Semua Dimulai dengan, “Turun di mana, Pak?

kereta

Lelaki I: Saya turun di Cilebut. Satu stasiun sebelum Bogor.  Sudah masuk Bogor. Rumah saya di sana. Saya dulu beli tanah murah banget. Habis jual rumah saya di Kelapa Gading.

Lelaki II: Saya turun di Depok. Saya mengontrak rumah di sana. Rumah saya di Jawa saya tinggalkan. Sekarang anak saya yang menempati.

Lelaki I: Saya jual rumah setelah divorced. Istri saya kawin lagi.

Lelaki II: Saya ceraikan istri saya karena dia main serong sama tetangga di kampung. Saya malu, makanya saya ke Jakarta. Anak-anak semua ikut saya. Sekolah di Jakarta. Sekarang semua sudah nikah. Punya usaha sendiri-sendiri.

Lelaki I: Hasil jual rumah, saya bagi mantan istri saya, terus saya bagi dengan anak saya. Dia beli rumah di Australia. Saya beli tanah dan bangun rumah di Cilebut.

Lelaki II: Saya tak pernah kawin lagi. Saya trauma sama perempuan. Malu saya.

Lelaki I: Saya sudah tua. Buat apa kawin lagi. Kawan saya juga banyak.  Kawan dansa, kawan main kartu, teman-teman arsitek. Oh ya saya arsitek. Rumah saya di Bojong saya desain sendiri.

Lelaki II: Setiap tiga bulan saya pulang ke Jawa. Lihat sawah. Lihat cucu.

Lelaki I: Anak saya ngajak saya tinggal di Australia. Malas saya. Biaya hidup mahal. Sekali makan 200 ribuan. Kalau jadi warga negara sana memang ada kemudahan. Orang tua seperti saya naik bis kemana-mana bisa gratis. Tapi orang seumur saya memulai hidup di tempat baru susah banget. Enakan di sini. Teman banyak.

Lelaki II: Saya dulu pegawai dinas kesehatan di kabupaten. Waktu istri saya ketahuan serong, saya kayak orang linglung. Tiga bulan saya tidak masuk kerja. Saya kayak orang gila.  Sampai akhirnya saya dipecat.

Lelaki I:  Ibunya  ….. (dia menyebut nama pemilik merek rokok) itu teman dansa saya. Biasanya dua minggu sekali saya diajak. Saya dibayar lo. Kadang-kadang dansanya di Bali. Dia kasih tiket, saya tinggal berangkat.

Lelaki II: Saya dulu tim sukses Pak Jokowi. Tapi sekarang saya kecewa.

Lelaki I: Saya dulu melayani katering di Istana, lo. Tapi ya ampun bayarnya sampai enam bulan. Kalau gak kuat modal bangkrut kita. Siapa yang tahan.

Lelaki II: Dulu katanya tak mau bagi-bagi kursi, kabinet profesional. Tak tahunya sama saja. Mana bisa melawan partai-partai itu.

Lelaki I: Sekarang sih paling saya bantu-bantu ngatur kalau ada pejabat mau bikin pesta. Kenduri.  Saya yang urus kateringnya, pelaksanaannya. Ini saya mau ke …. (dia menyebut satu provinsi yang gubernurnya adalah anak kenalannya). Mau selamatan di rumah dinasnya.

Kedua lelaki itu tak pernah bertemu. Saya bertemu keduanya di KRL pada waktu yang berbeda. Saya naik dari stasiun Palmerah. Lelaki pertama saya temui sejak dari stasiun Tanah Abang. Pada waktu yanglain lelaki kedua saya temui di stasiun Palmerah. Kami sama-sama naik dari sana.

Semua dimulai dengan keputusan saya memasukkan ponsel saya ke saku celana dan berniat mengajak berbicara – dan kemudian menjadi pendengar – siapa saja penumpang yang ada di sebelah saya….

Semua dimulai dengan satu kalimat sederhana: “Turun di mana, Pak?”

Satu respons untuk “Semua Dimulai dengan, “Turun di mana, Pak?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s