Dalam satu diskusi, Anisa muridku keberatan atas laporan yang ditulis Barnabas. Bunyinya:
“Madri mengadu pada Ibunya kalau kemaluannya sakit. Si Ibu pikir cuma gatal atau ruam biasa. Kemaluan Madri lalu diberi salep. Tapi, hari-hari berikutnya Madri mengeluhkan sakit kemaluan yang sama…”
Ia bersikeras bahwa kata “kemaluan” itu merendahkan. Organ reproduksi yang dimiliki setiap orang adalah anugerah. Menjadikannya satu benda yang memalukan sama dengan mendegradasi fungsi maupun berkah yang diberi tuhan.
Ada benarnya. Lagipula, kemaluan, meski jarang banget dipakai, juga bisa berarti mendapat malu. Seperti berikut:
“Via harus segera dinikahkan dengan Ahmad, supaya keluarga tidak kemaluan.”
Ia ndak melulu organ reproduksi. Terlebih kalau kita kembalikan pada kata dasarnya, malu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Malu adalah merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya). Jauh dari organ tubuh yang satu itu.
Anisa bilang jujur aja. Kenapa harus ditutup-tutupi? Kenapa harus malu? Barnabas terinspirasi. Meski ada kata ganti lain seperti kelamin, genitalia, atau organ reproduksi. Barnabas merevisi tulisannya jadi:
“Madri mengadu pada Ibunya kalau kontolnya sakit. Si Ibu pikir cuma gatal atau ruam biasa. Kontol Madri lalu diberi salep. Tapi, hari-hari berikutnya Madri mengeluhkan sakit kontol yang sama…“
HAHAHAAHHAHAHAHA
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
Bahahahahahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
HAHAHA!
Barnabas o Barnabas.
SukaDisukai oleh 1 orang