“Never hate a movie” kata Quentin Tarantino kepada kritikus film favorit saya yang menggunakan nama HULK dan menulis essay essaynya yang super panjang dan super dalam dengan HURUF KAPITAL SEMUA. Tentu Sang Quentin mengatakan ini karena HULK baru saja mengatakan dia membenci salah satu film Woody Allen, dan kata Quentin, daripada membenci sebuah film dan menghabiskan energi di situ saja, lebih baik cukup tidak suka saja dan belajar dari sana, karena banyak sekali yang bisa dipelajari dari sebuah film – apakah itu yang kita cintai maupun kurang sukai.
Bukan itu sih, yang saya ingin bahas, tetapi lebih kepada buku. Terkadang ketika kita membaca buku, selalu ada saja yang kurang. Seperti yang saya baru saja beberapa menit yang lalu selesai. Idenya sangat brilyan, luar biasa besar, walau penyampaiannya harus dengan kisah cinta yang cukup melodrama. Betapa saya agak terlalu sinis untuk kisah cinta. Tetapi, walaupun buku tersebut tidak sempurna, telah berhasil menanamkan ide di benak saya. Yang sebelumnya saya sempat terpikirkan ketika saya tercemplung dalam sebuah grup percakapan sekolah saya dahulu kala.
Bukunya sendiri fiksi tentang multiverse. Anggap saja seperti eksperimen Schrodinger’s Cat; di mana kedua kemungkinan antara kucing mati dan kucing hidup terjadi di jagat yang berbeda, tetapi berdampingan, dengan pengamat yang berbeda juga, dan ketika kotak dibuka terjadilah percabangan jagat tersebut. Lalu diciptakan suatu alat demikian canggih, dipadukan dengan serum untuk membuka persepsi agar indra kita terbuka dengan simpangan jagat tersebut, sehingga kita memiliki kemampuan untuk melihat kucing yang hidup dan kucing yang mati.
Lumayan bingung? Saya juga. Cemennya, saya jadi teringat ketika melihat dua nama di grup itu. Keduanya sempat menyatakan ketertarikannya pada saya. Beberapa kali, bahkan. Tetapi tentu mereka bukan tipe saya, walau kami bertiga (dulu) sama brilyannya. Maksudnya rankingnya dulu-duluan saja antara 1, 2 dan 3 hahaha (paling tidak saya dulu pernah pintar). Lalu saya dengar mereka sekarang kelihatannya pada posisi yang baik. Tak ayal saya berandai. Kalau saja mengatakan ya kepada salah satu dari mereka, menundukkan keangkuhan saya. Seperti apa kira-kira hidup sekarang? Walau tetap ide bahwa harus menurut dan meminta izin seseorang untuk melakukan apapun terdengar agak mengerikan sekarang, but then again, if it was the condition from the start, anyone could accept it as the norm.
Never hate a movie. Never hate a book. Karena mereka melemparkan ide ke dunia. Dan sebuah ide, ketika sudah tertancap di otak, bisa mengular ke mana-mana. Dan kita tidak pernah akan tahu, di mana ujungnya.