Guru Agama Bernama Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far

JIKA harus membuat daftar nama-nama guru agama maka saya harus memasukkan namanya: Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far.  Pasti tidak di urutan pertama, tapi harus ada dalam urutan sepuluh teratas.

Dia tidak mengajar seperti guru agama di sekolah arab – madrasah ibtidaiyah –  di kampung saya dulu, di mana saya belajar tarikh, fiqih, tauhid, tajwid, hadist, dan khat alias menulis indah. Dia bukan pengkhutbah seperti paman saya yang di sela-sela waktu sibuknya suka melayani pertanyaan saya soal agama. Bukan. Di bukan guru seperti itu.

Dia jauh. Tak terjangkau. Tapi dia dekat merasuk ke dalam alam pikir saya.

Dia mula-mula memikat saya karena kemerduan suaranya. Ia seorang penyanyi. Penyanyi pop yang berbeda. Ketika penyanyi-penyanyi seperti Iis Sugianto, Nia Daniati, dan sederetan nama lain – yang lagu dan musiknya bisa saling dipertukarkan – menguasai ruang dengar masa kecil saya dulu dia menyeruak dengan jenis musik yang berbeda. Waktu itu saya tak tahu apa bedanya. Tapi saya menyukainya, membuat saya mendengarkan berulang-ulang. Lirik-liriknya tak melulu soal cinta, benci, rindu, dan atau patah hati yang dangkal, meskipun dia juga menyenandungkan lagu asmara.

Selain lagu cinta dia juga menggubah lagu-lagu religius yang dari situ saya belajar banyak soal religiositas dan kemudian dari situ saya tanpa sadar memperkaya dan membangun pondasi keberagamaan saya.

Tentu saja saya waktu itu mendengarkan lagu-lagu anak-anak yang riang dari penyanyi cilik kala itu: Chicha dan Adi. Juga Ira Maya Sopha dan Debby Rhoma Irama.  Dan menghafalkannya untuk menyanyi di depan kelas pada pelajaran kesenian.

Penyanyi itu datang lewat kaset yang dibawa kakak sepupu saya. Dia sekolah pertanian di ibukota provinsi. Tiap kali pulang liburan dia selalu membawa kaset baru salah satunya adalah penyanyi ini. Hanya ada satu satu pemutar tape di rumah kakek. Di situlah kami mendengarkan lagu-lagu penyanyi balada itu.

Ini salah satu lirik lagunya yang memukau saya sejak 1979 – tahun ketika album pertamanya keluar dan terjual dua juta keping –  itu:

Pernah kucoba untuk melupakan Kamu
Dalam setiap renunganku
Melupakan semua yang Kau goreskan
pada telapak tanganku
Dan juga kucoba untuk meyakinkan fikiranku
Bahwa sebenarnya engkau tak pernah ada
Bahwa bumi dan isinya ini tercipta kerana
memang harus tercipta

Bahwa Adam dan Hawa tiba-tiba saja turun
Tanpa karena makan buah khuldi dahulu
dan aku lahir juga bukan kerana campur tanganMu
Hanya kerana ibu memang seharusnya melahirkanku

Tetapi yang kurasakan kemudian
Hidup seperti tak berarti lagi
dan ternyata bahwa hanya kasih sayangMu
yang mampu membimbing tanganku
Oh oh yang mampu membimbing tanganku

Tuhan maafkanlah atas kelancanganku
mencoba meninggalkan Kamu
sekarang datanglah Engkau bersama angin
agar setiap waktu aku bisa menikmati kasihMu.

Jika mengenang masa-masa itu – masa ketika saya yang baru bisa membaca, dan sudah mendengarkan lagu ini sambil membaca lirik lagunya – saya seringkali takjub sendiri. Kok saya suka ya? Kok saya terpukau ya? Saya tak pernah bosan. Tak pernah sengaja menghafalkan tapi sejak saat itu saya tak pernah lupa, meskipun sampai beberapa tahun kemudian saya tetap tak mengerti.

Saya tak pernah ingin bertanya apa artiya lirik lagu itu pada guru-guru agama saya yang lain. Apakah boleh orang melupakan Tuhan? Kok berani sekali dia? Apa boleh orang mengingkari kekuasaan Tuhan atas dirinya? Apa boleh orang meniadakan Tuhan atas hidupnya? Meskipun dia kemudian menyadari bahwa dia salah dan kembali kepada Tuhan.

Lagu itu – seperti saya sebutkan di atas – membangun kesadaran pada saya bahwa beragama atau dalam hubungan kita dengan Tuhan kita boleh kritis kok. Kita boleh mempertanyakan hal-ihwal iman itu. Jika niat kita bertanya itu benar, maka kita akan sampai pada jawaban yang benar. Dan itu – dalam kesadaran saya kemudian – lebih baik daripada tunduk saja tanpa pernah mempertanyakan apa-apa.

Baiklah, saya sebutkan saja, penyanyi itu namanya Ebiet G. Ade. Nama yang saya sebutkan pada judul tulisan ini adalah nama aslinya. Bahkan cara dia mengutak-atik namanya pun sejak itu seperti menjadi tren yang banyak ditiru biduan lain.

ebiet

Saya tak pernah menyebut lagu-lagu Ebiet yang sejenis itu sebagai lagu religius. Ia dulu tak pernah secara sengaja mengeluarkan album religi menjelang bulan puasa seperti banyak dilakukan penyanyi-penyanyi sekarang. Ia dengan enak menyusun trek lagu di album-albumnya dengan lirik-lirik bertema kaya: balada cinta, religiositas, atau hubungan manusia dan alam.

Pada suatu ketika di acara Mimbar Agama di TVRI – stasiun ini menggilir acara mimbar agama-agama – lagu ini dinyanyikan oleh satu vokal grup (aha, ini istilah yang bisa jadi kata kunci menebak saya dari generasi apa). Eh, di ketika lain di stasiun satu-satunya itu lagu ini dinyanyikan lagi di mimbar agama lain.  Lho, saya pikir, apakah Ebiet rela lagunya dinyanyikan oleh umat dari agama yang tak sama dengannya? Saya tak tahu apa jawaban Ebiet, tapi sepertinya ia tak pernah keberatan.

Pelajaran apa yang bertahun-tahun kemudian saya catat adalah betapa universalnya dasar-dasar keberagamaan dan keberimanan itu.  Tapi baiklah, sebelum kawan-kawan saya makin yakin memberi saya cap sekuler bin liberal, saya sebaiknya tak usah memperpanjang contoh bagaimana lagu-lagu religius Ebiet membantu saya menjadi perindu keberagamaan yang damai dan teduh. Apa yang akhir-akhirnya rasanya akan semakin keras usaha untuk mewujudkannya.

Oh, ya, lirik lagu yang saya kutip utuh di tulisan ini judulnya Hidup I (Pernah Kucoba untuk Melupakan Kamu). Dan satu lagi, Ebiet juga yang membuat saya ingin bisa main gitar tapi sampai hari ini keinginan itu tak pernah bisa saya capai. Dia memang bukan guru musik saya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s