Cerita dari Masa SMA

ENTAH siapa dan dari SMA mana yang pertama kali mengemukakannya, ada anggapan bahwa sejumlah kegiatan ekstrakurikuler bisa membuat anggotanya jauh lebih keren ketimbang yang lain.

Di SMAN 1 Samarinda, misalnya. Dulu, anak-anak basket, anak-anak band, anak-anak Passus (Paskibra), termasuk anak-anak OSIS–meskipun bukan sebuah kegiatan ekstrakurikuler, terkesan bergaya, atau merasa pantas punya gaya. Mereka lebih keren dibanding, katakanlah, anak-anak Mading, anak-anak PMR, anak-anak Padus, anak-anak Critical Thinking/English Debate Club, dan lainnya. Sedangkan anak-anak Olimpiade Sains yang rata-rata berkacamata, anak-anak Rohis dan Mentoring, anak-anak futsal dan sepak bola lapangan menjadi semacam kelompok yang berada di luar dikotomi “keren-tidak keren” tersebut. Tidak terjangkau, dan tidak peduli.

Enggak tahu sih kalau sekarang, apakah anggapan-anggapan seperti itu sudah hilang dan tergantikan, atau tetap bertahan dan kian menjadi-jadi, membuat para remaja tanggung di pengujung masa puber mulai bergaul dengan egonya sendiri lewat sudut pandang tertentu.

Apa pun aktivitas yang dipilih seseorang, pada dasarnya memiliki peluang sama besar untuk membesarkan ego. Sebab, tidak ada satu pun kegiatan ekstrakurikuler yang sepenuhnya bebas dari suasana kompetisi dan kesempatan unjuk diri. Dalam hal ini, baik kemenangan maupun elu puja-puji sama-sama bikin kecanduan. Ilusi yang terus dibawa ke sana kemari, seolah-olah seperti pendekar yang berkeliling adu tanding.

Sebagai seorang anggota Critical Thinking/English Debate Club, saya sendiri dulunya sangat gemar berdebat. Tidak hanya terkait kegiatan ekstrakurikuler seperti saat latihan mingguan, persiapan lomba, maupun ketika bertanding, melainkan berdebat untuk hampir semua hal. Termasuk soal agama (menjadi semacam takfiri bagi sesama Buddhis beda mazhab), hal-hal yang tidak perlu, dan cenderung tak berfaedah. Pokoknya, yang penting harus (berasa) menang. Dan bodohnya lagi, saya malah merasa bangga dengan itu tanpa memikirkan bagaimana perasaan orang lain setelah diberondong segudang argumentasi.

Sampai akhirnya rasa kecewa terbesar muncul akibat kalah dalam penampilan terakhir, sebelum naik kelas 3 dan harus fokus menghadapi UAN. Rasa kecewa yang bikin putus asa, sekaligus bikin mikir mengenai apa yang sudah dilakukan selama ini.

Blessing in disguise. Beranjak dari kekecewaan tersebut, akhirnya sadar bahwa debat adalah salah satu bentuk komunikasi yang buruk di luar konteks pertandingan. Pasalnya, tidak ada yang peduli dengan tata cara berdebat dalam kehidupan nyata, yang penting menang. Lebih sering jadi debat kusir yang entah di mana kudanya.

Selain itu, inti pesan yang penting pun ditolak lantaran disampaikan dengan penuh tekanan dalam perdebatan. Tujuan komunikasi tidak tercapai.

Dari semua itu, pengalaman sebagai anggota ekstrakurikuler Critical Thinking/English Debate Club tersebut mengajarkan: “Bukan kemenangannya yang penting, melainkan sikap kritis, proses berpikir logis, dan kemampuan untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang.

IMG_8086

[]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s