SELAIN peristiwa Bani Israil melebur perhiasan emas lalu dijadikan berhala anak lembu betina… setelah dibawa Nabi Musa menyeberangi Laut Merah menghindari kejaran Firaun, tampaknya bangsa Tionghoa sudah default sebagai salah satu pelaku animisme paling fleksibel dalam peradaban dunia. Paling luwes, dan paling sinkretis karena perspektif budaya. Di mana pun mereka berada, termasuk di Indonesia.
Di Tiongkok, Hong Kong, maupun Taiwan, ada kepercayaan tentang Dewa Bumi sebagai danyang si empunya kawasan. Semacam penjaga atau penguasa lokasi setempat. Bukan penunggu, karena derajatnya tidak sama dengan hantu. Tiap kali ngapa-ngapain, harus diberi tahu dan dikasih jatah. Seperti ketika ingin membangun rumah, pindah kediaman, membuka toko atau tempat usaha, dan sebagainya.
Dewa Bumi ini populer dengan banyak nama. Beberapa di antaranya adalah Hok Tek Ceng Sin (福德正神) dalam dialek Hokkian, Toapekong (大伯公), maupun Tudigong (土地公) yang secara harfiah merujuk pada sesosok kakek. Salah satu ciri khasnya adalah altar yang tidak menggunakan meja, melainkan menapak tanah. Sangat mudah dikenali.

Merantau ke Indonesia, figur Dewa Bumi pun akhirnya digeser. Tidak berganti, melainkan disejajarkan. Sesuai pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Dari yang awalnya digelari Dewa Bumi Panca Hala Panca Marga (五方五路土地公), akhirnya mulai bisa dipanggil “Datuk” di sini. Sajennya pun lebih me-Nusantara, dengan kopi hitam, dan rokok kretek. Di Cina sana mana pake yang beginian.
Nah, lagi-lagi karena kearifan lokal, segelas kopi hitam, rokok kretek, dan/atau segelas air kembang seperti dalam foto di atas selalu dipersiapkan setiap Kamis malam. Kenapa malam Jumat? Kemungkinan besar sejalan dengan kepercayaan khas di Indonesia. Bagi keluarga yang memiliki altar Dewa Bumi, sesajen tersebut akan ditempatkan dalam nampan dan diletakkan di depannya. Apabila tidak punya, nampan cukup diletakkan di tengah atau salah satu sudut ruang tamu.
Keesokan harinya, pada Jumat pagi, air kembang tadi kemudian disiramkan di depan rumah. Entah apa maksudnya, ataukah hanya kebiasaan yang telah turun temurun saja. Di sisi lain, masih di Samarinda, kadang ditemukan kembang serupa sengaja dihamburkan di persimpangan jalan, terutama daerah padat kendaraan dan rawan kecelakaan.
Seperti ini. Barangkali bisa disebut bentuk paganisme dengan kearifan lokal. Setidaknya yang terjadi, dan terus dilakukan dalam lingkungan keluarga saya maupun orang-orang Tionghoa di Samarinda.
Dari salah satu contoh ini, sinkretisme religius budaya Tionghoa terlihat begitu cair. Ketika ritual yang dibawa dari tanah nenek moyang berubah bentuk menjadi melokal. Kebiasaan menyiapkan air kembang bungkus pada malam-malam tertentu jelas merupakan peniruan, dan akhirnya ikut dilakukan warga Tionghoa dengan logika sederhana; “kayaknya bener juga ya…” atau nothing to lose to try.
Kalau tahu sesuatu tentang kebiasaan seperti ini dari budaya lainnya, boleh dibagi lho di kolom komentar.
Selain soal air kembang, bentuk-bentuk sinkretisme lainnya bisa dilihat di banyak lokasi. Di Gunung Kawi ada kelenteng, padahal lebih duluan dikenal sebagai tempat mengalap berkah dengan gaya Jawa. Tidak pakai hio, melainkan kemenyan.
Di Semarang ada Sam Poo Kong, dengan wadah hio khusus untuk Zhenghe yang aslinya adalah seorang Tionghoa muslim, serta untuk jangkar kapalnya.
Di sekitar Pasar Baru, dalam Kelenteng Sin Tek Bio juga ada salah satu altar dengan patung Eyang Djugo yang bukan merupakan sosok dewata tradisional. Eyang Djugo konon adalah Kyai Zakaria II yang merupakan cucu Pangeran Diponegoro. Di kelenteng itu, Kyai Zakaria II mendapatkan penghormatan ala Tionghoa, pakai hio.
Apakah sinkretisme ini hanya terjadi di Indonesia? Oh tentu tidak. Cukup dengan melihat apa yang terjadi pada Zhenghe, Kyai Jangkar, maupun Kyai Zakaria II, tak heran apabila Mandir atau kuil Hindu India di Singapura bahkan menyediakan wadah hio di depan pintu utamanya. Seperti yang sempat saya lihat pada 2008 lalu. Warga Tionghoa setempat pun melakukan penghormatan dengan gaya yang sama seperti di kelenteng. Yakni dengan cara “Cung-Cung-Cep” atau “Acung-Acung-Tancep”.
Dewanya dewa Hindu, ritualnya gaya Cina. Beda jazirah, tapi mungkin maksudnya sama.
Selamat hari libur.
[]
Cung-cung-cep hahaha kirain mantra apa…ternyataaa
SukaSuka
Enak bacanya, Gon. Sering nulis ginian yah. Jadi ngerti dengan hal lain.
SukaSuka
Iya. Terima kasih ya, Mas. Ntar kapan-kapan ku traktir deh. Hehehehe…
SukaSuka