Kemarin orang-orang dunia advertise (karena dunia entertain), dibuat sedih dengan kematian seorang PR yang bekerja di Ogilvy Filipina Ini bukan kejadian pertama, kematian karyawan yang pemberitaannya disebabkan karena klien yang terlalu menuntut. Sebelumnya pernah terjadi di Jepang dan Indonesia. Tentunya banyak lagi kematian orang iklan dan bidang serupa yang luput dari media.
Pertanyaannya, benarkah selalu salah klien seperti kecenderungan yang dituliskan? Ada baiknya setiap kejadian dijadikan bahan cerminan. Harapannya semoga kehidupan lebih baik sesudahnya. Sebelum lupa, bekerja di bidang periklanan memang sudah dari sononya identik dengan lembur. Makanya, kalau banyak kantor iklan yang mempercantik kantornya, itu bukan tanpa maksud. Tapi untuk sedikit meringankan tekanan saat bekerja. Kondisi ini sudah diketahui dan sewajarnya dimaklumi oleh calon karyawan sebelum melamar. Istilahnya, take it or leave it lah!
Karena demikian pula klien dalam memperlakukan agencynya. Klien bukan hidup tanpa tekanan. Angka penjualan dan target lainnya, tentu menjadi beban yang berat pula. Periklanan hanya sebagian kecil dari mata rantai perdagangan. Ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan. Apalagi kalau menyangkut uang dalam jumlah besar. Tak mungkin hanya jadi keputusan seorang Brand Director, tapi juga menyangkut General Manager dan atasan-atasannya lagi.
Soal waktu pun demikian. Sejak dahulu, karena iklan salah satu yang berada di ujung, selalu jadi lebih mepet. Apalagi di zaman digital seperti sekarang. Semua terasa bergerak lebih cepat. Tayang sekarang, bahasa kekiniannya “live sekarang” ciyeee tak sampai 3 minggu kemudian sudah menjemukan. Perhatian konsumen dengan cepat berganti. Jangan mengira konsumen adalah orang lain, mereka adalah juga kita. Kita juga konsumen. Bukankah kita semakin cepat bosan?
Dari dua hal ini saja, terbayang kan tekanan seperti apa yang harus dihadapi orang iklan sehari-hari. Di tahun 2010, Account Executive Periklanan selalu masuk dalam daftar 10 pekerjaan paling stress di dunia. Walau semakin ke sini, semakin menghilang dari daftar. Tekanan itu tetap ada walau untuk alasan berbeda. Dengan tekanan seperti ini, mari kita lihat bagaimana orang-orang iklan bekerja.
Entah karena persepsi atau kebenaran, sering kita menemukan orang iklan mengaku sedang stress karena pekerjaan. Merokok sambil merenung dengan tatapan kosong. Mirip dengan seniman. Apalagi ditambah kopi di depannya. Wuidih mirip Chairil Anwar! Dari era MadMen, orang iklan dicitrakan gemar merokok. Padahal, kita sama-sama tahu, tidak pernah ada bukti kongkrit merokok bisa “membuka pikiran” apalagi “mendatangkan inspirasi”. Itu semua hanya persepsi. Persepsi yang diciptakan oleh dunia iklan sendiri.
Sering kita menemukan kantor iklan jam 10 pagi masih kosong melompong. Alasannya karena malam sebelumnya lembur. Dan besar kemungkinan malam berikutnya akan lembur lagi. Tapi tunggu dulu, coba lihat etos kerja anak kreatif. Benarkah sudah menggunakan waktu bekerja dengan efisien. Saat bekerja sendirian browsing-browsing dengan alasan “lagi cari ide” tapi saat brainstorming bersama tetap diam saja. Semakin parah saat brainstorming malah sibuk mainan handphone. Sementara deadline semakin mepet.
Jangan salah, banyak sebenarnya yang memutuskan tinggal di kantor melebihi jam kerja, bukan pula karena kerjaan. Tapi karena lebih nyaman di kantor daripada di tempat tinggalnya. Setidaknya di kantor ada internet gratis, ada AC, ada kamar mandi, tinggal beli minuman dan kudapan, jadilah kantor bagai cafe. Ini bukan masalah selama bukan klien yang kemudian dijadikan kambing hitam. Kalau malam ini “lembur” kemudian keesokan harinya tak bisa bekerja maksimal karena kurang tidur, salah siapa?
Belakangan semakin banyak orang iklan yang mulai menjaga kesehatannya. Banyak yang mulai rutin berolahraga dan memperhatikan makanannya. Semoga saja kesadaran ini semakin menguat. Semakin besar tekanan pekerjaan, maka semakin kita harus menjaga asupan makanan kita. Apalagi kalau jam olahraga sama sekali tidak bisa diselipkan. Makanan yang masuk semakin harus dijaga.
Coba perhatikan lagi, benarkah pekerjaan berat atau kita hanya melanggengkan pencitraan orang iklan suka lembur? Atau sebenarnya lebih ingin menjadi seniman? Kalau benar, ingatlah klien sedang tidak membayar seniman. Klien membayar biro iklan untuk menjadi kepanjangan tangan, rekanan, yang bisa memberikan masukan-masukan memecahkan masalah. Klien pun menginginkan rekanan yang bisa berlari dengan kecepatan yang sama.
Kreativitas di dunia iklan, kini tak lagi soal dandanan nyentrik. Tapi soal solusi yang menarik. Bukan lagi soal inspirasi dari langit atau di bawah pohon beringin. Tapi dari manusia dan kehidupan sekitar. Era MadMen sudah selesai. Mati. Yang mengejutkannya, banyak generasi baru yang masuk ke dunia iklan, masih dengan angan-angan bekerja di era MadMen. Ini berbahaya. Bukan hanya secara bisnis, tapi juga kesehatan.
Pengarah Kreatif pun sekarang tak lagi diidolakan seperti dulu. Anak-anak baru dunia iklan kini punya banyak idola yang bisa mereka temui di internet. Mereka punya impian dan aspirasinya sendiri. Demikian pula dengan penghargaan dunia iklan yang semakin menurun popularitasnya. Jangankan Cannes Advertising Festival, Olimpiade sampai Oscar pun mulai memudar popularitasnya. Anak muda punya banyak penghargaan dan kesibukan lain yang mengasyikkan.
Tuntutan memang berat. Beberapa bilang semakin berat. Klien tak lagi punya budget sebesar dulu. Tapi tetap membutuhkan hasil yang maksimal. Kalau kita lihat sejak 2015-2016, jumlah produk baru yang diluncurkan, terasa menurun jauh. Ada masanya setiap bulan ada shampoo baru diluncurkan. Setiap minggu telco menawarkan layanan dan harga baru. Mobil, perbankan, perumahan, tanpa perlu data bisa dirasakan menurun. Penurunan ini tentunya berdampak pada penghasilan biro iklan sendiri.
Digital yang kini merajai hampir setiap brief, juga membuat biro iklan konvensional kelabakan. Bukan hanya dari pemahamannya tapi juga dari gerak cepatnya. Sementara generasi digital yang baru dan muda, walau mungkin secara kapasitas sudah memadai, belum tentu secara mental. Sayangnya, kematangan dan kedewasaan tak bisa dibeli. Alhasil rasanya semakin banyak yang mati muda. Ok, ini hanya tuduhan semata. Tapi dari pengamatan kalau ke rumah duka belakangan, usia yang meninggal mulai dari 30 – 70an tahun. Sementara saya ingat waktu saya kecil, setiap ke rumah duka sering terperangah melihat usia orang meninggal 80 tahunan ke atas.
Mungkin awalnya beberapa orang lebih betah di kantor. Lama kelamaan budaya lembur menjadi kultur perusahaan krn anggapan mereka yg lebih lama di kantor adalah yang lebih bekerja keras. Akibatnya, mereka yang punya time management bagus menjadi terbawa, apalagi agency adalah kerja team.
SukaDisukai oleh 1 orang
orang iklan ndak takut mati Glenn.
orang iklan takut miskin dan ga punya temen.
SukaDisukai oleh 2 orang