaster. Saya fobia ketinggian – sebagai gambaran, kaki saya sudah lemas saat di lantai paling atas Senayan City di mana lantainya kaca. Tapi situasi kemudian memaksa saya harus naik rollercoaster. Waktu itu, saya pergi dengan teman-teman saya. Karena ogah dianggap cemen, saya kemudian naik rollercoaster dengan keadaan tangan yang sangat dingin.
Saat rollercoaster meluncur, saya teriak sangat keras seperti perempuan yang histeris dalam konser. Tapi setelah melewatinya, saya kemudian tersenyum dengan senang. Saya bangga dengan diri saya. Jelas fobia saya tidak hilang dengan seketika. Saya masih memiliki fobia tersebut. Tapi sama seperti hal-hal yang saya takuti dalam hidup, terkadang, saya terlalu meremehkan diri saya. Saya hanya perlu memberanikan diri saya, dan membuktikan bahwa diri saya salah. Surprise yourself.
penulis: @UtamaArif