VIDEO bertajuk Gema Pembebasan UI bikin ribut jagat maya pekan ini. Berupa rekaman amatir yang dibubuhi tanda air di pojok kanan bawah, dan menampilkan Boby Febry Sedianto berorasi dengan banyak gerakan canggung.
Banyak hal yang diributkan dari video ini, baik secara konteksual maupun lainnya. Mulai dari pesan dan seruan Boby untuk menolak Ahok atas dasar dalil agama, latar belakang organisasi yang diwakili oleh Boby (diasumsikan dari watermark), penggunaan atribut kampus yang dinilai tidak etis, sampai cara Boby berbicara, kamera yang goyang sana sini, dan kualitas unggahan.
Setelah video ini menjadi viral dan membuat Boby harus merilis surat permohonan maaf resmi bermaterai, keributan masih berlanjut, bahkan meluas. Kali ini tentang gelombang radikalisme di kampus; lingkungan akademik yang seharusnya dipenuhi dengan diskusi, argumentasi, dan ekspresi kognitif secara bertanggung jawab. Pasalnya, kelar urusan Boby, muncul beragam video serupa di berbagai universitas Jakarta. Salah satunya seperti yang di-retweet dalam timeline saya hari ini.
…
Evelyn Beatrice Hall terkenal dengan ungkapan:
I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it.
Yaudahsik… Biar saja para mahasiswa tersebut tetap melakukan apa yang ingin mereka lakukan, asal bukan melakukan apa yang diinstruksikan/dipaksakan kepada mereka. Anggap saja mereka sedang learning by doing, dan memang merupakan hak personal mereka untuk tampil seperti ini. Mana tahu kalau sudah gedean dikit nanti, pengalaman ini jadi salah satu embarrassing moment seperti yang dimiliki semua orang dari masa lalunya.
Kalau dipikir-pikir, mereka sama saja seperti Awkarin yang menggunakan media audiovisual untuk menarik perhatian orang lain sebanyak-banyaknya. Sama-sama ada yang memuji, dan ada yang mencaci.
Bedanya, Awkarin utilizes her daily life as an asset. Dia sudah sangat kreatif dalam mengemas kehidupannya sedemikian rupa untuk bisa dinikmati publik. Sedangkan para mahasiswa di atas baru merasa “berperan dalam sesuatu yang besar” lewat transfer dan infiltrasi doktrin-doktrin organisasi yang menjamah mereka. Entah seperti apa cara dan metodenya, kemungkinan besar para mahasiswa simpatisan tersebut mudah dibuat terperangah dengan pesan-pesan yang disampaikan.
Tak menutup kemungkinan, setelah ini bakal ada lebih banyak lagi video-video serupa dari berbagai kota di Indonesia, lantaran makin banyak mahasiswa yang berpikir: “keren juga ya kalau bisa begitu.”
Toh dalam banyak kasus, pola pikir yang seperti ini bukan ujuk-ujuk muncul setelah mereka jadi mahasiswa. Melainkan ditumbuhkan lebih awal, bahkan sejak dari rumah dan di lingkungan sekolah menengah. Banyak orang menjadi rentan berpikiran sempit dan picik karena pengaruh lingkungan, terlebih untuk hal-hal yang berbau keagamaan. Pokoknya, semua hal yang (terkesan) sejalan dengan ajaran agama, sudah pasti bagus. Begitupun sebaliknya. Semua dipukul rata.
Contohnya seperti kejadian yang saya alami saat jadi anak Mading di SMA.
Saat itu bulan Oktober, dan edisi Mading bertema Halloween. Sebagai ornamen utama, ada pentagram atau bintang lima sudut dengan garis tepi saling memilin, dibingkai dengan dua lapis lingkaran. Ornamen tersebut dibuat dengan karton hitam, serta spidol warna perak dan emas. Bagian lingkaran dihiasi tulisan aksara Rune, yang sengaja dipilih karena film dan novel “The Lord of The Rings” sedang menjadi tren.
Belum genap 24 jam Mading naik tayang, anak-anak kelas 3 mendatangi kelas dan mengarak saya (dan beberapa tim Mading) lainnya untuk turun ke lapangan tengah, tepat di depan masjid sekolah. Di sana, mereka menuntut agar seluruh isi papan Mading diturunkan.
(kurang lebih seperti ini)
Dia: “Kami meminta agar Mading diturunkan!“
Saya: “Ini ada apa?“
“Kami enggak terima ada gambar-gambar Satanis, berhubungan dengan setan ada di sekolah ini… yang bentuknya bintang terbalik, ada tulisan-tulisan penyihir!*“
“Tanya-tanya dulu lah. Kok tahu-tahunya itu Satanis?“
“Pokoknya kami minta itu diturunkan, atau kami yang akan turunkan sendiri!“
“Ya klarifikasi dulu. Itu bukan Satanis, itu kita gambar-gambar sendiri kok.“
Kakak kelas lain: “Halah! Apa itu klarifikasi… klarifikasi…? Ga ngerti! Udah hajar ajaaa… Banyak bacot!“
Mbatin: “oh, ga paham arti kata klarifikasi…“
Para kakak kelas itu adalah anggota Rohis. Kebetulan.
Waktu masih SMA saja sudah begini, sepertinya wajar apabila saat jadi mahasiswa bisa tambah parah.
[]
*) Tulisan Rune: “besok enaknya makan apa ya”
sebagian orang yang ikut komentar pada video itu khawatir gerakan radikal makin besar, kalau Koh Gono sendiri gimana? menurut Koh Gono akankah gerakan itu besar dan beneran nanti bisa kudeta? 🙂
SukaSuka
Saya enggak berani sok menganalisis, tapi selama mahasiswa itu masih merasa perlu membayar SPP, masih perlu menghargai orang tuanya, masih perlu segera lulus untuk bekerja, pasti masih ada faktor perlambatannya.
Kalau khawatir gerakan radikal makin besar, sebaiknya setiap orang diajarkan cara berpikir dengan nalar positif sejak kecil. Biar tahu-tahu enggak jadi begitu setelah besar.
SukaSuka
basically saya setuju sama tulisan Koh Gono, soalnya saya pun dulu kayak mahasiswa-mahasiswa itu. Kalau sekarang flashback atau liat mereka, dalam hati bilang, “yeah, been there, done that.” 🙂
nice writing, koh. 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Ya begitulah, setiap orang bakal punya momen facepalm pada waktunya. Hehehe…
Terima kasih ya.
SukaSuka