Jadi pada suatu hari, bosnya para developer di kantor saya menghampiri dan mengobrol soal apakah saya puas dengan update terbaru dari aplikasi. Lalu saya katakan, “Iya Pak, tentu, saya juga terlibat kok dengan prosesnya, dan saya paham kalau ada beberapa permintaan dari tim content belum terpenuhi karena belum mendapat giliran dikerjakan.”
“Tetapi kok saya melihat update kali ini banyak yang sifatnya kosmetik ya, Bu Leila”
Waduh. Kalimat itu membuat saya agak tercenung. Jadi ingat beberapa tahun yang lalu, saya pernah disudutkan di sebuah pertemuan yang anggotanya hanya 3; saya, developer web title saya, dan “penasehat” saya (saya sebut begitu karena walau posisinya di atas, tetapi bukan bos secara struktural). Mereka meminta saya membuat presentasi mengenai apa rencana saya untuk mengembangkan web channel dari title, dan saya lakukan. Kemudian alih alih mendengarkan, mereka langsung memotong omongan saya dan mencela sambil mengatakan kalau semua yang saya rencanakan itu sifatnya kosmetik dan tidak real, karena itu tidak akan impactful. Lalu mereka melemparkan jargon jargon SEO apalah apalah ke saya yang sudah keburu geram dan muak. Terus terang sampai sekarang saya masih dendam. Dan saya lihat mereka juga akhirnya tidak jadi apa-apa (doa orang yang tertindas).
Bahkan ketika itu saya cukup mengerti soal SEO, dan kini saya lebih mengerti kalau itu BUKAN cuma tentang keyword dan sebagainya tetapi luas aspeknya dan banyak sekali yang justru berhubungan dengan arsitektur dari web sendiri.
Tetapi yang saya masih gemas adalah ketika orang mengatakan “itu kan hanya kosmetik”. Di era di mana user experience adalah segalanya, fungsi dasar itu sudah dirasa semestinya dimiliki; kecepatan, kenyamanan, ketepatan, kemudahan dan lain sebagainya. Lalu apa akhirnya yang membuat (calon) konsumen melihat produk kita dan mengatakan, “YA! Ini buat saya!”? Yang disebut kosmetik itu. Ukuran tombol, komposisi warna, posisi relatif dari semua elemen, jenis dan ukuran font. Ini saya berbicara soal produk situs web atau aplikasi ya. Tetapi coba diingat kembali; apakah Anda pernah malas kembali ke satu restoran hanya karena tinggi mejanya kurang pas (terlalu pendek atau terlalu tinggi), atau kursinya tidak cocok untuk potongan tubuh. Bahkan teman saya banyak yang mengatakan, selalu menjadikan bioskop tertentu pilihan terakhir karena “kursinya kurang enak”.
Apalagi sekarang semua berlomba-lomba untuk melakukan marketing yang sangat fokus akan segmen tertentu. Bagaimana membedakannya? Tentu dengan kosmetik. Ada sebuah website e-commerce yang sungguh saya jarang sekali belanja di sana. Bukan karena lambat, mahal dan tidak bisa cicilan 0% (ini penting), semuanya bisa. Tetapi menurut saya, homepage mereka tidak women friendly. Yang dipajang pertama selalu gadget, dan komposisi warnanya pun terlihat sangat maskulin. Sejak beberapa tahun yang lalu belum ada perubahan berarti, dan saya juga belum tertarik untuk browsing lama lama di sana. Beberapa saat yang lalu saya bertemu dengan pihak dari e-commerce ini untuk bekerja sama, dan mereka mengakui kalau audience wanita mereka masih kurang sekali, dan mereka ingin fokus untuk itu di tahun ini. Saya langsung mengatakan, “semoga kalian punya rencana revamp homepage kalian jadi lebih welcoming ke perempuan ya, karena kalau sekarang menurut saya sama sekali tidak.” dan mereka mengiyakan.
Seperti yang saya pernah share soal bisnis persepsi, seringkali tak perlu perubahan mendasar untuk berhasil. Asal yang primer telah dipenuhi, sisanya kita mengubah saja sedikit warna warni kosmetiknya sampai bertemu dengan look yang paling oke!
Webpage la***a. Hahaha…
SukaSuka
Bukannnn
SukaSuka