Revolusi Slime Squishy

kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku menjadi gelap
kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras
kau paksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak
darah sudah kau teteskan
dari bibirku
luka sudah kau bilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kau rampas
dari biji mataku
derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

Derita Sudah Naik Seleher – Widji Thukul


“Sebetulnya Roy, apa yang kita lakuin, cuma kita sendiri yg bisa kontrol dan jaga. Mau gimana pun, misalnya posesip, percuma. Banyak ribuan cara untuk kita sembunyi-sembunyi. Ini balik lagi ke diri kita sendiri dari hati. Apakah kita yakin dan bisa setia dengan satu orang pasangan kita. 
Selingkuh itu memang seru Roy. Tapi setia itu lebih menantang dan susah.”

Perempuan di hadapanku menangis. Aku bingung. Menatap wajahnya yang sembab. Besar kantung matanya melebihi kantung mata mertua Annisa. Perempuan cantik semacam dia tak pantas untuk menangis. Bahagia. Itu satu-satunya nasib yang seharusnya melekat.

“Aku sudah banyak berkorban selama ini. Aku sudah tinggalkan rumah orang tuaku. Aku juga sudah pindah kerja beberapa kali. Pindah kota. Pindah agama. Pindah operator seluler. Hanya satu yang tetap. Dia. 

Bibirnya merekah delima. Nyaris sempurna. Tapi tidak dengan perasaannya. Lebih mirip remahan ketombe. Ambrol. Aku selalu bertanya-tanya dengan perempuan semacam ini. kenapa dengan tampilan fisik yang sempurna bisa begitu lemah jika berhadapan dengan pria pujaannya.

“Tapi apa yang aku terima? Setelah sekian lama aku mengabdi. Dengar Roy: MENG-AB-DI”. Tiba-tiba ia menjentikan jemari. CETIK! “Aku melihat dirinya bermesraan via WA.” 

Kembali dia menangis. Bibirnya sekarang bergetar. Hampir saja aku tergoda untuk melumatnya.

Apalah artinya pesan mesra lewat gawai kita. Bukankah itu hal wajar? Tidak? Bukankah menyentuh hati jauh lebih mudah saat ini. Lewat pesan pendek. Kalimat singkat dijawab kalimat manja. Kalimat rayu dibalas kalimat malu. Kalimat mau berakhir nafsu.

“Roy. Kamu pernah selingkuh?” Dia bertanya.

“Apa sih yang ada di pikiran lelaki ketika ia diam-diam mengirim pesan kepada perempuan yang baru dikenalnya? Iseng? Penasaran? Ataukah ingin menggantikan posisi pasangannya? Lebih wangi? Lebih menarik? Lebih menarik apanya? Menimbulkan imajiliar?”

Saya justru bertanya dalam hati. Mana pertanyaan yang harus kujawab terlebih dahulu. Saya tak paham arti selingkuh. Terbuat dari apakah kata selingkuh? Apakah karena manusia berharap setia? Berharap sehidup semati. Seumur hidup. Ataukah karena ketidakberanian untuk saling terbuka dalam berkomunikasi dengan pasangannya? Bosan yang dipendam?

Bisa jadi“.  Tiba-tiba kalimat ini meluncur. Aku sendiri bingung dengan jawabanku sendiri. Entah menjawab kalimat tanya yang mana. Aku sebetulnya sedang melamun. Pada sosok dua anak perempuan yang sedang bermain squishy dan slime.

Bisa jadi?” Perempuan ini mengulang jawabanku. Matanya agak melotot. Kecewa sepertinya. Lalu dia terus berkata-kata. Banyak sekali. Tapi aku tak mendengarkannya.

Jangan-jangan seharusnya hati kita terbentuk dari squishy. Lentur. Mudah diremas namun tetap kembali ke bentuk semula. Walau gemas dan lemas namun tak getas. Perasaan kita harus seperti slime. Mengikuti bentuk. Menyerah pada ulah jemari. Namun ia tak pernah patah. Hebatnya ia tak lengket seperti permen karet.

Perempuan ini sebetulnya berhati baja. Jaman kuliah, dia primadona. Mana ada laki-laki yang tak kagum. Rambutnya terjurai. Dadanya melambai. Kakinya jenjang. Wangi. Dan terutama bibirnya yang merekah. Namun saat mahasiswa tak ada niatku sedikitpun untuk melumatnya.  Dahulu, tak hanya sebatang kara. Juga kere. Walau tak tampan, tapi hatiku tak pernah sombong untuk mencoba mendekati seseorang. Hatiku rendah. Bisa jadi karena dompetku kosong.

Sekarang, baja itu sudah tak ada lagi. Hatinya tak lebih getas dari batangan spageti yang masih mentah. Tak hanya mudah patah. Tapi sepertinya memang harus patah agar dimasaknya mudah.

“Roy! ROY!!!”

Dia teriak. Aku kaget. Dia melotot. Aku terbebas dari lamunan.

“Kamu pernah selingkuh?” Kembali lagi dengan pertanyaan yang sama.

Aku menggelengkan kepala.

“Serius?”

Aku menganggukkan kepala.

“Lalu, kenapa kamu akhirnya berpisah?”

Aku terdiam. Lalu kunyalakan sebatang rokok.

“Roy, kenapa kalian akhirnya berpisah?”

Aku masih terdiam. Kuhembuskan asap rokok. Mereguk kopi. Menarik udara di ujung rokok kembali. Kuhisap lebih dalam. Lalu aku menjawabnya.

“Revolusi”.

img_9203

Aku. Dia. Sama-sama terdiam. Matanya masih sembab. Bibirnya makin merekah.

Namun kali ini aku tak hanya berpikiran untuk melumatnya.

[]

Cirebon Ekspress, 3 Feb 2017, Gerbong 1 Kursi 3B 21.58 WIB

4 respons untuk ‘Revolusi Slime Squishy

  1. Kalo tak sanggup setia kenapa tidak mengakhiri saja? Apa karena keposesifan atau karena tidak sanggup keluar dari zona nyaman?
    Hahaha…tulisan yang membuka mata saya lebar-lebar ditengah Sabtu pagi yang gerimis dan dingin.
    Semoga akhir pekannya membahagiakan, mas Roy😆

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s