1999, pertama kalinya membeli album musik indie di sebuah lapak kaset emperan pinggir Taman Topi, kota Bogor. Saat itu, banyak berjejer lapak kaset bekas yang masih ramai dikunjungi. Selain di emperen, bergeser beberapa kilometer ke Plaza Bogor, ada sebuah toko kaset. Mereka punya banyak koleksi yang jarang ditemui di toko lain. Tak heran bila seorang teman selalu ke tempat itu saat hendak mencari album-album hits di tahun 80an yang sudah sulit ditemui.
Pure Saturday, Rumahsakit, The Charlatans, Flowered Up, hingga yang lebih tenarnya seperti The Stone Roses jadi koleksi untuk diputar dengan tape mini compo di kamar. Hanya, tidak semua dalam bentuk album asli, beberapa di antaranya didengarkan melalui kaset mixing yang saat itu jasa pembuatannnya cukup menjamur. Maklum saja, waktu itu saya masih sekolah dengan uang jajan yang hanya cukup untuk ongkos KRL, semangkuk mie ayam dan tiga batang rokok.
Nama-nama band sebelumnya –kecuali Pure Saturday dan Rumahsakit- adalah grup-grup yang tergabung dalam sebuah scene musik transisi dari era New Wave ke Britpop; Madchester, yang selanjutnya akan saya ulas secara singkat. Tahun 90an, tak banyak yang mendengarkan musik yang selain dari negeri Paman Sam. Ekspansi musik ‘Hollywood’ cukup masif selaras dengan penyebaran industri filmnya. Tentu Anda masih ingat film-film Tom Cruise yang diputar di program Layar Emas RCTI bukan? Pun pada program-program musik di stasiun tv nasional jarang sekali memutar video-video klip band tanah Inggris.
Madchester adalah scene musik dan kultur yang berasal dari area Manchester di Inggris. Tentu bagi kita daerah tersebut lebih dikenal dengan klub sepakbolanya seperti Manchester City, Manchester United, Wigan Athletic, hingga Bolton Wanderers, ketimbang musiknya. Sebelum era Madchester, sebelumya ada beberapa grup band tenar yang mewakili budaya popular area Manchester seperti The Smiths, New Order, dan The Falls yang praktis menjadi pengaruh signifikan pada perkembangan era Madchester meskipun berada di bawah bayang-bayang Duran Duran dan Spandau Ballet, yang sejak tahun 1980 menjadi ikon musik Inggris.
Scene ini sebetulnya belum betul-betul nongol sebelum tahun 1988, namun beberapa band yang mewakilinya justru sudah terbentuk dan tenar sebelumnya. Sebut saja The Stone Roses yang sudah eksis sejak 1984 di sebuah distrik Altrincham sebelah tenggara Manchester. Kemudian ada Happy Mondays pada tahun 1980 di daerah Salford, serta James, salah satu band yang susah dicari foto atau posternya, dibentuk setahun setelah Happy Mondays.
Adalah Factory Records, sebuah label rekaman indie yang membawahi band-band legendaris Manchester seperti Joy Division, New Order, Happy Mondays, dan Northside yang turut membawa scene Madchester muncul ke permukaan. Tak lain, Philip Shotton, seorang sutradara video di Factory Records-lah yang menemukan istilah Madchester pada tahun 1989. Label rekaman ini juga (bersama New Order) yang mengkonversi bekas pabrik tekstil di pusat kota Manchester menjadi klub malam bernama The Hacienda pada tahun 1981. Klub tersebut menjadi sarana bagi band-band di Manchester yang semakin memiliki tempat untuk berekspresi dan promosi. Sayang sekali kiprah Factory Records dengan The Haciendanya berakhir pada tahun 1992 dengan mendeklarasikan kebangkrutan. The Hacienda Apartment bisa jadi alternatif pilihan bagi kita yang ingin ‘napak tilas’ dengan era perkembangan musik Inggris selain Abbey Road.
Baggy
Pada saat yang bersamaan, Happy Mondays dan Inspiral Carpets mengeluarkan single mereka masing-masing. Sama selayaknya The Stone Roses, khusus bagi Inspiral Carpets, mereka mencampurkan nada-nada bassline disko, efek ‘wah-wah’, serta suara dari organ Fartisa pada beberapa jinglenya. Nada ini yang kemudian diberi nama ‘Baggy’ yang secara umum merupakan kombinasi dari musik funk, psychedelia, serta musik upbeat.
Di sisi lain, cara berpakaian dari masing-masing personel band juga dinamai yang sama. Baggy jeans yang dulu sangat popular kemudian dikenakan kembali. Gaya berpakaian ini bisa jadi kombinasi dari pakaian hangat (jaket, parka), model hippies, retro, dan juga kultur kasual sepakbola. Banyak juga para suporter kasual tersebut yang mendengarkan lagu-lagu dari band Madchester. Bahkan beberapa member dari band-band Madchester sering mengenakan kostum klub sepakbola.
Kebangkitan skena Madchester kian menjanjikan. Pada 1989, beberapa single dari masing-masing band merajai tangga lagu indie di Inggris. Hampir seluruh media kemudian menyoroti area Manchester yang sedang hingar bingar kala itu. Namun, langkah keberhasilan tersebut tidak begitu sukses di luar Inggris, khususnya Amerika Serikat. Praktis hanya The Charlatans saja yang bisa menembus chart Billboard Modern Rock Tracks nomor 1 dengan single ‘Weirdo’ pada tanggal 23 Mei 1992.
Bangkrutnya Factory Records juga turut mendasari kemunduran era Madchester. Hanya dua ikon yang bertahan yakni Happy Mondays dan The Stone Roses. Band-band terusan lain seperti James, The Charlatans, serta Inspiral Carpets tetap melanjutkan rekaman namun dengan membawa pesona yang lebih luas, bukan sebagai perwakilan scene Madchester. Ditambah, media-media musik di Inggris pun lebih mengalihkan fokus kepada musik shoegaze dari daerah selatan, kemudian munculnya era Britpop, serta serbuan skena Grunge dari Amerika Serikat.
Era Madchester sudah pasti menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Sejak munculnya skena musik ini, banyak yang kemudian menempatkan Universitas Manchester sebagai pilihan utama untuk melanjutkan pendidikan. Kota Manchester kemudian menjadi daya tarik yang menyebabkan meningkatnya industri hiburan dan kreatif. Namun, di sisi lain, semangat budaya clubbing juga berdampak pada kejahatan yang mulai terorganisir seperti peredaran obat terlarang, premanisme, serta budaya kekerasan (berontak).
Meskipun Madchester bukan hanya The Stone Roses, namun lagu-lagu mereka mendominasi playlist Saya dalam menikmati musik.
Sudahkah Anda mendengarkan ‘Elephant Stone’ hari ini?
[]
Penulis: