Usai menonton filem PK, saya menulis di linimasa dengan judul Begitu Besar Rasa Cintanya Padaku Hingga Cintanya Cukup Untuk Rela Melepaskanku. Saya kagum dengan Rajkumar Hirani dan Aamir Khan yang membuat filem ini begitu menggugah selera.
Beberapa saat yang lalu, saya menonton filem India yang lain. Judulnya Dhanak. Filem besutan Nagesh Kukunoor ini sukses menjadikan saya nangis bombay.
Filem yang sederhana ini sejatinya juga menyoroti dunia materialistis versi Indiahe dengan segala kekurangannya. Dengan plot latar belakang keluarga miskin India bagian utara Rajashtan (berbatasan dengan Pakistan), filem bergulir dengan fokus utama kehidupan dua kakak-beradik, Pari dan Chotu.
Di balik kemiskinan mereka, tersimpan kekayaan batin yang menyala-nyala. Chotu buta, namun mata hatinya begitu jelas melihat mana orang baik mana bukan. Saat Pari, kakaknya ragu pada karakter orang asing yang baru ditemuinya, Chotu dengan santai malah bernyanyi bersama dengan orang asing itu. Sedangkan Pari, begitu mencintai adiknya. Demi kesembuhan penglihatan Chotu, ia rela mencari Shahrukh Khan bintang idolanya. Iya. Shahrukh Khan yang itu. Bukankah kemiskinan tidak menghalangi seseorang untuk fanatik kepada artis pujaan?
Dunia yang ditawarkan dalam filem ini adalah dunia hingar bingar sekaligus sunyi. Dama Dam Mast Kalandar, lagu sufi etnis Pakistan dan India menghiasi perjalanan Pari dan Chotu sepanjang filem. Orang India menyukai pesta. Tapi orang India juga menyukai perjalanan sendiri. Dalam perjalanan menemui Shahrukh Khan mereka silih berganti bertemu banyak orang asing. Baik maupun buruk. Kaya maupun miskin. Nagesh, sang sutradara menampilkan kisah miskin India dengan elegan.
Saat menyaksikan perjalanan Pari dan Chotu, saya berpikir soal apa yang dialami oleh kita. Betapa lama kita tenggelam dalam asyik-masyuk dunia kebendaan. Bagaimana mewahnya kita melakukan perjalanan, bahkan jika perjalanan itu dilakukan dengan ojek onlen. Pari dan Chotu bepergian hingga 300 km hanya dengan menumpang kendaraan banyak orang. Juga betapa mewahnya kita menonton filem dengan angin sejuk dari mesin pendingin udara. Mereka menonton filem-filem bintang pujaannya di tanah lapang beralas tikar dan proyektor yang sudah sakit-sakitan. Ternyata untuk mendapatkan rasa syukur, tidak perlu banyak syarat.
Satu hal yang saya suka adalah karakter Chotu. Anak usia delapan tahun yang buta, keras kepala, pemurung sekaligus mudah sekali ceria. Chotu jujur. Karakter yang sama saya dapatkan dari seorang lelaki bernama GusDur.
Jika anda ada waktu, silakan tonton filem menarik ini.
salam anget,
RoyKukunoor
saya “gagal” nonton PK om, karena fokus ke si PK yang ga bisa nyatain perasaannya ma si tokoh utama cewek. bukan hal2 lain yang lebih filosofis. haha
SukaSuka
aku malah pengen gitu. nongton santai tanpa pikiran njlimet
SukaSuka
Di Netflix kan? Pernah liat di situ posternya. Mau masukin daftar tontonan, kok ya yang ngantri udah banyak. 😦
SukaSuka
bagus kok. sedia tisu tapi. iya di netflix. aku nangis beneran pas nonton ahahhaa
SukaSuka