Kebenaran Alternatif

Sulit untuk menerima kenyataan, bagaimana teman-teman dan orang sekitar kita yang selama ini dengan tegas menyatakan dirinya sebagai pendekar keragaman, menuntut dibubarkannya FPI. Bukankah FPI juga bagian dari keragaman? Termasuk hasrat FPI untuk menyeragamkan, adalah bentuk keragaman tersendiri juga. Sejauh apa kita harus melangkah sebelum menyadari bahwa anggota-anggota FPI telah dan hidup berdampingan dengan kita selama ini. Dan setiap posisi yang kita pilih akan menuntut pengorbanan.

Manusia yang selalu mencari rekanan setipe, menggelembung semakin besar. Tentu bukan masalah sampai menganggap gelembung adalah sebesar bola dunia. Karena di saat yang bersamaan ada gelembung-gelembung lain yang juga semakin membesar. Semakin besar sampai bersinggungan satu sama lain. Dalam persinggungan itulah, keyakinan kita pada posisi akan diuji.

Berdasarkan pengamatan, orang-orang yang selama ini lantang berteriak mengenai bahayanya media sosial, dan kemudian juga meremehkan media sosial, adalah juga orang-orang yang paling sensi terhadap dinamika media sosial. Satu postingan, bisa mengganggu pikiran dan perasaannya berhari-hari. Bahkan marah dan terkesan frustrasi.

MATSURI - Xiuyuan Zhang

Yang selama ini merasa paling paham soal kebebasan berpendapat, ternyata juga yang paling kencang menolak pilihan orang lain. Tak hanya mempertanyakan, bahkan juga menghina pilihan berbeda tersebut.

Yang selama ini terlihat peduli pada penderitaan manusia dan binatang sampai di ujung pulau sana, mendadak paling mendukung pada penindasan terhadap yang miskin dan lemah di kotanya. Kemudian menganggap sebagai risiko dari pilihan politiknya.

Yang selama ini merasa bagian usaha membangkitkan kreativitas dan berkarya, bisa lantas menghujat karya yang dianggap tidak sesuai dengan standar moralnya. Lantas menyebutnya sebagai ancaman bagi masa depan bangsa.

Betapa seringnya kita melihat orang-orang yang terganggu oleh demo. Karena mengganggu dan merusak stabilitas kesehariannya. Padahal demo dari kelompok mana pun bukankah harus dianggap sebagai kebebasan berpendapat. Mungkin karena hidup yang sudah nyaman dan stabil sehingga tak lagi butuh perubahan. Sayangnya lupa bahwa tak semua sama. Selamanya akan tak sama.

Bill Bernbach, seorang tokoh periklanan pernah berkata “prinsipmu adalah prinsipmu sampai uang mempertanyakannya”.

Ketika dolar sedang merangkak naik, seorang teman yang bekerja sebagai importir perlengkapan alat kapal tengki berkata “duh neik, ijk mah malah berdoa supaya dolar naik setinggi-tingginya. Ijk terima kan dolar, bayarnya rupiah Cyin…”. Salahkah dia? Tentu tidak. Ini adalah dunianya. Bisnisnya. Ucapan tadi tentunya hanya bisa diutarakan di kalangan terdekat. Bayangkan kalau ucapan tadi dipost di media sosial. Padahal dia hanya jujur menceritakan kehidupannya.

Di perjalanan bersama seorang teman yang selalu memposisikan dirinya sebagai bijak, dihadang oleh sepasukan motor berjubah putih sedang mengacung-ngacungkan bendera. Tak disangka dia bergumam “tolol!“. Tentu ini mengejutkan. Entah apa pun alasannya, tapi bukankah konvoi itu juga merupakan bagian dari keragaman  kota Jakarta yang merupakan tempat bercampurnya beragam jenis manusia.

Lewat tengah malam, seorang teman mengirim WA menceritakan kondisi istrinya yang setelah melahirkan membutuhkan donasi darah. Karena masih dalam suasana Lebaran, stok di PMI sedang kosong. Pesan itu ditutup dengan kalimat “tolong repost dan retweet ya… icon berdoa‘. Dalam perjalanan ke PMI, teringat pendapat teman itu beberapa waktu silam yang diucapkan sambil tertawa sedikit “ngenyek”: “hahaha gue udah matiin akun twitter gue. Ganggu. Yang real-real ajalah! Apalagi itu pasukan celebtweet, ampuuun gak tahan gue belagunya!”

Mungkin semua harus pernah merasakan suara dibungkam karena ras. Pendapat dinihilkan karena orientasi seksual. Karya diberanguskan karena agama. Dan perbedaan ditiadakan dengan alasan politik dan kemajuan bangsa.

Akan tiba saatnya, kebenaran yang satu dibenturkan dengan kebenaran yang lain. Akal sehat yang satu dihadapkan pada akal sehat yang lain. Tuhan yang satu, bersitegang dengan Tuhan yang lain.  Sikap apa yang kita pilih saat benturan itu terjadi adalah yang akan menjadi penentu ke mana hidup dan kehidupan kita selanjutnya.

War-XiuyuanZhang

https://www.psychologytoday.com/blog/supersurvivors/201701/does-truth-still-exist-or-are-there-just-alternative-facts

https://www.psychologytoday.com/blog/evolution-the-self/201606/you-only-get-more-what-you-resist-why

4 respons untuk ‘Kebenaran Alternatif

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s