Ada tiga macam manusia di muka bumi ini.
Yang pertama, yang menganggap kreativitas adalah milik mereka yang dikecup keningnya oleh malaikat saat lahir. Semacam berkah dari sinar yang maha dahsyat.
Yang kedua, yang menganggap kreativitas adalah milik mereka yang mau berlatih dan terus berlatih. Seperti otot yang harus dilatih supaya kuat.
Yang ketiga, yang menanggap kreativitas adalah milik mereka yang menggabungkan yang pertama dan kedua. Perlu bakat dan latihan.
Yang mana pun kepercayaannya, ada satu hal tentang kreativitas yang terproyeksikan semacam misteri. Ada di kotak hitam yang tidak bisa dilihat apalagi dijelaskan. Kemungkinan besar, karena kreativitas seringnya dikaitkan hanya bisa dihasilkan oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia kesenian. Pertunjukkan, audio visual, dan bidang pekerjaan lain yang terkait kepada “dunia entertain”. Tapi coba kita lihat lagi, apa sih definisi kreatif. Kalau menurut Thesaurus, secara sederhana disebut sebagai kemampuan untuk menciptakan. Menghasilkan sesuatu. Berkarya.
Dalam keseharian, sebenarnya kita selalu ditunjukkan pada kreativitas. Pagi hari, saat kita sikat gigi. Setidaknya ada tiga hasil kreativitas yang kita gunakan; sikat gigi, odol dan cermin. Lanjut saat mandi; ada sabun, shampo, gayung, gagang shower, pipa air, dan lainnya. Berlanjut terus dari mulai mengenakan pakaian, memasak sarapan, cangkir untuk minum kopi, mengenakan sepatu, menggunakan transportasi, mendengarkan radio, dan ribuan hal lain di depan mata yang merupakan bentuk kreativitas. Hasil karya ini masuk ke dalam kategori seni terapan, applied arts. Hasil karya yang bisa digunakan sehari-hari untuk kehidupan kita. Bentuknya sangat beragam dan jenisnya pun terus berkembang.
Pernahkah kita berpikir, bahwa ada jutaan manusia di bumi ini yang setiap hari menciptakan benda-benda itu. Mereka bekerja pada roda industri yang terus menerus berambisi untuk menawarkan kemudahan bagi kehidupan. Bisa karena bentuknya yang semakin ergonomis, harga yang semakin ekonomis, memberikan kepraktisan dan sebagainya. Di saat yang bersamaan ada pula yang berkarya untuk memberikan nilai lebih estetika. Sehingga sebuah benda tak hanya memiliki nilai fungsi semata tapi juga keindahan yang memanjakan mata. Lihat kata “keindahan” di kalimat barusan. Seolah-olah, hasil karya dibagi dua; fungsional dan estetika. Sayang dalam perkembangannya, hanya hasil karya yang memiliki nilai estetika yang pantas disebut hasil kreativitas. Sementara yang fungsional bukan hasil kreativitas. Di sini lah awal mula “petaka” yang memasukkan kreativitas seolah hanya milik orang-orang tertentu. Orang-orang berbakat.
Kalau menilai fungsi, maka teko jadul yang paling kiri sudah bisa menjawab kebutuhan fungsi teko sebagai penyimpan air panas. Tapi pilihan yang tengah dan kanan seolah memberikan nilai estetika yang dianggap lebih tinggi, lebih indah, dan merupakan hasil karya seorang disainer. Tentunya harganya juga berbeda karena selain disain juga sangat mungkin menggunakan bahan dan teknologi yang lebih canggih. Tapi keindahan? Benarkah yang paling kanan lebih indah dibandingkan yang paling kiri? Begitu pun sebaliknya. Tarik menarik yang terus menerus antara keindahan sebagai subyektif dan keindahan hanya bisa dilahirkan oleh orang-orang berbakat, membuat kita semakin dijauhi dari kreativitas. Kreatif itu harus indah, kalau tidak indah tidak kreatif. Yang fungsional, tidak indah, maka tidak kreatif.
Padahal kalau kita sama-sama sepakat bahwa setiap teko di atas memiliki keindahannya sendiri-sendiri, maka kita wajib mengakui bahwa setiap orang punya kreativitasnya sendiri-sendiri. Dan kreativitas bukan hanya milik orang-orang berbakat yang atau disertifikasi oleh gelar akademis. Dengan adanya internet yang mengaburkan batasan-batasan, kita bisa menggugat doktrinasi makna keindahan. Gugatan ini bukan untuk cari perhatian dan sensasi, tapi atas nama mengembalikan kreativitas sebagai milik semua manusia. Ini perlu terus menerus dilakukan supaya kita tidak lagi ragu apalagi takut untuk masuk ke ruang-ruang imajinasi. Karena sebenarnya ruang imajinasi itu terus ada bersama kita, hanya menanti untuk diisi.
Semakin diperparah oleh pencitraan orang-orang kreatif sebagai “nyentrik”. Misalnya memiliki gaya dandanan tertentu. Pergi ke tempat-tempat sepi nan indah untuk mencari inspirasi. Memiliki gaya wicara yang slengek’an. Merokok tanpa henti. Rambut tak terurus. Dan sebagainya. Jarak pun semakin diperlebar antara “orang biasa” dan “orang kreatif”. Buruknya, menurunnya rasa kreativitas diri bagi orang-orang yang merasa dirinya “biasa”. “Itu bukan gue. Gue gak kreatif. Gue kerja kantoran”. Lagi-lagi internet memunculkan beragam sosok orang kreatif. Yang tampilannya biasa, ternyata memiliki kemampuan fotografi yang bisa dilihat pada postingan Instagram. Yang bekerja di kantor, memiliki kemampuan menulis puisi pendek yang terbaca dari kicauannya di Twitter. Yang suka ke salon dan wangi, ternyata pandai berkreasi membuat kue dan berjualan di Facebook. Demokratisasi kreativitas semakin bermunculan. Dunia semakin berwarna.
Perkembangan ini perlu didukung. Karena terbukti kemampuan mencipta, memiliki daya yang luar biasa untuk memberikan rasa percaya diri saat menjalani hidup sehari-hari. Salah satu contoh yang teramat jelas adalah ketika orang gandrung pada buku mewarnai. Saat mewarnai selesai, diam-diam rasa bahagia karena sudah berkarya menyelubungi hati. Dan tanpa disadari rasa percaya diri, sebagai manusia yang bisa menghasilkan sesuatu, bersemi kembali. Bisa jadi karena pekerjaan di kantor dirasa kurang sebagai “berkarya” dan hanya rutinitas semata.
Sekarang, bagaimana caranya kita bisa terus menerus menumbuh kembangkan kreativitas dalam diri kita? Twyla Tharp adalah seorang koreografer kondang dari Amerika dalam bukunya The Creative Habit percaya bahwa kreativitas tumbuh dari kegiatan sehari-hari, bukan sesekali. Sebagai pekerja lepasan, jadwal hidup Twyla jauh dari kesan orang kreatif yang suka bangun siang dan tidur malam seenak hati. Dia memiliki rutinitas yang diciptakannya sendiri. Pergi ke gym pagi hari, bersama trainer yang sudah bersamanya selama belasan tahun. Mandi. Sarapan. Ke studio. Makan siang. Dan seterusnya. Seperti pendulum pada kehidupan yang sengaja digerakkan untuk menciptakan ritme yang membangkitkan kreativitas. Besar kemungkinan ritme itu diperlukan agar masuk ke dalam suasana meditatif yang merangsang untuk berkarya. Jadi, kalau selama ini hidup sudah teratur dan ritmis, tak perlu khawatir dengan menganggapnya sebagai pengekang kreativitas.
Twyla tak sendirian. Ada banyak orang “kreatif” memiliki rutinitas yang diciptakan untuk merangsang kreativitas. Sebut saja Igor Stravinsky, yang setiap pagi selalu memainkan Bach Fugue sebelum memulai harinya. Haruki Murakami yang setiap hari berlari. Lihatlah tabel di bawah ini yang mencatat rutinitas para seniman dunia. Jauh dari kesan hidup sembarangan yang selama ini kita yakini. Banyak yang berpendapat, hal ini berkaitan erat dengan kebutuhan akan kondisi tubuh yang prima saat berkarya. Perhatikan, hampir semua menyisihkan waktu untuk berolah raga.
Judulnya saja “Creative Habit”, kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari yang menjadikan kita lebih kreatif. Setelah kita berhasil melepaskan kreativitas dari keindahan, seharusnya makna kreativitas akan kembali luas dan lega. Indah jelek itu subyektif, kreatif itu absolut.
Kemampuan untuk menghasilkan powerpoint yang menarik, merupakan bentuk kreativitas. Bisa mengatasi politik kantor. Bisa memasak menggunakan bahan seadanya di kulkas. Bisa mengakali kemacetan Jakarta. Bisa menyenangkan mertua. Bisa mengajak anak bermain sambil belajar. Bisa menjadi vlogger. Akui dengan lantang itu semua adalah bentuk kreativitas. Kreativitas bukan hanya milik pelukis yang mampu memamerkan karyanya di galeri. Bukan hanya milik penyanyi yang mentas dari satu panggung ke panggung lain. Atau hanya untuk bintang film yang berhasil memenangkan penghargaan. Mereka adalah pekerja di bidang kreatif. Tapi semua manusia adalah pekerja yang kreatif.
Kreativitas dalam mengubah status percintaan.
Oh.. aku harus berlatih lagi.
SukaDisukai oleh 1 orang
jadi aku kreatif toh, Mas?
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya dong
SukaSuka
tulisannya keren mas. Noted it! Nampar banget buat beberapa khalayak yang suka memkotak-kotakkan kreativitas.
SukaSuka
Terima kasih sudah mampir yaaa
SukaSuka