How Do You Keep The Music Playing, and How Do You Carry On Living?

Salah satu adegan awal film yang menarik buat saya ada di film musikal Evita. Film ini dibuka dengan suasana di dalam bioskop di sebuah kota di Argentina tahun 1952. Tiba-tiba film dihentikan. Ramai orang gaduh.

Lalu pemilik bioskop berdiri di tengah layar untuk memberitahukan bahwa ibu negara mereka, Evita Peron, baru saja meninggal dunia pada pukul 8:25 malam. Sontak penonton di bioskop itu menangis. Film tidak dilanjutkan.

Di adegan berikutnya, kita melihat sekumpulan pasangan berdansa sambil menangis. Mereka berusaha melupakan kesedihan mereka dengan memeluk satu sama lain, dan mengikuti alunan nada yang mereka dengar.

Konon sejarah menyebutkan, kematian Evita Peron membuat kota Buenos Aires nyaris lumpuh. Masyarakat berduka selama berhari-hari. Beberapa orang tewas saat banyak yang berkerumun untuk ikut mengantarkan jasad Evita ke liang lahat. Ada yang menari tango selama berjam-jam, untuk sekedar melupakan lara.

Evita
Evita

Saya teringat kembali oleh film tersebut sejak beberapa hari yang lalu. Pemicunya adalah sebuah kabar yang menyatakan bahwa seorang teman lama saya meninggal dunia di akhir pekan kemarin. Kabar yang membuat saya sangat kaget. Kepergiannya terasa mendadak, karena saya tidak pernah mendengar dia sakit atau dalam perawatan apapun. Sudah lama kami tidak bersua, atau sekedar ngobrol lewat aplikasi manapun.

Namun yang membuat saya heran dengan diri sendiri, sepanjang malam sampai pagi keesokan harinya, saya tidak berhenti menangis. Semakin sedih karena di saat menangis itu saya sadar akan ungkapan ini:

“We never really know how much a person means to us until the person has left us for good”

Sadar bahwa kesedihan ini tidak boleh berlarut-larut, saya memutuskan untuk bertemu dengan teman lain, agar tidak menghabiskan malam hari sendiri lagi.
Saya katakan terus terang, bahwa saya ingin mengajaknya bertemu, karena saya tidak mau sendiri saat berduka seperti ini.

Lalu teman saya bertanya:

“Apa yang membuat elo sedih? Apa karena kalian tidak pernah menjadi lebih dari sekedar teman?”

Dengan cepat saya menjawab:

“Nggak. Kayaknya memang we were good as we were, being good friends. Toh gue dan dia masih sering kerja bareng, diskusi bareng, ngobrol lama, yang mungkin kalau we ended up being more than just friends, malah gak akan terjadi hal-hal seperti itu.”

“Oke. Trus, kalau gue boleh tau, apa yang membuat elo sedih banget malam ini?”

Saya terdiam cukup lama, sambil memandangi dan memainkan jari di atas cangkir teh yang mulai dingin.

Dengan helaan nafas cukup dalam, akhirnya saya berkata:

“Sedih, karena berkurang lagi seseorang yang bisa saya ucapkan “happy birthday!”, atau “selamat Lebaran” setiap tahunnya. Sedih, karena berkurang lagi seseorang yang mengucapkan hal yang sama ke saya. Sedih, karena kehilangan teman dekat di usia di mana mencari, atau menjalin pertemanan itu, sudah tidak semudah dulu. Sedih, karena berkurang lagi seseorang yang saya bisa share small, silly moments, light, unimportant jokes with. Sedih, karena semua hal itu.”

Teman saya mengangguk pelan. Sesaat kami terdiam.
Dalam diam itu, ingatan saya melayang sejenak ke adegan di film The Normal Heart. Sebuah adegan tanpa kata, di mana Jim Parsons cuma bisa diam dan merobek sebuah kartu nama di daftar telepon, pertanda bahwa another friend has gone for good.

The Normal Heart
The Normal Heart

Perlahan kesedihan saya mulai berkurang saat bercerita, sebelum akhirnya kami berpisah karena hari sudah semakin malam.
Di rumah, saya melihat lagi episode lama serial “Glee”, saat tokoh-tokoh di serial itu sedang dirundung duka atas kematian Finn.

Ada satu dialog dari karakter Carole, ibu Finn, yang membuat saya tersadar:

“How do parents go on when they lose a child? You know, when I would see that stuff on the news, I’d shut it off because it was just too horrible to think, but I would always think, ‘How do they wake up every day?’ I mean, how do they breathe, honey? But you do wake up, and for just a second, you forget. And then, oh, you remember. And it’s like getting that call again and again, every time. You don’t get to stop waking up. You have to keep on being a parent even though you don’t get to have a child anymore.”

Parents. Friends. Status-status yang kita pilih atas kesadaran kita. Kita bisa berhenti dan melepas status itu atas kesadaran kita. Kita bisa memilih untuk melanjutkan status itu atas kesadaran kita juga.

So I guess once you befriend someone for good, you will always be one.

And that’s how we keep on living.

4 respons untuk ‘How Do You Keep The Music Playing, and How Do You Carry On Living?

  1. Waktu pertama kali baca ini, saya rasanya sedih sekali terutama ketika orang-orang menari untuk menghilangkan rasa sedihnya, lalu saya merasa sedih ketika Jim Parsons merobek kartu nama, lalu saya membaca kutipan dari serial Glee ketika Finn meninggal, dan saya berpikir kenapa saya sedih?

    Orang meninggal atau pergi akan selalu ada, tidak pernah ada yang kekal, meskipun itu status. Kalau anda bisa menghitung hari menuju kematian sendiri, akankah anda merasa sedih? Suatu saat, cepat atau lambat, setelah kematian ataupun sebelumnya, semua, baik atau buruk, akan terlupakan, sepertiga, separuh, hampir seluruhnya, lalu sama sekali, meskipun kita memilih untuk mengenang.

    Lupa dan melupakan adalah sebuah anugrah

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s