Sudah berapa banyak manusia mati tragis di tiang pancang atau dipancung karena perkara iman. Anna’l-Haqq. Sayalah kebenaran itu. Mansur Al-Hallaj, berkata demikian suatu ketika, dan lalu dia mati di tiang gantungan pada 22 Maret 922 Masehi.
Ketika soal percaya sedemikian serius hingga mengakibatkan hilangnya nyawa anak manusia, maka terbukti kekuatan dari percaya ini sedemikian penting, mengalahkan soal lapar, hasrat seksuil, bahkan akal sehat.
Tapi bukankah soal percaya adalah memang soal pribadi. Sesuatu yang paling intim dari setiap individu terhadap apa yang digenggamnya dan tidak ada satu kekuatan apapun, bahkan dari siapapun yang berhak untuk menggoyahkan keyakinan individu lainnya itu. Lantas sejak kapan “percaya” dianggap sebagai sesuatu yang dimiliki secara bersama-sama? Bahwa keyakinan tertentu menjadi sebuah kebenaran umum dan harus juga diyakini bersama-sama dan tak boleh ada “suara lain”. Sebagaimana suatu keyakinan pelan-pelan diajarkan orang tua masing-masing.
Karena ternyata percaya dan keyakinan adalah sesuatu kekuatan sekaligus kelemahan dari anak manusia. Karena sesungguhnya kepercayaan paling hakiki adalah kepercayaan yang tak perlu bukti. Percaya utuh dan menampik segala hal yang dapat mengganggu kemutlakan iman. Karena iman, bagi Goenawan Mohamad, adalah “pelarian ke dalam semacam dunia “mistik” yang mudah dengan taklid yang tertutup dari tiap kehendak bertanya”. Karena percaya menjadi sesuatu yang selalu mengundang rasa ingin tahu. Dipertahankan untuk terus menjadi ghaib. Wilayah tak bertuan yang sulit untuk dibuktikan, namun begitu mudah dimanfaatkan, bagi sebagian makhluk. Sebuah dogma yang (semoga) tak dibantah dan terbantahkan.
Kepercayaan yang seringnya justru muncul justru dari janji-janji. Kepercayaan yang timbul dari sebuah harapan bahwa ketika itu menjadi sesuatu yang diamini maka ada sesuatu yang lain yang menjadi sebuah manfaat. Sebuah langkah politis dalam arti yang sebenarnya. Percaya agar kita lebih nikmat. Percaya bahwa kita akan selamat. Dengan percaya, maka semuanya akan menjadi lebih mudah dan indah. Sebuah percaya yang muncul dari rasa takut bila mengambil langkah untuk “tak percaya” maka kita akan celaka. Soal percaya, soal iman, soal keyakinan yang dapat menjadi alat pembunuh masal bagi sebagian orang yang memanfaatkannya dengan baik.
Jika soal ras adalah pemberian Tuhan, maka soal percaya adalah soal pilihan hambanya. Walaupun ini dapat disangkal sebagian penganut keyakinan tertentu bahwa soal percaya pun adalah soal hidayah, yang datangnya juga dari Tuhan. Itu pun sebuah bentuk dari pengamalan atas sebuah kepercayaan.
Even if I knew that tomorrow the world would go to pieces, I would still plant my apple tree, sahut Martin Luther. Bahwa tugas mulia manusia adalah bukan soal berpikir bagaimana hasilnya nanti. Bukan soal harapan untuk memetik, melainkan tugas manusia adalah menanamkan dan melakukan hal yang memang sudah menjadi tugasnya. Laku dan harap. Sisanya adalah bukan urusannya.
Sebagai bagian dari untuk kepentingan sesaat, maka sentimen satu kepercayaan adalah sesuatu begitu ringan, murah, mudah untuk dijadikan piranti mengumpulkan massa. Ketika itu terjadi transaksi iman dengan perolehan suara. Hal ini sudah terjadi sejak kekuasaan perlu dukungan. Juga sejak adanya keyakinan yang mengajarkan tak perlu takut mati. Jalan tuhan adalah jalan kebenaran satu-satunya.
Lalu, ketika seorang keturunan tionghoa bercita-cita memimpin sebagian wilayah negeri, kira-kira apa yang akan dinilai oleh para Pemilih. Laku dan harap? Atau penialaian warga soal keyakinan calon pemimpin itu sebagai manusia kepada tuhannya?
[]
salam anget,
roycayul
(yang ga pelcaya tahayul)
Even if I knew that tomorrow the world would go to pieces, I would still plant my apple tree,
lakukan bagian kita maka Tuhan akan melakukan bagiannya… Tsahhhh~~
SukaSuka
Kepercayaan yang simplisistik akan mengakibatkan kebutaan yang luas dan akan lebih menarik perhatian di antara kalangan yang tidak puas dan/atau tidak belajar…
SukaSuka
“Jika soal ras adalah pemberian Tuhan …”
Rasanya kok ndak adil kalau menghakimi orang karena apa yg diberikan padanya, yg ga pernah dia minta.
Baca endingnya kok sedih ya om.
SukaSuka