Sepucuk Surat Kepada Lelaki Yang Tak Pernah Bersenggama di Usia Tigapuluh Tiga

Hai, ..
Kau lelaki yang lebih menyukai menulis buku harian sebagai pelampiasan sekaligus pembelaan diri karena tak juga pernah bersenggama sepanjang hayat. Kau lelaki yang lebih menyukai dicap berlaku layaknya setan (yang begitu mencintai Tuhannya dengan setia menggoda manusia)  daripada melakukan transaksi dengan penjaja seks dan kamu anggap tak lebih dari binatang. Kau, lelaki yang di kala senja termenung sendiri dan mengagung-agungkan degup jantung sebelum melaksanakan perayaan hati dan saling sentuh dengan lawan jenismu,

Bacalah baik-baik suratku ini.

Ini bukan tulisan Karl Marx yang setelah menelan mushroom, lalu berteriak di tengah lapang, dan melantangkan manifesto sembari memijat dia punya testo. Bukan! Atau melantunkan asumsi dan pendapat yang diberhalakan menjadi sebuah fakta seperti yang kau ucapkan suatu kali ketika Kiekegaard kau jadikan rujukan untuk sekadar bilang bahwasanya aktor politik senantiasa menganggap asumsinya adalah fakta.

aku begitu suka makan ayam goreng, katamu. saat memesan piring ketiga dari sate padang yang kau tandaskan.

Lalu kau menuduh para aktor politik, yang selalu saja kau benci, akan menyerang siapapun mereka yang menolak segala asumsi para aktor politik dengan serangan balik yang mematikan dengan argumentum adhominem.

Ya. Kubaca semua ini dari buku harianmu yang penuh tanda linang air mata. Kau, lelaki getas. Lelaki yang mengidolakan sebuah keintiman dalam bersenggama. Yang mengidam-idamkan berlemah lembut dengan pasangan.Yang memimpikan memancarkan sperma penuh kesyahduan, dengan iringan piano memainkan Mozart, No. 20 in D Minor. Sungguh Romantik.

Pahamilah. Setan itu dusta. Kau bilang Setan tak pernah melarang namun menyediakan penyesalan. Bagaimana jika dia bukan tak melarang, melainkan menganjurkan? Semua larangan itu bukankah datangnya dari Tuhan? Oleh karena itu setan tak pernah mau berlaku layaknya Tuhan untuk senantiasa melarang-larang. Lalu kau bilang: “Bukankah anjuran pun datangnya dari Tuhan?”

Ya. Jika anjuran itu adalah kebaikan.

Tuhan, menganjurkan kebaikan dan melarang hal-hal tercela. Setan? Menganjurkan hal tercela dan melarang kita berbuat baik –

-sepertinya.

Benarkah kau tak pernah bersenggama di usia tigapuluh tiga? Lalu jika kau tak pernah bersenggama, dan menggantinya dengan mengelus burungmu di kala senja hingga muntah, bukankah itu bersenggama juga? Bedanya hanya lawan tandingmu. Antara tubuh yang tak kau miliki, dan pikiran yang kau ciptakan sendiri.

Sungguh memikat hati kala membaca buku harianmu. Bahkan kau meyakinkan diri bahwa tak ada sakit ketika bertepuk sebelah tangan. Sungguh? Coba kau praktekan sekarang juga. Ayunkan tanganmu. Coba. Yak, aku tunggu.

Sudah? Bagaimana rasanya? Ketika tak ada yang sasaran tepuk, memang tak ada sakit. Tanganmu leluasa hingga ayunan di depan dada kirimu. Namun itu sia-sia. Kecuali jika niatmu tadi adalah berolahraga. Si-Ya-Si-Ya.

Mencintai dengan bertepuk sebelah tangan layaknya seekor cheetah yang berlari kencang mengejar buruan sebuah menjangan yang lincah berlunjakan, lompat kesana-lompat kesini. Penuh keanggunan berlari di kerumunan ilalang. Berkejaran semenjak usai makan siang hingga adzan Isya tiba. Cheetah lemas. Menjangan muda yang ramping mengalahkan kaki Heidi Klum, malah asik berlari sembari menari salsa. Cheetah mati esok paginya. Ototnya bagai benang basah. Tulangnya bagai kulit ayam KFC krispi. Hatinya seperti sisa sagon di sudut bibir anak kecil dan di sebagian kerah baju.

Kita terlahir telanjang. Mati pun sepertinya akan dengan kondisi yang sama. Polos. Murni. Indah. Suci.

Lalu demi kesucian, kau sakralkan sebuah “rindu” sebagai bentuk komunikasi adiluhung manusia yang jatuh cinta. Bisa jadi ada benarnya. Tapi ingat saja perkataanku ini. Rindu memang murni. Tapi ia terjebak dan terperangkap di alam pikiran.

Bayi lucu jika tak pakai baju. Tapi jika kemudian saat akan berangkat kuliah engkau tak kenakan apa-apa, masihkah dianggap kyut?

Begitu juga rindu. Adalah sebuah ketelanjangan cinta. Cinta cara orang dewasa perlu ditutupi dengan sedikit pengorbanan, atau banyak. Ada perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk menjemput cintamu. Bungkus cintamu dengan kertas kado berupa sapa, kata-kata dan ajakan terbaik semampu yang kau dapat berikan. Jangan terburu-buru bahwa cinta memiliki saudara kembar bernama nafsu. Sama halnya ketika kau dapat membedakan mana manusia yang cinta pada Tuhannya dan mana yang bernafsu pada Tuhannya.

Kita perlu segera mencari alat penukar rasa rindu yang bergemuruh di dalam dada menjadi sebuah rasa nyaman di dada pasangan kita. Ini sejatinya sebuah cinta yang ingin kau bangun dan kau wujudkan cukup sekali saja dalam hayatmu.

Jangan pernah kau bawa rasa cintamu ala kadarnya. Karena cinta bukan sepotong salmon sashimi. Juga tak sembarangan kau tawarkan pada setiap pengunjung yang datang menghampiri hidupmu. Bawalah cintamu seperti kau yang memiliki segala oksigen yang ada di muka bumi. Lepaskan ke segala penjuru tanah air. Biarkan ia merasuk, merangsek, mengalir, terbang, dengan alami. Jika kau beruntung, atau sebuah takdir, ada manusia-manusia yang menghirup oksigenmu dan mencari tahu siapa pemiliknya. Lalu perlahan-lahan ingin terus menikmatinya. Jika ternyata ia memang sesuai dengan cita-citamu selama ini, dan juga membuatmu ingin terus berbagi oksigen dengannya, maka sambut dan terus reguklah. Rasakan setiap tarikan nafas bersama. Kali ini oksigenmu menjadi karbondioksida. Bertukar nafas dalam dekap. Mematikan!

Tak apa.

Mati dalam cinta jauh lebih bernilai dari sekadar rest in peace.

 

salam anget,

Roy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

12 respons untuk ‘Sepucuk Surat Kepada Lelaki Yang Tak Pernah Bersenggama di Usia Tigapuluh Tiga

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s