Akhir akhir ini sering diteruskan pesan pesan baik di medsos maupun grup percakapan virtual, mengenai pertanyaan mengapa orang tidak menyukai dia, dan organisasinya. Tentunya pertanyaan bukan hanya pertanyaan, lalu menjelaskan alasan kenapa seolah yang tak menyukai atau membenci itu tak berdasar. Segala prestasi dan karakter positif dipaparkan.
Benci adalah kata yang terlalu kuat. Seperti pernah dibaca di suatu tempat yang saya lupa, lawan cinta itu bukan benci. Karena membenci berarti memiliki perasaan kuat pula, dan sudah pasti hal yang dibenci akan sering terlintas di pikiran. Lawan cinta adalah tidak peduli. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan mencintai seseorang yang sering lupa kalau kita hidup. Itu yang tadinya saya rasakan jika muncul namanya dan organisasinya. Tetapi sulit untuk meneruskan ketidakpedulian jika organisasinya sering berteriak menggunakan megaphone di dekat rumah. Tidak peduli menjadi tidak suka.
Saya tidak suka dengan dia dan organisasinya karena mereka adalah antitesis dari apa yang saya ajarkan diri sejak saya dewasa dan bisa berpikir.
Sejak mulai membaca sadar, betapa terbatas pengetahuan, dan bagaimana jika dihadapkan dengan sesuatu yang kita belum paham untuk mencari tahu dan berusaha memahami baru kemudian memutuskan persetujuan atau perasaan terhadapnya. Sementara mereka selalu curiga dan menolak apa yang mereka tidak pahami.
Sejak mulai banyak berinteraksi dengan manusia, juga mulai paham dengan berbagai karakternya. Akhirnya memutuskan bahwa yang penting adalah perilaku dan tindakan, bukan cara bicara atau isi omongan ketika di depan kita. Bahwa ketulusan adalah kualitas utama yang penting buat saya. Tutur manis dan pujian, sungguh tidak perlu jika tidak diikuti dengan hati yang bersih. Sementara mereka menganggap kesantunan nomer satu, ketaatan dalam melakukan ritual nomer satu, tindakan di belakang, urusan masing masing. Walaupun itu berarti mencuri yang bukan haknya sekalipun.
Sejak didoktrin Pancasila sejak sekolah dasar, juga menonton Star Trek, saya setuju, bahwa; the needs of the many outweigh the need of the few, alias kepentingan masyarakat banyak harus diletakkan lebih tinggi dari kepentingan pribadi atau kelompok. Cukup valid jika lewat observasi saja kita sudah paham bahwa mereka tidak memercayai itu.
Setelah bekerja dan berorganisasi, juga paham, kalau kita tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk orang lain. Apa yang cocok dan berhasil kita lakukan bukan berarti jika diterapkan orang lain akan menghasilkan hal yang sama. Sejak itu tidak lagi memaksakan paham atau cara tertentu. Saya percaya saja kalau manusia dewasa, memiliki akal sehat tentu ingin yang terbaik untuk dirinya. Sementara mereka selalu percaya kalau mereka adalah penyelamat umat dari kemaksiatan. Jika tidak ada “perjuangan” dari mereka makan kita akan jadi bangsa yang ambruk karena akhlak yang demikian reot. Dan perjuangan ini harus dilakukan dengan cara mereka atau tidak sama sekali.
Jadi jika ada yang bertanya, kenapa saya membencinya, akan dijawab; saya tidak membenci, tetapi mengapa harus setuju dengan satu atau sekelompok orang yang perilakunya bertentangan dengan apa yang saya pelajari selama berpuluh puluh tahun, baik itu sebagai manusia yang (masih) memeluk agama, maupun yang (sekarang) tidak lagi.
Akhirnya pagi ini selesai baca tulisan ini. Saya suka dengan tulisan-tulisan Mbak Leilasafira. Straightforward dan temanya macem-macem. Dan tulisan ini bikin saya inget bahwa “… kalau kita tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk orang lain.” 🙂
SukaSuka
Terima kasih sudah membaca Yenni! 🙂 iya itupun selalu berusaha diingatkan ke diri sendiri ya, kadang masih suka sok tau soalnya hihihi
SukaSuka
Dunia itu bulat… What goes around comes around… Eh salah… Buat mereka datar…
SukaDisukai oleh 1 orang
Didoakan saja mudah2an sedang jalan jalan ke ujung dunia lalu kepeleset.
SukaSuka