Dua jam menyusuri jalanan komplek rumah kami. Hujan rintik-rintik jadi deras. Sekar mulai khawatir. Langit gelap. Petir berderu di kejauhan. Pulang sajalah. Lupakan daun talas. Biar Google saja yang menjelaskan di rumah nanti. Apa daya, pekerjaan rumah Sekar dipecahkan Google lagi, karena keadaan yang ndak memungkinkan.
Tugas Bahasa Indonesia, soal peribahasa. Apa arti “Bagai Air di Daun Talas?” Peribahasa pada dasarnya sebuah asosiasi lisan terhadap alam dan keseharian manusia. Kegiatan bayang-membayangkan jadi sangat penting. Pengalaman tiap orang yang berbeda-beda jadi penghalang. Letak geografis, juga jaman.

Untuk kita yang masa kecilnya sudah lewat dua dekade lalu, kemungkinan besar pernah melihat daun talas. Untuk kita yang pernah hidup di sekitar sawah dengan galengan seling lamtoro, keladi dan gulma, gampang terbayang. Untuk kita yang pernah berkunjung ke lahan gambut, perkebunan dan hutan tani; beruntung.
Aku baru sadar, untuk anak-anak dengan pengalaman hidup macam Sekar dan kawan-kawan sekolahnya, “Bagai Air di Daun Talas” sulit dinalar. Mereka ndak punya cukup memori untuk mengasosiasikan gerakan bulir air di atas daun talas yang punya daya kohesi tinggi, karena filia halus penampang daunnya. Pun, banyak sekali peribahasa yang semata-mata cuplikan bahasa Melayu. Atau sudah ndak relevan lagi.
Kedaluwarsa, seperti “Setali Tiga Uang” atau “Bak Kerbau Dicocok Hidung.” Jaman uang dengan istilah setalen, sen dan kepeng sudah punah sejak VOC angkat kaki dari Nusantara. Ya masa, masih laku peribahasanya? Kan ada “Sebelas-Duabelas” dengan masksud yang sama. Kerbau dicocok hidung ini juga lawas. Bajak ndak lagi butuh kerbau yang dikendalikan lewat tarikan tambang di hidung. Pakai mesin! Dengan maksud yang sama, peribahasa ini bisa saja diganti dengan “Mengunci Pintu Karena Hoax.”
“Bagai Air di Daun Talas” sama kondisinya dengan “Bagai Itik Pulang Petang”, “Bumi Tidak Selebar Daun Kelor”, dan “Tak Ada Gading yang Tak Retak.” Harusnya boleh diganti jadi “Seperti Mendapat Sinyal E”, “Dunia Tidak Sebatas Timeline”, dan “Tak Ada Berita Tanpa Typo.”
Lalu “Hangat-hangat Tahi Ayam.” Ini jijik sih. Baikkan dihapus aja seperti “Ditindih yang Berat. Dililit yang Panjang.” Ndak ngerti mesti mulai dari mana menjelaskannya. Tapi kok rasanya aku mau.
“Membuang Garam ke Laut” dengan ndak mengurangi maknanya bisa diungkapkan dengan satu kata: “Kultwit”. “Menegakkan Benang Basah” semakna dengan “Menemukan Jodoh di Tinder.”
Kembali ke “Bagai Air di Daun Talas.” Apa yang cukup relevan dengan peribahasa ini? “Bagai Karir Politik Anies Baswedan?”
Membuang garam ke laut atau “bagaikan menggarami laut”? Aku kok malah ingin menghidupkan kembali peribahasa seperti ini karena lucu aja, secara konteks sudah engga familier tapi seperti warisan.
Oh ya, untuk pengganti bagaikan air di daun talas; “bagaikan karier Anies Baswedan” politik maupun bukan di politik. Huh.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha semua karirnya ya…
SukaSuka
Kalo sekarang yang lagi rame; “Sebar dulu, verifikasi kemudian” hehe
SukaDisukai oleh 1 orang
“Dunia tidak sebatas timeline”
laaah duniaku belakangan ini cuma diseputar timeline.. mostly.
tapi tetep bakal milih ahok, drpd AB.
SukaSuka