Apa yang lebih nikmat dari menjalani hidup bermartabat?
Jika Barca pada akhirnya bisa memenangkan pertandingan di penghujung, maka sebetulnya kalah-menang itu tak ada yang dapat menyangka. Usaha soal kita. Perkara hasil itu sudah wilayah di luar kita. Kejadian Barca Vs PSG dalam laga Liga Champion dua malam lalu ini mirip kisah Liverpool Vs Milan di tahun 2005, juga MU Vs Munchen di tahun 1999. Ketika nyaris kalah dan akan selesai, keadaan tiba-tiba berbalik, dan di akhir mereka menjadi pemenang. Karena memang sepakbola bukan kontes sepakbola indah, juga bukan mencari siapa tim yang mengenakan kostum paling menarik, atau bayaran pemain paling tinggi. Melainkan lebih banyak mencetak gol ke gawang lawan daripada kebobolan. Itu saja.
Sama halnya dengan karir. Belum tentu juara kelas akan meniti karir lebih hebat dari pemuda yang saat sekolah lebih banyak membolos. Rumus sukses yang tak pernah jelas apa kriterianya. Juga soal asmara. Lebih lama pacaran apakah jaminan rumah tangga adem ayem?
Untungnya jalani hidup bukan seperti pertandingan sepakbola yang penuh sikut dan saling jegal. Karena hidup ternyata lebih keras dari itu. Sebagian malah dengan cara saling mengadu pada penasehat spiritual. Sebagian lagi lebih memilih menyerah di tengah jalan.
Nyaris selesai. Sebentar lagi tamat. Waktunya akan habis. Adalah kondisi dimana secara psikologis tak ada lagi cara untuk memenangkan suatu hal. Mental tiba-tiba runyam. rasa panik mendera. Bagaimana jika benar-benar terjadi. Saya kalah. Saya akan menanggung malu. Saya akan mati. Saya akan kelaparan. Saya akan jatuh miskin. Saya akan hidup sendirian. Selamanya.
Jika demikian yang dihadapi, ada baiknya tak memerlukan lagi pikiran “apa jadinya nanti”. Teruslah berlari. Maju dan maju. Kayuh lebih kuat. Bercucuran keringat lebih deras. Berhitung lebih tekun. Usaha tanpa kenal lelah. Atau gunakan cara lain. Ambil jalan lain. Gempur tujuan dari berbagai arah. Cara, gaya, usaha, doa, dan yang terpenting berbaik sangka kepada usaha kita dan kepada hasilnya nanti.
Andaikan pun kita gagal. Atau kalah. Atau sedih. Atau sakit. Atau tertinggal. Atau jatuh. Atau rugi. Percaya saja. Ada hal yang tanpa disadari menjadikan kita lebih kaya dan mulia. Jiwa yang ditempa dengan banyak derita tidak menjadikan kita hina.
Jauh lebih berdosa jika kita menjadi kaya tanpa bekerja. Kita menikmati hidup tanpa nurani. Juga memiliki banyak ilmu namun tanpa karakter. Atau berbisnis tanpa etika. Juga berpengetahuan tanpa ada rasa welas asih. Terlebih lagi menjalankan hidup dengan beragama namun tanpa ada pengorbanan. Atau ikut berpolitik namun tanpa prinsip. Itulah sederetan “dosa” yang menurut Gandhi menjadi penyakit sosial yang memperburuk kualitas hidup kita.
Nyaris selesai. Akan selalu nyaris selesai. Tapi tak perlu kuatir. Kita akan belajar dari banyak perih namun nikmat. Menjadi tamat ketika kita hidup tak lagi terhormat.
Salam anget,
Roy
Sabtu pagi ini terasa syahdu. Setelah hujan dan membaca tulisan om Roy 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
terima kasih
SukaSuka