Mataku Untukku Matamu Untukmu

Pameran lukisan dan karya seni, sepertinya selamanya akan membuat sebagian orang mengernyitkan dahinya. Seperti perbincangan Mili dan Maura di film Ada Apa dengan Cinta 2 berikut

Mili: Ini tuh apa ya maksudnya? Idenya tuh apa ya Maur?

Maura: Munduran dikit, munduran dikit… Pasti tau apa. Iya, sini. Nah segini nih…

Mili: Gue masih gak paham sih.

Maura: Aduh Mil… Masak gini aja gak tau sih? Ini tuh seni instalasi loh. Seni… Mau dikasih tau berapa kali, juga gak bakalan ngerti.

Leo Tolstoy dalam bukunya What is Art? mengatakan “Seni memang sulit untuk dijelaskan. Apalagi definisi karya seni yang baik, karya seni yang berguna, atau karya seni sebagai persembahan ke Kuil.” Seni pun kemudian masuk ke dalam kotak hitam misteri. Dan kemudian para pencinta seni sering dianggap sebagi makhluk yang lebih tinggi kastanya karena “bisa memahami” makna seni. Seni kemudian dianggap hanya bisa dipahami oleh kaum ningrat, cendekiawan, terpelajar. Dalam perkembangannya, kaum proletar pun kemudian menciptakan karya seninya sendiri. Makanya kita mengenal ada tarian keraton, dan ada tarian rakyat. Musik orkestra dan dangdut. Lukisan kanvas dan mural. Keduanya terus tumbuh dan berkembang sehingga menjadi klasik. Adalah kesalahan besar kalau mengaitkan kata klasik hanya untuk karya seni kalangan atas. Karena klasik sebenarnya lebih berkaitan dengan urusan waktu yang kekal bukan kasta. Soal kualitas bukan derajat. Dangdut adalah karya seni klasik Indonesia. Atau Batik menurut saya lebih cocok disebut karya klasik Indonesia ketimbang tradisional apalagi etnik.

Pertengahan abad 20, lahirlah budaya pop yang dimulai dari generasi muda di Barat. Kemudian mendunia di akhir abad 20. Budaya yang awalnya dikaitkan erat dengan budaya konsumtif, tak terpelajar, sensasional belaka dan superfisial ini terus tumbuh berkembang dan sekarang memiliki anak budayanya sendiri. Walau bagi banyak pihak masih banyak yang tak sudi menganggapnya sebagai budaya apalagi seni. Tapi ternyata tekanan ini malah membuat budaya pop semakin banyak peminat. Seperti letupan kembang api tak berkesudahan, budaya pop datang dan pergi. Pertanyaan “sampai kapan akan bertahan?” tak berlaku bagi budaya pop. Karena memang tidak diciptakan untuk bertahan lama. Tapi masih sulit untuk didefinisikan seperti itu mengingat usianya yang masih terbilang muda. Ada banyak icon budaya pop yang agak-agaknya akan menjadi klasik.

Karena seni yang baik itu sulit didefinisikan, maka sering kita mendengar seni itu subyektif. Tergantung siapa yang melihatnya. Dan karya seni yang populer di dunia sering dituduh sebagai hasil olahan para petinggi dunia untuk kepentingan politis. Karena subyektif, izinkan saya untuk memiliki definisi saya sendiri. Apa yang pertama kali saya lihat ketika melihat sebuah karya seni.

1. IMPRESI PERTAMA

Perasaan apakah yang saya rasakan pertama kali melihatnya. Senang, cemas, gelisah, takut bahkan jijik dan sebagainya. Ini menjadi penentu apakah saya ingin melihat lebih lama dan masuk lebih dalam. Bisa karena obyeknya, warnanya, tarikannya, atau ekspresi yang dihadirkan.

2. PESAN

Banyak yang bilang karena latar belakang saya adalah dunia grafis dan periklanan, pesan menjadi hal yang penting. Padahal tak selamanya karya seni harus memiliki pesan. Saya suka karya yang menyampaikan pemikiran dan pandangan kreatornya dengan jelas. Apalagi kalau pesannya bisa relevan dengan hidup saya saat ini. Pesannya tak harus sejalan, bahkan bisa berseberangan. Tapi melihat karya tanpa pesan, membuat saya jadi merasa hampa saat melihatnya.

3. RELEVAN

Saya suka dengan karya-karya yang tak hanya relevan dengan kehidupan saya pribadi tapi juga dengan kondisi negara dan dunia saat ini. Karya seni masa lalu yang sudah dikategorikan klasik, bisa saya kagumi tapi tak langsung berarti saya sukai.

4. DETAIL

Mungkin karena saya penyuka batik, saya juga suka lukisan yang detailnya mengagumkan. Terkadang ada karya yang hanya karena detailnya bagus, maka saya langsung menyukainya. Bisa jadi karena terbayang dedikasi yang diberikan penciptanya sehingga saya langsung memberikan apresiasi.

Ada dua pameran lukisan yang saya hadiri, Popcon Asia 2016 dan Bazaar Art 2016. Yang Popcon lebih ke budaya pop tadi. Sementara yang BazaarArt lebih ke berbagai aliran dari berbagai galeri di dalam dan luar negeri. Lukisan yang saya sukai selalu saya upload di Instagram, walau tanpa menuliskan alasan. Hanya judul, nama pelukis, tahun dan mediumnya saja. Bukan karena tidak sempat, tapi lebih karena malas. Tapi tidak sekarang. Dengan 4 syarat karya seni yang saya sukai di atas, berikut adalah lukisan yang saya sukai.

1. Pop Will Eat Itself Pop Will Eat Us All  – Indieguerillas | 2008, Acrylic on Canvas, 145 x 200 cm.

2016-08-14 15.10.42

2. Ironman Hulk Buster VS Arjuna – R. Sumantri MS | 2016, Oil on Canvas, 200 x 300 cm.

2016-08-26 20.03.27

3. The Guardian – Andi Wahono | 2008, Acrylic on Canvas, 140 x 180 cm.2016-08-14 15.13.48

Saya menyukai dua lukisan ini karena saya bisa merasakan dan berempati kepada kedua pihak. Yang menyerang dan yang melawan. Seperti kehidupan sehari-hari saya yang sering dipaksa menyeimbangkan antara masa depan dan masa lalu. Kenangan analog dan digital. Barat dan Timur. Tradisi dan Inovasi. Dan benturan-benturan sehari-hari yang saya hadapi di kehidupan saya. Antara keyakinan dan kekhawatiran. Keberanian dan ketakukan. Tekad dan keragu-raguan.

4. Favourite Place: Girl with Blue Dress – Hiroshi Mori | 2015, Acrylic on Canvas, 91 x 91 cm.

2016-08-14 15.20.14

5. A Pot of Male Onsen Named Da Tong – HUA Chien-Chiang | 2015, Acrylic on Canvas, 112 x 145,5 cm.

2016-08-26 20.17.17

Kedua lukisan ini menonjolkan skill dan detail yang luar biasa indahnya. Dalam sekali melihatnya saja bisa membuat saya terpaku lama. Melihat kedua karya ini langsung membuat saya merasakan kerja keras pelukisnya untuk menghasilkan lukisan ini. Waktu dan dedikasi yang dicurahkan. Dan yang terpenting adalah fantasi pelukisnya yang telah dibagikan kepada yang melihatnya. Lukisan seperti ini tak langsung berarti harus dimiliki, tapi bisa melihatnya langsung pun sudah memberikan kebahagiaan selamanya untuk saya.

6. Hi Guys… Tease Me Please – Iroel | 2016, COLOR PENCIL on Canvas, 190 x 250 cm.

2016-08-26 17.03.33

Tak hanya karena detail yang terbuat dari pensil warna di lukisan sebesar ini yang membuat saya kagum, tapi juga karena lukisan ini menyiratkan banyak tanda tanya dan interpretasi. Yang pertama terlintas adalah soal pria bule yang suka berbohong sedang menggoda perempuan Indonesia. Atau soal budaya asing yang dianggap sedang berusaha mengelabui budaya klasik kita. Atau… kalau melihat dari judulnya, jangan-jangan ini soal perempuan kita yang diam-diam kepincut dengan barat walau sudah tahu pembohong. Minta digoda. Tapi tetap dengan posisi anggun karena hipokrit dan jaim.

6. Smile Target – I Nyoman Masriadi | 2014, Acrylic on Canvas, 200 x 150 cm.

2016-08-26 20.38.37

Ini adalah salah satu lukisan yang saya tidak bisa menjelaskan mengapa saya menyukainya. Kalau pun dipaksa kemungkinan besar karena misteri yang dipancarkannya. Saya tidak paham maksudnya tapi sepertinya saya paham. Saya merasa dekat namun juga berjarak dengan obyeknya. Saya bingung apakah saya sedang meledek atau diledek oleh lukisan ini. Apa pun itu, ini adalah salah satu lukisan yang ditaksir bernilai US$ 194,000 – 323,000 oleh rumah pelelangan Sotheby’s.

Saya bukan kolektor lukisan. Saya belum mampu. Karenanya banyak nama-nama pelukis asing yang baru saya ketahui saat menghadiri pameran. Internet memudahkan saya untuk kemudian mencari tahu lebih banyak soal pelukis dan karyanya. Salah satunya adalah Hiroshi Mori yang secara mengejutkan dan menggembirakan membalas tweet pujian yang saya berikan padanya! Tak hanya itu, dia pun kemudian mengfollow akun Twitter saya. Artinya, komunikasi langsung dengannya sedikit terbuka.

Ada banyak keseruan yang bisa didapatkan dari menghadiri pameran lukisan. Dan sepertinya semakin ke sini, pameran lukisan tak lagi asing. Terutamanya bagi para pencinta selfie. Beberapa lukisan dianggap sebagai latar yang baik untuk selfie. Salah? Ah tidak juga. Setidaknya ini bisa menjadi jembatan yang menghubungkan manusia dengan karya seni. Menimbulkan minat bagi generasi terkini. Ini penting untuk terus menerus diupayakan karena karya seni tanpa penikmat adalah mati.

Di saat yang bersamaan, pelukis juga tak lagi diproyeksikan sebagai pemimpi idealis yang jauh dari keduniawian. “We don’t make arts, we make money” sepertinya menjadi semangat kekinian dunia seni. Ini penting. Kalau tidak, siapa yang ingin jadi pelukis, perupa, seniman kalau terlalu diproyeksikan sebagai “orang susah”. Semua bidang perlu regenerasi.

Belakangan ada istilah Artfordable, yang menghadirkan lukisan-lukisan dengan harga yang lebih terjangkau. Untuk para kolektor pemula atau young executives yang tinggal di apartemen di tengah kota. BazaarArt 2016 menghadirkan pojokan menarik yang menawarkan lukisan-lukisan berukuran kecil dari beberapa pelukis yang sudah memiliki nama besar seperti Hendra Hehe. Atau Gudang Gambar yang menghadirkan Wenas Heriyanto. Lukisan-lukisan binatang yang ekspresif ini bisa untuk apartemen berukuran dua kamar sampai rumah di kompleks perumahan. Selain itu juga bisa menjadi bentuk investasi bagi pemula.

2016-08-26 20.19.30

Belum memiliki rumah atau dana untuk berinvestasi lukisan tapi senang dengan karya-karya pelukis? Belakangan semakin banyak yang menjual “wearable art” dengan harga pasaran yang terjangkau. Salah satunya adalah Eko Nugroho yang memang memiliki “distro” bernama Daging Tumbuh. Jauh sebelum namanya mendunia dengan Louis Vuitton.

2016-08-27 10.21.15

Jadi segera kunjungi BazaarArt2016 di Pacific Place. Hari ini, 28 Agustus 2016 adalah hari terakhir. Gratis. Setidaknya, bisa selfie dengan latar karya seni. Tak perlu khawatir menjadi Mili. Semua berhak untuk sok tau soal seni seperti Maura. Karena bukan tak mungkin, bahkan pelukisnya sendiri tak paham akan karyanya sendiri. Kisah nyata dalam sebuah konperensi pers, seorang wartawan bertanya kepada pelukisnya, mengapa kali ini banyak menggunakan warna hitam? Apakah berhubungan dengan misteri? Atau ingin menyampaikan soal kelamnya dunia? Pelukis ini menjawab dengan tenang “istri saya terlalu banyak membeli cat berwarna hitam dan toko tak mau menerima barangnya dikembalikan”. Kisah nyata berikutnya, di sebuah acara Q&A setelah pemutaran perdana. Ada satu bagian di mana kamera menyorot gunung dari telaga dan tak bergerak sama sekali selama lebih dari 30 detik. Semua pun menerka ada alasan filosofis dan mendalam. Sutradara menjawab “karena kalau kamera saya geser ke kiri, ada bangunan yang rusak. Dan kalau saya geser ke kanan ada pohon besar yang baru ditebang”

Processed with VSCO with c1 preset

 

 

 

 

 

 

 

4 respons untuk ‘Mataku Untukku Matamu Untukmu

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s