I wish that I could be like the cool kids,
‘cause all the cool kids they seem to fit it.
JADI remaja di zaman sekarang itu enggak gampang, lho… Tidak pernah gampang, bahkan. Lebih-lebih pada mereka yang tinggal di kota besar maupun kawasan pinggirannya.
Ini bukan hanya masalah pubertas, kondisi hormonal yang tidak stabil, dorongan misterius untuk bertingkah konyol, melakukan imitasi sosial, maupun ledakan emosional dalam berbagai bentuk dan suasana, namun lebih kepada pengubahsuaian psikologis terhadap cara mereka memandang diri sendiri.
Remaja saat ini–mereka yang lahir antara tahun 1996 sampai 2006, atau berusia antara 10 sampai 20 tahun–hidup dan bertumbuh kembang dalam kondisi sosial yang sedemikian kompleks. Segala hal yang terjadi dalam lingkup keluarga, sekolah, dan pergaulan secara umum menciptakan beban sosial dari bentuk paling sederhana: eksistensi.
Para orang tua ingin mereka begini.
Guru-guru di sekolah ingin mereka begitu.
Teman-temannya di sekolah maupun dari lingkungan sepermainan ingin mereka seperti ini.
Mereka sendiri juga ingin menjadi begini-begitu-seperti ini-seperti itu setelah melihat para idolanya di media konvesional maupun media sosial, mengikuti tren kekinian yang sedang terjadi, dan merasa harus tampil berbeda dibanding lainnya.
“Para orang tua ingin mereka begini.”
- Mesti pintar dan menjadi juara kelas, maupun juara-juara lainnya.
- Supaya pintar di sekolah, mesti tekun belajar, dibarengi dengan beragam les pengayaan dan jam belajar tambahan.
- Mesti bisa sekolah, dan meneruskan pendidikan di kampus-kampus keren. Kalau perlu di universitas beken luar negeri sekalian.
- Supaya jago di bidang-bidang lain yang dapat dibanggakan, juga dikursuskan berbagai keterampilan. Mulai seni sampai olahraga.
- Jadi anak yang mandiri, bisa berpikiran dewasa, tidak bandel, tidak mengkhawatirkan, saleh dan bermoral, tidak membantah dan menuruti semua ucapan orang tua.
“Guru-guru di sekolah ingin mereka begitu.”
- Mesti jadi siswa yang santun, berprestasi, membanggakan pihak sekolah, tertib, menjadi teladan bagi kawan-kawannya, dan dengan antusias membantu semua aktivitas intra sekolah termasuk menjadi pengurus organisasi sekolah.
“Teman-temannya di sekolah maupun dari lingkungan sepermainan ingin mereka seperti ini.”
- Mesti jadi teman yang asyik, cool, keren, gaul banget, suka membantu, bikin senang, tapi tetap ada di kala senang maupun susah.
“Mereka sendiri juga ingin menjadi begini-begitu-seperti ini-seperti itu setelah melihat para idolanya di media konvesional maupun media sosial, mengikuti tren kekinian yang sedang terjadi, dan merasa harus tampil berbeda dibanding lainnya.”
- Harus keren, atau tampil keren. Caranya bermacam-macam, mulai dari punya gadget paling baru, pamer foto jalan-jalan ke luar negeri, punya akun Instagram atau YouTube dengan follower, subscriber, atau viewer yang banyak dibanding rata-rata temannya, jago main basket, jago memainkan berbagai alat musik, modis dan jago dandan, berdiet supaya punya badan bagus, punya atau mampu memodifikasi kendaraan (yang dibelikan orang tua) dengan sedemikian rupa, cakep jangan lupa.
- Harus punya pacar yang keren dan cakep juga. Kalau bisa seperti di sinetron atau FTV.
- Harus gaul, doyan hangout di tempat-tempat keren, termasuk dugem, rave party kayak DWP barusan, paling duluan tahu atau menonton sesuatu dibanding teman-temannya.
Dari empat parameter di atas, potensi dampak paling besar ada di poin terakhir. Sebab berasal dari pemikiran sendiri, dan diperkuat dengan motivasi internal.
Jika dibandingkan poin-poin lain, para remaja masih bisa membantah orang tua, tidak patuh pada guru, atau berganti geng pertemanan. Akan tetapi, mereka tetap punya keinginan sendiri, yang umumnya harus tercapai dan dipenuhi.
Dalam banyak kasus, pertikaian dan pertentangan para remaja dengan orang lain justru disebabkan karena benturan antara keinginan mereka versus keinginan orang lain atas mereka. Hasil akhirnya, ada yang kalah dan menang. Contoh sederhananya, para remaja yang ngedumel karena dilarang orang tua jalan bareng teman-temannya. Atau kejadian berikut ini…
Bisa dibayangkan, betapa berat dan banyaknya ekspektasi maupun harapan yang ditumpukan kepada para remaja. Semuanya menjadi beban sosial dan psikologis, karena HARUS BERHASIL dan TERCAPAI. Memang sih, ada kalanya beban sosial tersebut berkurang, tetapi pertambahan yang terus menerus mustahil dihindarkan. Tak ada habis-habisnya, berlanjut sampai mereka dewasa dan menghadapi berbagai masalah yang jauh lebih berat.
Tahun lalu, beredar berita seorang murid SD yang bunuh diri karena takut tak lulus Ujian Nasional. Kenapa dia takut tak lulus? Kalau sekadar takut, apa yang mendorongnya untuk mengambil langkah paling ekstrem seperti itu?
Contoh lainnya, tergambarkan dalam hasil riset pada para remaja putri di Amerika Serikat tahun 1999 lalu. 70 persen dari 500 remaja putri usia 9-16 tahun percaya bahwa bentuk tubuh ideal yang harus dimiliki wanita adalah seperti yang mereka lihat di majalah-majalah. Lalu, 47 persen di antaranya pun ingin mengurangi berat badan. Padahal mereka masih dalam masa pertumbuhan. Insecure dini.
Pada akhirnya, para orang tua yang insecurity memiliki anak-anak remaja yang insecure, yang apabila tidak tumbuh dewasa dengan baik dan bijak, akan menjadi orang-orang insecure baru. Kemudian mereka menikah, menjadi pasangan suami istri yang insecure, dan kembali membesarkan anak-anaknya dengan perspektif yang berlandaskan pada insecurity.
Mbulet!
Apa solusinya? Entahlah, saya juga kurang paham. Sebab bakal tidak cukup jika hanya dijawab dengan: “harus meningkatkan pendidikan, memberikan pemahaman, dan memperkuat benteng agama, dst, dsb…” Idealnya, kesalahan ada untuk diselesaikan, kemudian dipelajari, bukan untuk diratapi, dan menjadi alasan pelampiasan emosi.
Oh, tapi satu saran dari saya, terutama bagi para orang tua baru, cobalah untuk bersikap baik dan terbuka. Tanpa disadari, kehidupan remaja itu sudah berat, jangan ditambah berat lagi… dan ini, menurut saya, jauh lebih penting ketimbang percekcokan soal topi Santa, desain baru uang Indonesia, dan hal-hal sejenisnya.
[]
beberapa hari lalu saya nemu artikel ini, Koh.
http://nypost.com/2016/12/10/the-chilling-stories-behind-japans-evaporating-people/
tadi pas baca tulisan ini keinget soal beban, terus jadi inget artikel di link itu. Kalau sempat dan tertarik silakan baca, Koh.
SukaSuka
Terima kasih ya…
SukaSuka
susah itu memilih tanpa pandang bulu, ada yang bayinya susah, ada yang remajanya susah. Juga hingga usia dewasa masih banyak “susah” yang betah nemplok di diri seseorang.
kita boleh susah, asal jangan mental kita yang susah.
gitu sih Naga.
salam sayang,
muuuuuah
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya…
Muaaah juga, Mas… :*
SukaSuka
Cinta orang tua sepanjang masa, cinta anak sepanjang tangan, bacanya jadi inget alm. Ibu. Jd inget ayah dirumah, jd inget kebodohan dan kealayan masa muda, semoga nggak sefatal itu, sampe nyusahin banget orang tua.
Tapi dibalik rasa iba kita sama si bapak yg beli hape itu, mungkin bapak yg beliin hp itu sebenarnya sekarang sedang berbahagia liat anak kesayangannya bahagia sama hape barunya. Mungkin.
SukaSuka
Ya… mungkin. Mudah-mudahan si anak jadi lebih bersyukur dan makin sayang sama Bapaknya.
SukaSuka