“Jadi kamu sebenarnya sudah pernah gagal dua kali?”
“Ya, dua kali.”
“Apa karena itu kamu memutuskan untuk sendiri saja sekarang?”
“Tidak pernah secara sengaja memutuskan apapun, yang nyaman untuk situasi sekarang saja. Kok, rasanya tidak punya tenaga dan waktu lagi untuk membina hubungan dari nol. Mungkin nanti, tapi enggak sekarang.”
“Jadi enggak kapok?”
“Wiser and more skeptical? Yes. Kapok? Sepertinya enggak.”
“Apa yang terjadi sih, dengan yang pertama? Sepertinya kamu jarang cerita.”
“Enggak ada yang aneh-aneh sih, masih sama sama muda, ekspektasi tidak sesuai kenyataan dan yang tadinya manis jadi pahit.”
“Sepertinya biasa saja. Toh banyak yang mengalami itu dan tetap bisa jalan.”
“Ya, memang, tetapi ada turning point yang membuat putus asa dan bahkan membuat saya berpikir lebih baik dia atau saya mati saja.”
“Waduh, segitunya?”
“Ya mungkin waktu itu pikirannya masih terlalu naif. Ketika dengan segala masalah yang biasa, lalu memikirkan masa depan, bagaimana kami akan berjalan dengan cerita yang kurang lebih bisa ditebak, dengan cara yang sepertinya sulit diubah dengan cepat, tiba-tiba rasanya lebih baik mati saja daripada punya masa depan seperti itu.”
“Jadi ketika itu kamu berhenti berharap dan berusaha?”
“Ya.”
“Bukannya justru biasanya perempuan mencari kenyamanan dan keamanan dari masa depan yang sudah bisa ditebak?”
“Entahlah, mungkin yang lain merasa seperti itu.”
“Kalau kamu?”
“Sendirian memang agak menakutkan, lebih tidak pasti, dan terkadang merasa tidak ada sandaran yang bisa diandalkan. Tetapi ketidakpastian masa depan justru membuat bahagia dengan perandaian kanvas atau kertas kosong yang masih bebas kita lukis dengan warna apa saja. Seseorang di hidup yang seperti bola besi berantai yang mengganduli kaki biasanya sudah melukis kanvas itu dengan warna latar belakang sesuai dengan suasana yang dibawanya.”
“Bukannya justru itu hakikat hidup bersama? Melukis bergantian tetapi tetap dengan warna harmoni yang akhirnya mendapatkan lukisan selaras walau tak sempurna?”
“Mungkin. Tapi hidup bersama atau hidup sendiri kan pilihan.”
“Mungkin kamu saja terlalu egois, tak pernah membiarkan orang lain mengotori kanvasmu?”
“Ya, mungkin itu juga.”