Orang Banjar menyebutnya “atang”. Bahasa Indonesianya “tungku’. Bagian dari dapur untuk memasak. Saya masih mengalami masa-masa itu. Masa ketika ibu saya memasak di atang, dengan kayu bakar. Belum ada kompor minyak, apalagi kompor gas.
Saya masih bisa menggambarkannya dengan membongkar ingatan: semacam meja kotak besar berkaki empat, diisi tanah dan abu di permukaannya. Di bawah atau di atas atang disusun kayu bakar.
Tempat kayu di atas berguna untuk mengeringkan kayu yang masih lembab atau basah. Pada dinding-dinding di sekeliling atang bergantungan semua alat masak: wajan, berbagai jenis panci, dan ceret. Juga alat-alat pengaduk. Semua perabot dapur itu permukaan-luarnya hitam jelaga. Saya masih bisa mengingat aroma asapnya.
Hidup pada masa itu memang tidak perlu buru-buru. Hari dimulai sehabis salat subuh dengan menyalakan api untuk merebus air. Tumpahkan sedikit minyak tanah di permukaan abu, lalu nyalakan dengan korek. Atur kayu bakar seperti kau menyusun api unggun kecil.
“Kita ini tiap hari seperti berkemah,” ujar saya pada almarhum ibu saya. Beliau sering mengutip kalimat itu, hingga bertahun-tahun kemudian.
Dapur adalah bagian rumah yang menjadi favorit saya. Bukan karena apa-apa, di sanalah kehangatan udara subuh bisa diatasi. Di rumah kami, ibu adalah orang yang selalu bangun paling subuh, dan saya tak sampai hati untuk tak menemaninya. Beliau harus menyiapkan sedikitnya empat jenis “wadai” alias kue yang nanti kujajakan keliling kampung, sebelum dititipkan di warung.
Rasanya sekarang saya masih membuat sendiri kue-kue itu: ampran tatak yang gurih dan lemak dengan rasa masam-manis pada pisang; sarimuka yang terdiri dari dua lapisan, gurih di bawah, dan manis gula merah di atas; pais yang sedap disantap selagi hangat dan bungkus kulit pisangnya itu bisa menjadi alas ketika kita menyantapnya; untukuntuk, roti kampung goreng berisi inti;….
(Dulu saya punya lelucon yang agak filosofis yang berkaitan dengan kue untukuntuk – entah kenapa kue itu diberi nama itu. Manakah yang benar: apakah hidup untuk makan? Atau makan untuk hidup? Saya punya jawaban, tidak keduanya: karena yang benar adalah hidup makan untuk-untuk)
Tapi sesungguhnya yang paling sulit adalah menanak nasi. Yang rutin, yang terlihat sederhana, dalam hidup ini memang sering dianggap mudah dan kerap diabaikan.
Dari sini saya kira istilah “nasi telah jadi bubur” berasal. Tantangannya adalah bagaimana nasi benar-benar tanak, tak menjadi bubur karena terlalu banyak air, tak mentah seruntulan karena matangnya tak merata, dan tak menjadi kerak karena terlambat menyisihkan api saat nasih dipadarkan. Rahasianya sederhana: rasio air dan beras di dalam panji penanak nasi harus pas benar.
“Air harus menggenang di atas beras kira-kira seruas jari telunjuk,” ini rahasianya. Saya tak pernah membuktikannya secara ilmiah, tapi resep ini tak pernah gagal.
Tentu saja itu bukan satu-satunya rahasia. Yang juga menentukan adalah pengaturan api.
Ini juga sulit. Pada tahap-tahap awal api benar-benar sudah harus jadi, sebelum panci diletakkan di atas api. Dan nyalanya harus dijaga konsisten sambil terus-menerus mengaduk nasi, agar tanaknya merata dan tak jadi kerak.
Tepat setelah air tak menggenang lagi di permukaan beras, singkirkan api, kecilkan nyalanya, dan sisakan sekadar beberpa potong bara agar tetap masih ada panas. Pada saat itu bentangkan sehelai daun pisang, dan tutup panci. Hoopla! Nasi akan matang dengan sempurna. Tanpa kerak yang akan merusak aroma wangi beras dengan bau gosong.
Saya sudah buktikan kemampuan memasak ini saat berkemah dengan regu pramuka saya di SD dan SMP dulu.
PERMAKLUMAN: tulisan ini disponsori oleh rasa kangen penulisnya pada suasana berkemah, saat-saat berdiang di depan api yang menyala, dan aroma nasi matang ketika panci pertama kali dibuka…..