Aku punya sepatu warna abu-abu. Sepatu aku ndak baru. Dahulu, Pak Budi membelinya di luar negeri. Sekarang, majikan Ibu ini sudah pensiyun. Sepatunya juga ikut pensiyun. Pak Budi memberikan buat Bapak dua tahun lalu. Tanpa diketahui Pak Budi dan Bapak, Ibu memberikannya padaku.
“Ini Nak, Ibu beli dari Pasar Baru“.
“Tidak, aku pernah sepatu ini dipakai Pak Budi“.
Ibu memang suka seperti itu. Membesarkan hati. Maksudnya baik ingin aku bangga punya sepatu hasil beli sendiri. Tapi sayangnya aku tahu.
Sepatu ini masih terlalu besar untuk kakiku. Tapi ndak apa-apa. Sebentar lagi jika aku kuliah tahun depan, sepertinya akan cocok aku pakai setiap waktu.
Pak Budi itu pejabat penting. Aku tahu dari banyaknya tamu yang datang. Juga foto-foto yang bertebaran di dinding ruang tamu. Kata Ibu, Pak Budi itu seorang Ajudan. Mungkin Ajudan itu Bos Besar dan penting sekali. Aku ndak tahu pasti.
Ibuku suka mencuci baju. Juga menyetrika di rumahnya. Sejak kecil aku selalu bermain dengan anak bungsu Pak Budi. Mas Dimas namanya. Wajahnya lucu. Putih tapi terkadang juga membiru. Kata Ibu, Mas Dimas itu punya kelainan jantung. Seharusnya sebelah kiri, tapi Mas Dimas menyimpan jantungnya di sebelah kanan. Tiga kali, saat aku masih kecil, Mas Dimas dibawa ke Ostrali. Kata Ibu namanya ByPass. Saat itu aku membayangkan jalan raya besar di dekat rumahku.
Om Brosot, mbak Iyut, Bude Jaonah, Mas Aripin, dan Pak Dadang adalah teman kerja Ibuku. Pak Dadang suka mengantar Ibu ke rumah jika waktu pulang telah lewat waktu dan kemalaman. Aku senang kalau waktunya pulang diantar Pak Dadang dan ndak mesti naik angkot. Dengan Pak dadang berarti naik mobil sedan yang wangi. Rasanya adem.
Tapi aku belum pernah diantar Mas Aripin. Mobilnya lebih mulus. Sedan besar panjang warna hitam legam. Pasti lebih wangi dan lebih adem. Cuma Pak Budi yang boleh duduk di kursi belakang. Padahal kursi samping Mas Aripin selalu kosong. Bahkan Mas Dimas, Mbak Yayang juga Mbak Sita, dan Bu Nining ndak boleh naik mobil Mas Aripin. Sekeluarga hanya boleh naik sedan wangi dan adem. Bukan sedan yang lebih wangi dan lebih adem. Tapi aku sebetulnya ndak yakin apakah lebih adem dan lebih wangi. Aku hanya berharap demikian.
“Yang boleh naik harus pakai dasi. Atau baju safari“, kata Mas Aripin. Aku mengangguk-angguk.
Sejak saat itu, aku mau sekali ajak Bapak ke Puncak. Aku mau menabung dahulu. Lalu datang ke Taman Safari dan membeli kaosnya. Aku mau diantar pulang Mas Aripin.
Aku suka sekali dengan rumah Pak Budi. Megah. Besar. Penuh dengan barang licin. Aku juga diam-diam menyukai licin pipi mbak Yayang. Seingat aku, saat aku kelas 5 SD, mbak Yayang sudah pakai seragam putih biru. Orangnya baik. Cantik dan aku diam-diam menyukai dadanya. Aku suka membayangkan mbak Yayang mengajak aku ngobrol dan menggambar bersama dengan sekotak crayon dan pinsil warna miliknya. Dahulu aku pernah disapa saat sedang menggambar ikan lumba-lumba dan perahu nelayan.
“Bagus! kamu suka gambar ya Dek?“, komentarnya, dengan senyum simpul dan dadanya menyentuh punggung kananku.
Aku kaget. Aku merasa ada krayon di balik celanaku yang perlahan menjelma spidol besar. Enak.
Walaupun begitu, aku selalu menghindar jika mbak Yayang mengajak aku bermain bersamanya. Teman-temannya berisik sekali. Kalau main ke rumah Pak Budi selalu tertawa keras-keras dan menambah pekerjaan ibuku. Banyak tumpahan coca-cola, wafer, atau remahan biskuit di karpet kamarnya. Ibuku suka mencuci baju tapi ibuku selalu mengeluh jika harus membersihkan karpet. Untuk itu aku diciptakan Tuhan. Dengan semangat aku ambil kain dan wadah untuk sehelai-demi-sehelai memungut remahan makanan di karpet kamar mbak Yayang.
Hampir setiap minggu aku membantu tugas khusus yang aku gemari ini. Rasanya saat itu aku ingin sekali semua temannya yang berisik main di kamar mbak Yayang setiap hari. Aku siap jadi suami yang berbakti. Membersihkan apapun. Asal tidak menemani istri mengobrol dengan teman-temannya. Asal bukan itu. Sisanya, aku siap berjibaku.
Suatu hari saat menonton tipi, aku melihat Pak Budi di belakang Pak Harto. Pak Harto itu presiden aku. Orangnya baik dan suka tersenyum. Bahkan aku juga akan tersenyum jika Pak Budi memberikan selembar uang gambar Pak Harto tersenyum saat jelang lebaran.
“Bolong berapa kali?”
Aku ndak menjawab dan hanya menggeleng-geleng.
“Ini!”, Pak Budi memberikan selembar Pak Harto tersenyum padaku.
Aku menerima uang itu, lalu segera berlari ke belakang dan memberikan kepada Ibu.
“Bilang apa tadi?”
“Ga bilang apa-apa“.
“Sana, balik lagi, salim dan bilang terima kasih.”
Aku selalu menolak permintaan Ibu. Aku ndak suka bilang terima kasih. Karena Pak Budi, dan Mas Dimas, dan Mbak Yayang, Mbak Sita dan Bu Nining tak pernah bilang terima kasih pada Ibuku.
Aku hanya berjalan ke depan. Seolah-olah aku kesana dan menemui Pak Budi. Padahal aku naik ke loteng dan mencari Mas Dimas. Karena biasanya, dia akan mengajak makan wafer di kamarnya diam-diam. Cukup untuk ndak makan minum hingga saat berbuka tiba.
—
Sepatu abu-abu aku kenakan saat ini. Tidak setiap hari aku semir. Aku tahu, sepatu kulit tidak boleh pakai semir kiwi. Harus dengan semir khusus. Karena itu aku lebih sering mengelapnya dengan tisu.
— Bersambung —
ini ga pernah ada sambungannya yah?
SukaSuka
Semoga di cerita selanjutnya, mbak Yayang belum punya seseorang buat main ‘yayang2an’
SukaSuka