Rawat Seorang Anak-Anak di dalam Dirimu dan Berbahagialah

kartun-masa-kecil
Kartun “Permainan Masa Kecil”, HAH, 2012.

 

KETIKA buku mewarnai gambar untuk orang dewasa laris-manis, saya seperti menemukan pembenaran atas alat gambar dan buku gambar yang selalu saya bawa ke mana-mana. Ada seorang anak kecil yang abadi dalam diri saya dan saya bahagianya bersamanya.

Anak kecil itu adalah dia yang dulu menggambar di hamparan pasir di halaman rumah kami, dulu. Itu rumah kontrak di dekat balai desa dan sebuah pasar yang mati. Rumah kontrak itu sepertinya dulu adalah deretan toko yang berubah fungsi. Dinding depannya sejumlah pintu geser yang diberi nomor, dan tak ada jendela.

Anak kecil itu menggambar apa saja dengan sepotong bambu: Mobil, ikan paus, ayam jago, pohon kelapa, kura-kura, apa saja… Anak kecil itu pernah begitu iri pada krayon warna-warni milik anak seorang mantri di puskesmas yang baru saja pindah dari kota.

Seperti anak-anak lain ia menyukai kartun Hanna-Barbera: Si anjing detektif kalem Huckleberry Hound, Scooby Doo anjing takut hantu yang justru rasa takutnya itulah yang kerap membuka kedok hantu gadungan, juga dongeng H.C. Andersen yang dikartunkan.

Film kartun di TVRI itu harus ia tonton dengan mencuri-curi waktu salat magrib.  Selisih waktu antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat membuat tayangan sore di Jakarta menjadi senja di Kalimantan. Untuk alasan itu ia pernah begitu benci pada Jakarta yang egois.

Suatu hari ia menemukan artikel tentang Charlie M Schulz di majalah remaja. Anak pemalu penyuka anjing yang kelak menjadi kreator  “Peanuts”, stripkomik Charlie Brown dan anjingnya Snoopy, dan kawan-kawan. Ia ingin menjadi kartunis dan kaya seperti Schulz. Ia mulai merancang karakter kartunnya sendiri.

Kartun membantunya menyambung hidup. Di SMA ia bekerja sebagai kartunis lepas di sebuah koran lokal.  Pekerjaan yang ia dapatkan setelah semalaman menyiapkan puluhan gambar untuk dibawa ke kantor redaksi koran lokal tersebut. Dan ia diterima. Ia diberi uang honorarium bulanan Rp25.000,-. Dan itu besar untuk seorang anak SMA seperti dia. Dia bisa “bergaya hidup mewah” dengan melanggani majalah HAI, Intisari, dan sesekali beli Jakarta-Jakarta atau Tempo. Juga bisa sesekali membeli buku-buku sastra, termasuk buku puisi Duka-Mu Abadi Sapardi Djoko Damono.

Saat kuliah dia membuat kartun di beberapa majalah dan surat kabar di Jakarta. Dan beberapa kawan mendirikan komunitas kartunis di kampus. Pada suatu hari ada pameran buku di kampusnya. Ia kepincut dan dengan sisa-sisa uangnya ia membeli buku Gerhard Gollwizer “Menggambar bagi Pengembangan Bakat”. Diterbitkan oleh penerbit ITB. Ia membayangkan buku inilah yang dibaca oleh anak-anak seni rupa di kampus itu.

Ia tertawa ketika seorang kawannya menegurnya dengan keras, “buat apa beli buku itu? Menggambar itu haram!” Dalam hatinya – ia menghindari pedebatan – bilang, “kartun-kartun saya sama sekali tak mengurangi iman saya. Allah yang Agung tak sebanding dengan selembar kartun.”

Sewaktu lulus kuliah dan bekerja – dan ia bayangkan ia akan berhenti menggambar kartun –  dia bilang pada kawan-kawan komunitas kartunnya, “Indonesia kehilangan seorang calon kartunis terbaiknya!” Kawan-kawannya tertawa, mereka tahu ia hanya bercanda.

Nyatanya, ia terus menggambar, untuk dirinya sendiri. Dan ia bahagia.

Kemana-mana, jika bepergian untuk beberapa hari, karena urusan pekerjaan misalnya, dia selalu membawa seperangkat alat gambar, dan buku gambar. Kadang ia sama sekali tidak menggambar apa-apa, tapi ketika melihat buku gambar dan pena di meja di samping katil di kamar hotelnya ia seperti ditemani anak kecil yang dulu menggambar di halaman rumah itu.

Dulu dia menggambar untuk mendapatkan honor. Kini dia mengambar hanya untuk sebentar bergirang hati. Sebentar menjadi kanak-kanak lagi, bermain bersama kanak-kanak dari masa kecilnya yang kini tetap sebagai kanak-kanak.

Di gambar kartunnya ia memakai tanda inisial “HAH”. Semacam interjeksi dari keheranan dan keterkejutan. Karena memang begitulah yang ia rasakan setiap kali menyadari bahwa masih ada  seorang anak kecil itu di dalam dirinya, dan dia bahagia. ***

 

 

 

 

3 respons untuk ‘Rawat Seorang Anak-Anak di dalam Dirimu dan Berbahagialah

  1. sebagsaya yg masih suka bawa choki-choki atau nyam-nyam. trus makan coklatnya sampe abis, sampe dicolek pake jari, trus di-emut. hehe. maap sebut merk bukan promosi
    terima kasih om, sudah mengingatkan betapa berharganya jiwa anak-anak itu 🙂

    Suka

  2. begitupun saya masih merawat jiwa anak-anak saya dengan bersepeda ke kantor dan melipatnya rapih di bawah meja kerja.. Colek om roy!

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s