
BULAN-BULAN ini saya bergerak di kota ini dengan jasa ojek aplikasi. Ya, itulah istilahnya. Ini untuk membedakan dengan ojek sistem lama yang kini menyebut diri opang, alias ojek pangkalan.
Lebih murah? Pasti. Tapi bukan hanya ongkos murah yang jadi pertimbangan. Saya bisa naik apa saja. Diantar supir sendiri, naik kereta api, atau mobil aplikasi.
Saya pernah coba membuat perbandingan. Semacam percobaan kecil. Berapa ongkos dari Mal Ambasador, Kuningan, ke Mal Gandaria City, Gandaria?
Ojek pangkalan minta harga Rp60 ribu.
Ojek aplikasi? Ongkos yang muncul di ponsel saya: Rp15 ribu. Kalau bayar pakai sistem pembayaran deposit di aplikasi itu malahan hanya bayar separo. Harga promosi.
Hari itu tampaknya akan hujan (dan inilah sebenarnya alasan saya kemudian untuk membuat perbandingan ongkos), saya batalkan juga order sebelum ada isyarat: your driver is founded. Saya kemudian naik taksi.
“Bapak tahu jalannya ya?”
“Pokoknya yang ke arah Pondok Indah…”
“Oh, oke, Pak.” Dia tampak lega. “Saya terus terang saja, Pak. Saya tak tahu jalan. Baru lima hari saya bawa taksi.”
“Sebelumnya kerja di mana?”
“Coca-cola, Pak. Sebelum Bapak naik, ada dua penumpang yang turun lagi. Nggak tahu jalan juga. Daripada nanti sudah jalan baru turun, dan saya dimarah-marahi, lebih baik dari awal saya bilang saya tidak tahu…”
Hujan lebat memang turun si daerah Karet Bivak. Sangat lebat. Jalanan padat. Macet. Saya tertidur. Ponsel saya pun habis baterei dan sempat numpang ngecas di taksi.
Ongkos yang harus saya bayar akhirnya: Rp78,690. Saya kasih uang Rp80.000 dan bilang tak usah dikembalikan kelebihannya.
Gak tahu kenapa sedih banget pas baca ini: …Daripada nanti sudah jalan baru turun, dan saya dimarah-marahi, lebih baik dari awal saya bilang saya tidak tahu… Semoga taxi Bapaknya laris.
SukaSuka