Yep, Anda tak salah dengar; saya berhenti merokok. Hari ini hampir dua minggu saya tidak merokok tembakau. Mungkin terdengar seperti seujung kuku, dua minggu tidak merokok. Tetapi buat saya yang telah merokok selama 21 tahun, dengan break hanya ketika hamil dan menyusui, percayalah kalau dua minggu itu terasa lama.
Alasan saya berhenti cukup sederhana; saya sudah mendaftar di obstacle race awal bulan depan. Dalam rangka itu, saya dan teman-teman yang telah mendaftar juga sempat latihan trail run di Gunung Pancar Sentul. Ketika itu sementara mereka masih bisa berlari dengan santai, saya terengah-engah sulit sekali bernapas. Selain ingin napas lebih panjang, saya juga sebal mendengar anak saya melaporkan kalau dia tidak bisa tidur karena seminggu belakangan saya mengorok.
MENGOROK.
Selama ini saya sering terganggu dengan anggota keluarga yang mengorok karena saya seorang light-sleeper. Saya juga merasa tak mungkin saya mengorok karena akan terbangun karena suaranya. Tetapi ternyata, setelah saya coba googling, perokok yang sudah bertahun-tahun merokok seringnya menjadi pengorok juga. SAYA. PENGOROK. That’s it, I have to quit smoking.
Bagaimana caranya? Berhenti saja, kalkun dingin. Tidak terlalu jauh berpikir, hanya sehari ke depan, setiap hari. Saya enggak mau berpikir apakah minggu depan masih bebas tembakau, apalagi bulan depan. Satu hari saja dulu.
Ternyata setelah dijalani, saya tidak terlalu merasakan ingin merokok yang gimana banget sampai menggigit kuku atau jittery seperti yang saya sering lihat di film-film. Biasanya malah yang mencetus rasa ingin kalau saya melihat tempat-tempat yang biasa saya gunakan buat duduk dan merokok. Atau waktu tertentu yang biasanya jadwal saya merokok. Atau terkadang hati mencelos jika teringat betapa mengasyikkan mengobrol dan bergosip dengan sahabat-sahabat sambil merokok. Lalu kemudian saya sempat hangout dengan mereka, lalu bisa melaluinya tanpa merokok! Yay! Tetapi justru gejala-gejala hilangnya nikotin dari tubuh dalam bentuk fisik dan mental itu yang saya rasakan agak aneh. Sampai saya harus menanyakan ke teman saya yang pernah melaluinya, apakah dia merasakan juga, tetapi dia hanya memandang saya seolah saya gila.
Lalu saya kembali lagi ke Google, dan ternyata saya tidak sendiri dalam merasakan gejala itu. Hanya memang kasusnya tidak terlalu banyak. Termasuk di antaranya, adalah.
- Perut bergas dan jika dibuang lebih aromatik dari biasanya. Hal ini sudah dikonfirmasi dari si anak yang sering menjadi korban.
- Jika banyak orang berhenti merokok melaporkan konstipasi, saya malah jadi kelewat lancar dalam urusan “itu”.
- Malam hari badan suka gatal mendadak di bagian yang sulit digaruk. Punggung misalnya.
- Proses kerja otak jadi lambat sekali. Ini agak mengherankan karena kabarnya nikotin menyebabkan oksigen tidak lancar aliran ke otak, dan dengan berhenti merokok harusnya otak dipenuhi oksigen yang segar, sehingga jadi mendadak cerdas dong ya
- Beberapa hari pertama: sakit kepala. Ini juga kabarnya dengan alasan sama dengan yang saya ungkapkan di atas.
- Setelah berolahraga suka merasa berkunang-kunang seperti akan pingsan, tetapi tidak. Sampai pingsan juga.
Sebagian dari gejala ini masih saya rasakan hingga sekarang, dan kabarnya dari tulisan yang saya baca, akan hilang dalam waktu 8 sampai 12 minggu. Masih lama sekali ya. Tapi saya cukup tabah, karena manfaatnya pun mulai terasa. Laporan dari anak mengatakan saya tak lagi mengorok. Lalu ketika saya lari, kaki lebih cenderung menyerah dulu dibandingkan nafas. So yeah, wismilak (no pun intended, karena rokok saya tadinya bukan itu).
Lagu ini saya persembahkan ke sebatang rokok yang pergi begitu cepat dan meninggalkan saya dengan keperihan yang dalam.
Catatan kaki: semua gambar diambil dari tumblr saya dan sahabat saya dulu sekali. Saya hanya bertahan beberapa bulan turut menyumbang, sementara sahabat saya meneruskan hingga dua tahun. Feast your eyes here: Thank you for Smoking.