MENGAWALI hari ini dengan secangkir teh hangat, serta selusin pertanyaan seputar etiket, etika, dan moral. Topik yang barangkali sudah basi, karena terus-terusan dibahas dan dipertanyakan sejak dahulu kala, namun selalu mencuat dalam kehidupan kita. Turun temurun, berulang, sampai bosan, padahal tetap kejadian.
Pemicunya sederhana; enggak sengaja membaca twit seorang teman kemarin malam.
- Apa itu etiket?
- Apa itu etika?
- Apa itu moral?
- Apa yang menyusun dan membentuk etiket, etika, dan moral?
- Apa tujuan disusunnya etiket dan etika?
- Di antara etiket dan etika, di mana posisi moral? Melekat pada salah satu atau keduanya?
- Apakah tindakan di atas melanggar etiket, atau etika?
- Apa yang dilanggarnya?
- Apakah etiket tetap berlaku bila tidak ada orang lain di sekitar kita?
- Sama seperti pertanyaan di atas, bagaimana dengan etika?
- Bagaimana menjelaskan hubungan antara etiket dan etika, dengan kejujuran dan rasa malu?
- Boleh/tidak bolehkah berciuman mesra di lokasi umum?
Secara teoretis, jawaban untuk pertanyaan nomor 1 sampai 5 bisa didapatkan dengan mudah di buku, referensi online, bahkan dalam pelajaran di sekolah menengah.
Sederhananya, etiket berkaitan dengan perilaku sosial yang selaras dengan budaya, pantas, dan dianggap patut untuk dilakukan dalam sebuah kelompok sosial tempat seseorang tersebut berada. Bukan sekadar tunduk dan berperilaku yang demikian, etiket juga terkait rasa hormat dan santun terhadap orang lain. Sementara etika berhubungan dengan tindakan yang dianggap benar, dalam lingkup penerapan yang relatif lebih universal, dan diikuti dengan konsekuensi. Sedangkan moralitas lebih dititikberatkan pada kemampuan seseorang dalam menilai dan mempertimbangkan baik buruknya sesuatu. Itu sebabnya, moralitas sering disarukan dengan nilai-nilai agama, formulasi peraturan yang disebut turun dari tuhan.
Etiket dan etika sama-sama disusun atas dasar konsensus sosial budaya, alias kesepakatan bersama. Sehingga bisa dibilang, batasan-batasan dalam etiket maupun etika bisa selalu berubah seiring zaman dan kemajuan pemikiran manusia. Sesuatu yang dulunya dianggap biasa-biasa saja, sekarang menjadi sesuatu yang dianggap aneh. Contohnya, (1) perbudakan merupakan praktik yang lazim di masa lalu, (2) begitu juga dengan segregasi atau pemisahan berdasarkan warna kulit dan ras, (3) para atlet olimpiade yang bertanding dalam kondisi telanjang, (4) adu bunuh Gladiator, (5) para wanita Bali yang menjalani kesehariannya tanpa penutup dada, (6) para janda di India harus ikut membakar diri saat jenazah suaminya dikremasi, dan banyak lagi lainnya.
…
Sekarang, kembali ke kasus cipokan di Soetta tadi. Apakah tindakan tersebut melanggar etiket atau etika?
Apabila iya, melanggar etiket atau etika terhadap siapa dan tentang apa?
Apabila tidak, perlukah mempertimbangkan perasaan yang muncul pada orang lain di sekitar mereka?
Bagaimanakah sebaiknya cara pasangan tersebut menyikapi orang lain, dan bagaimanakah semestinya cara orang lain menyikapi pasangan tersebut?
Apakah tindakan tersebut amoral?
Apabila iya, apa implikasinya? Terhadap pasangan itu sendiri, ataukah kepada orang lain?
Apabila tidak, apakah kamu juga ingin melakukannya? Lain kalau satu mau ciuman, yang satu lagi menolak karena merasa tidak nyaman. Jika terjadi pemaksaan, maka jatuhnya adalah kriminalitas, kan?
Dari penggambaran di atas, sepertinya ada satu hal yang terjadi: kita cenderung tidak nyaman ketika melihat sesuatu yang asing dan belum pernah kita temui/lakukan sebelumnya. Lalu, saat ada banyak orang yang merasa tidak nyaman dengan hal tersebut, menghasilkan penolakan secara luas. Pelanggaran akan berujung pada sanksi. Dalam hal ini, aktivitasnya adalah berciuman. Beda kasusnya dengan perbuatan turis Cina daratan yang boker sembarangan.
Perlu bukti? Silakan lihat gambar di bawah ini. Apa perasaan yang muncul? Risi? Biasa aja? Pengen?
[]
…tapi memang sih, curi-curi ciuman di tempat umum itu rasanya menyenangkan :p