Berikan Kekuatan Untuk Bisa Bertahan, Ya Tuhan …

Baru beberapa hari yang lalu saya menamatkan menonton serial “Feud”. Miniseri 8 episode ini dibuat oleh Ryan Murphy, pembuat serial “Glee”, miniseri “American Crime Story: The People vs OJ Simpson”, serial “American Horror Story”, dan masih banyak yang lain.

Rencananya “Feud” ini akan selalu dibuat setiap tahunnya. Semuanya akan menampilkan fokus perseteruan antara dua pesohor ternama yang publik (baca: penonton televisi Amerika) banyak ketahui.
Makanya, di musim penayangan pertama ini, cerita “Feud” memfokuskan diri pada perseteruan antara dua bintang besar Hollywood di era tahun 1930-an sampai awal 1950-an, yaitu Bette Davis dan Joan Crawford.

Untuk teman-teman yang memang penggemar film-film klasik, kedua nama ini sudah tidak asing lagi. Namun bagi teman-teman yang belum tahu, Bette Davis dan Joan Crawford bisa disebut sebagai, erm, Taylor Swift dan Katy Perry untuk perfilman Hollywood waktu itu. Keduanya sama-sama tough, strong minded, mampu bertahan di tengah dominasi serbuan bintang-bintang muda lainnya, dan mempunyai etos kerja yang tinggi. Tak heran, ketika keduanya dipersatukan untuk membintangi film What Ever Happened to Baby Jane? di tahun 1962, media dan publik kala itu “pecah”.

(source: The Hollywood Reporter)

Dua orang dengan watak keras kepala yang sama, yang terbentuk dari kebiasaan kerja keras selama puluhan tahun, bertemu dalam satu film. Tidak ada yang mau mengalah. Perseteruan mereka bukan karena mereka membenci satu sama lain, tapi karena mereka tahu bahwa mereka harus mengalahkan satu sama lain untuk menjadi yang terbaik, yang paling menonjol.
Apalagi film ini menandai kebangkitan mereka, karena sebagai aktris senior, mereka sudah jarang mendapat panggilan untuk main film lagi. Paling tidak, sudah tidak sesering waktu mereka masih muda.

Dan di sisi inilah miniseri ini menarik perhatian saya. Tentang ageism. (Apa ya padanan bahasa Indonesia yang paling pas?)

Tema ageism atau perlakuan diskriminasi terhadap orang lanjut usia ditampilkan dengan baik di miniseri “Feud” ini. Di industri hiburan yang memang ‘kejam’ dan cenderung berpihak pada penampil yang masih muda, kesempatan untuk para seniman tua berkarya semakin lama semakin berkurang.

Dalam miniseri ini, dan di kehidupan nyata, Joan Crawford terlihat kesulitan menghadapi kenyataan bahwa tidak ada lagi peran-peran yang menarik yang menghampirinya, tidak seperti di masa jayanya. Dia harus ‘rela’ berperan di film-film horror murahan, dan tidak mau terlihat tua di depan layar atau di depan publik. Saat sebuah koran memuat foto dirinya yang terlihat menua, dia memutuskan untuk berhenti berakting atau tampil di depan umum sama sekali, sampai dia meninggal di tahun 1977.

(source: Daily Mail)

Bette Davis ‘sedikit’ lebih beruntung. Sadar bahwa dia tidak pernah mengandalkan kecantikannya, dia masih terus bekerja sampai akhir hayatnya. Kesehatannya yang menurun tidak menghalanginya. Peran sekecil apapun, termasuk beberapa rencana serial televisi yang selalu gagal, dikerjakannya sambil menelan ego besarnya dalam-dalam. Tentu saja dia masih berkeluh kesah terhadap perlakuan tidak adil yang diterimanya. Atau buruknya film-film yang dia kerjakan. Namun dia ingin membuktikan bahwa dia masih bisa terus berkarya.

Film What Ever Happened to Baby Jane? yang mereka bintangi bersama memang sukses keras di pasaran. Bette Davis masuk nominasi Oscar lewat film ini. Nama Bette Davis dan Joan Crawford sempat melambung lagi, meskipun tidak lama. Lagi-lagi karena keterbatasan availability roles buat mereka.

Sepanjang miniseri ini, diam-diam ternyata ada pertanyaan yang menyeruak di benak saya, “Siapkah kita menua?”

Dulu saya suka bercanda dengan teman-teman saya, kalau ada yang memanggil dengan sebutan “pak” atau “bapak” ke saya dan sesama teman pria, atau “bu” dan “ibu” ke teman-teman perempuan. Rasanya risih. Lalu pasti protes. Atau berusaha dandan lebih muda dari umur.

Namun sekarang? Meskipun masih berusaha berpakaian sesantai mungkin, karena pekerjaan tidak mengharuskan untuk memakai seragam, ditambah olahraga rutin, ternyata frekuensi penyebutan panggilan “mas” atau “kak” sudah jauh lebih berkurang. Malah hampir tidak ada. Rasanya sedih, tapi cuma bisa sedih dalam hati. Soalnya kalau sedih di muka umum, nanti ada yang merekam lalu diunggah ke media sosial sampai jadi viral.

Kita tidak bisa melawan penuaan. We cannot beat aging, but we only have to deal with it.

(source: Feminist Current)

Susah? Itu pasti. Apalagi kalau sudah ada obrolan “kayaknya baru kemarin ya kita lulus SMA” dan sejenisnya. Semakin tua, semakin cepat rasanya waktu berlalu. Kejadian yang sudah lewat 15 tahun silam serasa seperti baru terjadi dua minggu yang lalu.

Toh time will never wait for anyone. Untuk kita semua yang angka umur semakin melaju melebihi kecepatan kita menyadarinya, kita harus siap kalau nanti kemampuan motorik kita semakin menurun, makan sedikit cepat membuat badan lebih menggemuk, sesekali lupa akan nama teman lama, dan kesempatan berkarya kita makin terbatas.

Apakah kita pasrah? Jawabannya adalah “ya” dan “tidak”.
Never mind our beauty will fade, tapi selama panca indera kita masih bekerja, maka kita masih bisa belajar. Belajar mengikuti perkembangan alam, perkembangan teknologi terbaru. Belajar untuk tidak menyusahkan yang lebih muda. Belajar bahasa mereka, meskipun bukan berarti kita harus berbicara bahasa yang sama. Membaca. Baik itu membaca alam, membaca perubahan, atau membaca buku untuk terus mengasah otak dan akal kita.

Just because we lose our youth, that does not mean we have to lose our mind.

Satu respons untuk “Berikan Kekuatan Untuk Bisa Bertahan, Ya Tuhan …

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s