Kenapa Burung Setiap Pagi Senang Berdiri?

Judulnya membual. Linimasa ndak mungkin membahas sesuatu yang sama-sama telah diketahui umum. Kalau membahas urusan dewasa atau sebut saja porno, malah sudah biasa.

Saya hanya mau bercerita bagaimana sebaiknya mencintai tanpa perlu objek. Sedang mau belajar itu. Apakah mungkin? Nah loh! Bisa ndak?

Mencintai menjadi sebuah kegiatan rutin yang tanpa syarat. Apa iya lapar itu memerlukan objek? Lapar adalah kondisi dimana kita harus makan. Mencintai pun demikian kondisi dimana kita harus menyukai dan menyayangi. Hebatnya ini lebih lentur dari sekadar lapar. Tidak hanya makanan, mencintai terhadap segala. Mencintai hidup sekaligus kematian. Mencintai duniawi sekaligus akherat. Bisa?

Jangan meributkan arti mencintai, sama dengan tak perlu meributkan apa arti lapar. Cintai dan lapar itu dijalani saja karena toh semua orang tahu bagaimana rasanya. Lapar ada yang cukup diganjal satu piring nasi dan kerupuk. Juga ada yang lapar dihilangkan dengan satu steak wagyu kelas prima. Tapi apakah lapar itu kualitasnya ditentukan dari cara menghilangkan lapar itu sendiri? Atau objek yang dijadikan peghilang lapar, misalnya dari harga penghilang lapar?

Seharusnya sih ndak. Lapar orang miskin dan lapar orang kaya itu pada dasarnya ya sama.

Sama juga dengan mencintai. Kualitasnya bukan “kepada siapa mencintai”. Lapar ya lapar. Cinta- ya cinta.  Misal: “cinta itu hanya pada Tuhan”. Sama saja dengan kalau lapar itu ya sebaiknya makan steak. “Cinta itu karena kekurangannya, jangan karena kelebihannya”. Sama halnya dengan lapar itu karena puasa, bukan karena sengaja diet.

Manusia itu suka mempersulit diri sendiri. Tanpa makan, lama-lama lapar juga. Karena pada prinsipnya manusia butuh makan untuk bertahan hidup. Bagaimana dengan mencintai? Seharusnya kita pun ndak bisa hidup tanpa cinta. Satu terkait fisik dan satunya lagi soal batin. Mana yang lebih penting? Jangan dijawab! Karena kita sedang tidak mau terjebak pada mana hal lebih hebat dari hal lainnya.

Mencintai apa mesti harus pada lawan jenis? Ini adalah pembahasan yang sebetulnya juga ndak perlu. Mengapa? Karena soal mencintai tidak penting objeknya. Ini pasal pertama tulisan ini. Jadi kita tak lagi persoalkan kepada siapa cinta perlu dipersembahkan.

Ndak bisa mas, lapar saja kudu diberi makanan halal. 

Kalau kita kasih makanan  haram, memang laparnya tetap ada? Sama halnya dengan mencintai, apakah harus yang seiman? Harus halal? Jika tidak, maka cintanya akan ndak kesampaian?

Lapar kalau makanan haram dosa. Lapar kalau kekenyangan ntar malah sakit. Lapar kalau tidak bergizi asupan makanannya bisa mencret. Apalagi terlalu pedas. 

Jika bicara mana yang baik, maka lapar memang harus disikapi secara bijak. Sama halnya mencintai. Apakah harus disikapi dengan baik.? Ya!

Jika lapar obatnya makan, apakah cinta itu obatnya seks Mas?

Menurut aku kok bukan ya.  Cinta tidak hilang karena seks. Atau cinta harus berbalas kegiatan fisik cumbu rayu, kelonan dan sebangsanya.  Makan itu umum. bisa makan nasi, bisa makan tempe. cinta pun seperti itu. Penawarnya adalah bermacam-macam. Menu seks memang favorit. Tapi banyak jalan lain menambal rasa cinta. Yang penting mencintai. Berkata sayang, menelpon, menunjukkan perhatian, adalah berbagai menu lainnya. Termasuk berserah diri, berdoa, sholat lima waktu atau mengaji. Itu adalah menu penawar rasa cinta.

Jika cinta menjadi sebuah kebutuhan, selayaknya lapar, maka mencintai akan dipedomani sebagai suatu hal yang lumrah. Tidak perlu diagung-agungkan sedemikian rupa. Tidak perlu ditulis sedemikian banyak dalam bentuk lagu, puisi, atau esai. Karena itu adalah obat penawarnya saja. Tiap orang beda selera. Ada yang cukup dengan sejumput nasi orang kenyang. Atau harus makan besar.

Jika diam saja kelamaan kita lapar. Apakah diam saja kelamaan juga kita mencintai? Iyes. Kok saya berpikir bahwa memang mencintai adalah keniscayaan sebagai manusia. Ketika lapar kita ndak mampu beli steak. Ketika mencintai tidak mampu kepada yang cantik. Apakah lalu kita tak jadi makan?

“Tapi kan makan itu boleh ganti selera setiap hari, karena lama-lama bosan.

Ya sama. Maka wajar saja jika mencintai pun mudah bosan. Jika ini dipahami benar, maka tak ada sakit hati berlebihan. Tak ada janji kalau lapar harus makan tempe dan setia pada tempe sehidup semati.

Boleh dong sesekali makan tahu?

Itulah gawatnya. Kenapa cinta harus dilekatkan dengan kesetiaan. Mengapa kita sibuk pada objek cinta? Ndak penting makanannya. Yang penting mari kita rayakan rasa lapar dengan menghilangkannya dengan makan-makanan yang bergizi. Ndak penting siapa dan apa? Tapi bagaimana cara kita mencintai dan memperlakukan rasa cinta ini sebaik-baiknya. Soal setia itu soal selera. Juga soal ketahanan terhadap satu pilihan.

Sungguh ngawur tulisan ini!

Tak apa, daripada saya memanjang-manjangkan tulisan sesuai judul. Toh punya saya sudah panjang. Ya. Rasa cinta yang begitu panjang hingga akhir zaman.

Oh ya, ini sekadar buat diskusi saja. Menurut kamu apakah kita bisa sekadar mencintai dan atau membiasakan hidup penuh cinta tanpa perlu mementingkan objek yang kita cintai?

Salam burung!

Roy

 

 

 

 

 

 

3 respons untuk ‘Kenapa Burung Setiap Pagi Senang Berdiri?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s