Duduk Sendirian

SETENGAH jam menuju tengah malam, kemarin. Dia masih duduk sendirian, di meja nomor 15, tak jauh dari pojokan dekat jendela. “Lebih sepi di sini,” pikirnya.

Duduk berhadap-hadapan dengan setengah gelas bir hitam. Sudah tak terlalu dingin. Masih berembun. Beraroma wangi manis ragi. Segembolan pemikiran lamat-lamat mulai pudar dari dalam kepalanya. Nihil. Tak ada satu pun yang masih melekat, dan bisa dikunyah otaknya lumat-lumat. Licin terbasuh tiap tegukan, barangkali. Pikirannya kelaparan, tapi terlalu sungkan untuk berteriak minta diberi makan.

Pilihan, dan kemampuan untuk memilih sesungguhnya adalah anugerah terbesar. Dengan keduanya, manusia benar-benar bisa menjadi makhluk utama termulia, atau spesies paling keji di muka bumi.

Mendadak pemikiran itu muncul dalam benaknya. Entah dari mana. Untung dia hanya duduk sendirian, jadi tak perlu dibaginya ke siapa-siapa.

Apa yang menentukan kemuliaan seseorang?” lanjutnya bertanya.

Kemudian dia jawab sendiri, “Pilihan, bagaimana dia memilihnya, dan bagaimana dia menjalani pilihannya. Bukan lagi sekadar pilihan untuk menjadi orang baik atau jahat, melainkan pilihan untuk menjadi orang baik, orang benar, atau orang bijak.

Lalu, sebagai makhluk utama termulia, siapa yang menentukan kemuliaan seseorang?

Terserah saja sih, tapi paling seringnya adalah oleh sesama manusia, tentu dengan standar penilaian dan sudut pandang yang berbeda-beda. Jangan keburu bawa-bawa tuhan dan segala perangkat organisatorisnya. Belum tentu beliau mau. Hiruk pikuk semacam ini terlampau receh baginya.

Memusingkan!

Semua standar penilaian dan perspektif dapat mulur mengikuti keadaan zaman dan kesepakatan, sesuai kode-kode moral dan norma yang diatur bersama. Pada saat itu. Semua yang tersusun menjadi semacam ketentuan baku, paling benar, mustahil salah, maka itu tidak boleh diubah.

Tak ada yang luput dari perubahan, entah ke arah lebih baik atau sebaliknya. Ketika itu terjadi, pergolakan jelas tak bisa dihindari. Antara yang merasa benar versus yang merasa lebih baik. Siapa pun yang menang, tetap punya peluang untuk kembali tergantikan dengan yang lain lagi. Pasti.

Orang baik belum tentu benar. Ia hanya tahu dan mau bersikap baik kepada orang lain. Pokoknya mesti baik. Dengan bersikap baik, ia merasakan kesenangan saat itu. Namun luput dengan apa yang bisa terjadi kemudian.

Kebaikannya selalu diarahkan kepada orang lain, dan ada kalanya ia merasa kewalahan karena harus berbaik-baik kepada semua orang tidak sebanding dengan tenaga dan daya yang dipunya. Entah karena memang pembawaan, atau sengaja mengejar pahala dan surga. Ada yang menjalankannya tanpa keluh kesah, namun ada juga yang bisa berucap “Kok susah banget sihAku kan cuma mau jadi orang baik…

Orang benar belum tentu baik, dan kebenaran seringkali terasa pahit. Dengan demikian, ada yang sengaja menggunakan pahitnya kebenaran untuk menyusahkan dan mengalahkan orang lain; namun ada juga yang dianggap sengaja menggunakan pahitnya kebenaran untuk menyusahkan dan mengalahkan orang lain. Dalam kondisi ini, apa pun yang terjadi, kebenaran adalah kebenaran.

Akan tetapi jangan lupa, kebenaran juga tidak mutlak. Sama seperti kebaikan. Kebenaran itu sejatinya terkondisi: mesti diiyakan, benar menurut siapa, atas dasar apa, dan bisa sampai berapa lama. Sebuah kebenaran bagi sekelompok orang, bisa jadi suatu kesesatan bagi sekelompok lainnya. Mau tidak mau, sesuatu yang disebut sebagai kebenaran harus dilihat dan dipahami dari berbagai sisi. Dari yang menyenangkan, sampai yang paling dibenci sekali pun. Biar lengkap, cukup, dan adil.

Jadi mesti gimana?” dia kembali bertanya, masih dari tempat duduknya di pojokan dekat jendela.

Jadilah bijak. Seseorang yang memahami kebenaran dan melihat kebaikan dengan seadil-adilnya.

Mendadak pemikiran itu muncul dalam benaknya. Entah dari mana. Untung dia hanya duduk sendirian, jadi tak perlu dibaginya ke siapa-siapa.

“Seorang yang bijak harus sudah berbuat bijak sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

~ (Bukan) Pram

Birnya sudah habis.

Foto: thedrinkbusiness.com
Foto: thedrinkbusiness.com

[]

Satu respons untuk “Duduk Sendirian

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s