SAYA pernah menghadapi masalah yang lebih besar dan situasi yang lebih sulit dari ini.
Itu adalah kalimat ajaib. Saya sering dan selalu menggunakannya ketika menghadapi kesulitan apa saja dan kapan saja dalam perjalanan hidup saya. Dan kalimat itu selalu berhasil menguatkan saya untuk bisa mengurai kesulitan apapun. Ya, apapun itu.
Ada dua momen tersulit dan terberat yang selalu saya ingat. Sulit dan berat sesuai dengan kapasitas saya sebagai kanak-kanak waktu itu. Pertama, sejak kecil saya menderita asma. Sulit sekali bernafas. Penyakit itu saya idap sebelum saya masuk sekolah dasar. Setiap kali menarik napas kedua bahu saya terangkat. Tesisit bahu, kata orang Banjar. Saya anak kecil yang ringkih. Ibu saya mencari obat apa saja untuk menyembuhkan penyakit itu.
Saya tak tahu yang mana akhirnya yang bikin sembuh. Apakah abu lipan? Ya, lipan dibakar pada selembar seng lalu abunya diseduh di segelas air. Saya minum airnya setelah abu itu mengendap. Atau sadapan getah birah – keladi yang umbinya justru beracun? Atau karena saya seperti teman-teman di kampung lainnya, selalu berenang di pantai kampung kami jika air pasang petang.
Kedua, kelingking kaki kiri saya pernah membengkak, membesar nyaris sama dengan ibu jari, dan bernanah. Semacam bisul, atau mungkin infeksi. Berminggu-minggu lamanya, sampai akhirnya bisul itu pecah, setiap malam saya menangis menahan sakit. Ibu saya juga menangis bersama saya.
Semakin bertambah usia, tentunya dan seharusnya kapasitas kita menghadapi masalah juga meningkat. Dan tentu kaliber masalah yang dihadapi juga membesar. Tapi bagi saya tak pernah ada masalah yang seberat kedua “siksaan” yang saya alami ketika saya kanak-kanak itu.
Semakin dewasa kita, hidup akan semakin kompleks. Itu adalah sunatullah. Takdir alam. Hidup saya memang tidak mudah-mudah amat, tapi juga tak berat-berat amat. Dan sejauh ini, saya selalu punya alasan untuk berbahagia.
Tuhan yang Mahabaik selalu punya cara terbaik untuk bikin kejutan. Saya merasa tak pantas menyebutnya sebagai keberuntungan, apalagi keajaiban. Saya rasanya tak seistimewa itu di mata Tuhan. Tentu saja saya selalu bersyukur untuk kejutan-Nya itu.
Kejutan itu, misalnya, datang ketika saya tak tahu lagi harus melakukan apa untuk mendapatkan tiket kapal Pelni Balikpapan – Jakarta, karena tiket sudah habis, kecuali untuk jadwal kapal dua minggu berikutnya, sementara saya harus ada di Bogor seminggu lagi.
Saya hanya punya uang – sisa gaji sebagai kartunis yang bisa saya tabung – untuk beli tiket kapal. Saya tak pernah berpikir untuk beli tiket pesawat, sampai petang itu seorang yang baik bertanya dan menolong saya dengan selembar tiket pesawat. Undangan masuk IPB tanpa tes saya tak jadi hangus.
Selama kuliah, jika menghadapi masalah – yang sudah terbayang sejak awal adalah soal uang kiriman yang selalu datang tanggal 40 – saya akan menguatkan diri sendiri dengan kalimat ajaib itu: Saya pernah menghadapi masalah yang lebih besar dan situasi yang lebih sulit dari ini.
Kesulitan memang tak bisa kita elak. Guru saya dulu bilang: yang penting setiap memulai sesuatu berniatlah dengan benar, lalu kerjakan dengan benar. Itu saya cukup, dan pasti nanti hasilnya akan benar. Jika hasilnya mengecewakan? Jika yang datang justru kesulitan? Tuhan pasti sedang menyiapkanmu untuk menghadapi sesuatu yang lebih besar.
Oh, maafkan saya. Apakah di tulisan ini saya sudah semakin tampak seperti omongan orang tua sok bijaksana yang menasihati cucu-cucunya? Wah, gawat! Saya harus mengakhiri tulisan ini sampai di sini! ***
almamater kita sama!
SukaSuka
Angkatan berapa ya?
SukaSuka
Kalo bagi saya hidup adalah untuk dinikmati (dengan segala naik turunnya) karena skenario hidup masing-masing dari kita sudah dituliskan olehNya. Mari menjadi bahagia karena hidup tho cuma sekali ini😀
SukaSuka
Berbahagia itu mudah… mari…
SukaSuka