catatan redaksi linimasa:
Juru Baca adalah akun yang digunakan oleh Hasan Aspahani. Jika tak ada aral melintang setiap dua pekan Hasan Aspahani akan mengisi linimasa Selasa bergantian dengan Agun Wiriadisasra.
—
TERHUBUNGKAN dengan kawan-kawan SMA dalam grup Whatsapp itu membahagiakan. Bisa berbagai kisah konyol dari masa-masa sekolah yang seakan tak pernah habis. Bisa ikut bahagia bagi teman yang naik jabatan. Bisa kasih atau diberi ucapan selamat atas satu pencapaian. Kirim doa untuk kawan yang naik haji. Oke, oke, kadang memang menyebalkan juga karena harus menerima meme, joke, atau postingan berantai yang sama dengan berbagai grup lain. Juga guyonan daur ulang dengan cap baru bernama Mukidi.
Kami tinggal terpisah di berbagai kota tapi sebagian besar menetap di Balikpapan, kota SMA kami. Kawan-kawan kami yang satu kota saya kira lebih banyak memetik bahagia dengan keterhubungan itu. Mereka bisa atur waktu piknik ke Pulau Derawan, berkemah di Pantai Lamaru, bertakziah ke kawan yang kemalangan, atau membezuk ke rumah sakit.
Terakhir kali, bulan lalu, mereka tur bareng ke Banjarmasin, main ke pasar terapung, menyinggahi kawan yang bekerja di cabang sebuah bank, dan yang membuka praktek dokter di sana. Saya dan kawan-kawan di luar Balikpapan hanya bisa mengirim jempol atau berkomentar ini-itu. Kawan-kawan yang berbahagia. Jenaka seperti sedia kala.
Grup Whatsapp ini terbentuk tahun lalu. Tepat ketika 25 tahun – ya saya sudah seberumur itu – kami meninggalkan SMA. Ada reuni perak yang juga tak bisa saya hadiri. Bertemu dengan guru-guru yang sudah di ambang masa pensiun.
Menengok ke masa 25 tahun lalu itu, saya kini bisa menyimpulkan itulah plotpoint pertama dalam hidup saya, dan kawan-kawan saya, dan mungkin juga siapa saja yang hidup di negeri ini. Negara ini masuk ke wilayah pribadi warganya lewat aturan – yang kadang-kadang diurus dengan tak becus – jenjang pendidikan. Wajib belajar namanya.
Oh ya, plotpoint adalah istilah dalam penulisan skenario berbasis 8 sekuens. Syd Field menegaskannya ketiga menguraikan struktur tiga babak.
Penulis skenario mula-mula akan menetapkan tiga babak cerita yang masing-masing babak itu digerakkan oleh satu plotpoint. Plotpoint itu seperti pengungkit yang membuat cerita bergerak. Lulus SMA adalah plotpoint I dalam perjalanan hidup saya. Tepatnya adalah: lulus dan saya menerima undangan kuliah gratis di Jawa. Lalu cerita hidup saya kemudian bergerak ke berbagai arah dan menyampaikan saya pada tempat yang tak pernah saya bayangkan.
Jika film cerita dengan delapan sekuens berdurasi maksimal dua jam memerlukan dua plotpoint, maka dalam hidup manusia tentu saja bisa ada banyak plotpoint-plotpoint yang membawa saya ke sekuens berikutnya dari kehidupan. Lulus kuliah, menikah, punya anak pertama, menerbitkan buku pertama, pindah kota mengikuti pekerjaan…
Kesadaran ini membantu saya memahami dan mengikuti pertumbuhan dua anak saya. Putri sulung saya kini di tahun akhir SMA, sudah memutuskan memilih akuntansi ketimbang psikologi. Si bungsu kelas dua SMP yang baru saja berganti ekstrakurikuler dari sepakbola ke tenis meja, ikut seleksi pengurus OSIS dan terpilih menjadi anggota seksi Kerohanian. Pada hari Jumat ia kerap jadi muazin di sekolah masjidnya.
Ada kesenjangan antara saya yang lulus SMA 25 tahun lalu dengan anak-anak saya.
Generasi native digital ini tak bisa lepas dari gawai, juga ketika hadir di meja makan. Generasi yang 24 jam terhubung dengan internet. Anak-anak yang risau ketika sambungan internet bermasalah dan tak peduli ketika koran telat diantar.
Sejauh ini saya dan istri saya bisa berdamai dengan anak-anak kami generasi digital ini meskipun misalnya si sulung itu tak punya kesadaran untuk sekadar menyisihkan piring kotor bekas makan sendiri dari meja. Bicara dengan istilah-istilah singkat yang tak langsung kami fahami: putab (untuk seragam putih abu-abu), bindo (untuk pelajaran Bahasa Indonesia)…
Saya bisa berdamai dengan mengingatkan diri sendiri bahwa ini adalah sekuens kehidupan dan anak-anak saya akan menemukan plotpointnya sendiri dan saya tak ingin dan tak bisa punya peran banyak di situ.
Saya tak tahu bagaimana kelak anak saya mengenang masa-masa SMA-nya sekarang kelak 25 tahun kemudian. Bagaimana mereka mengingat pentas musikal mereka di Tejak (saya harus bertanya apa itu yang ternyata adalah Teater Jakarta di Komplek TIM, Cikini), dan bagaimana mereka memproduksi helat musik besar yang mendatangkan Kahitna, Tulus, Gigi…. Dulu, saya dan kawan-kawan SMA saya sudah bangga banget bisa bikin pentas bersama tujuh SMA di Balikpapan dan diberitakan oleh Majalah Hai.
Ada beberapa rancangan hidup yang saya dan istri saya harapkan akan menjadi plotpoint lain bagi kami. Kami mungkin tak lagi terlalu berani bertaruh dengan keputusan-keputusan besar. Tapi ada hal-hal terjangkau, hal-hal kecil yang bisa kami putuskan yang kami harapkan akan membawa serangkaian perubahan penting dan berterusan. Terima kasih untuk Malcolm Gladwell yang meyakinkan saya dalam hal ini lewat bukunya Tipping Point.
Kami tak ingin hidup kami mandek.
Kami butuh plotpoint lain yang terus menggerakkan kehidupan kami.
[]
Wah, Hasan Aspahani, asyik.
Om Roy, salam untuk Om Has ^^
*nunggu puisinya Om Has
SukaSuka
Hai Ria,
bukannya kamu bisa langsung colek di akun twitter dia di @jurubaca 🙂
SukaSuka
Oh, siap Om, aku baru tau akunnya, waktu itu ngilang akun twitternya.. Makasih Om Roy 😊
SukaSuka
cama-cama
SukaSuka
semoga saja salah satu plotpoint lain adalah menjadi kontributor linimasa. :))
SukaSuka