Path punya fitur baru. Mirip Facebook. Membongkar memori lama dan menunjukkannya pada pemilik akun. Fitur ini mengingatkanku kalau empat tahun lalu, aku punya kolom mingguan bernama MALE WHORE UPDATE. Kegiatan memesan pelacur laki-laki, ngobrol sama mereka, berhubungan sex, foto-foto dan aku update ke Path. Ya, hampir tiap minggu.
Disclaimer: pake kondom dan sumpah demi alam semesta, aku HIV negatif.
Aku ceritakan rangkumannya ya…

Jalan pertama menghubungi pelacur ini dibuka oleh Glenn Marsalim, penulis Linimasa Minggu yang terhormat, dengan alasan lebih aman ketimbang suami orang. Banyak drama. Dulu masih ada BBM, jadi Glenn share pin lonte-lonte yang bisa aku booking. Lama kelamaan, aku ndak butuh Glenn untuk mendapatkan kontak yang baru. Mereka juga saling berbagi kontak pekerja seprofesi. Internet, milis, aplikasi dan banyak lagi yang menjamin supply lonte lanang berkesinambungan.
Biasanya mereka menawarkan dua macam layanan: out call atau in call. Di tempat pelanggan atau di tempat si pelacur. Harganya beda. Biasanya lebih mahal kalau kita minta datang, sebab aneka alasan jarak dan fasilitas. Pelanggan ndak perlu menyebutkan preferensi posisi seksual mereka, karena kebanyakan bersedia jadi bottom atau top atau posisi kreatif lain di lapangan. Alat kontrasepsi dan status medis boleh kita diskusikan di depan. Ini bisnis transparan dan cukup tua di bumi. Aturan administrasinya jelas dengan SOP yang baik. Sayang, ndak ada test-drive dan layanan purnajualnya.
Bisa jadi banyak level di luar sana. Dari kelas Pantura sampai Istana. Namun, sejauh 32 minggu, 22 pelacur, dan Rp. 38 juta termasuk penginapan yang aku habiskan; harga rata-rata satu pelacur per malam sekitar Rp. 600 ribu. Rentangnya dari Rp. 200 ribu sampai Rp. 1,5 juta. Ini statistik 4 tahun lalu ya.
Menyedihkan, jika harus dibandingkan dengan pelacur perempuan yang bisa pasang harga dari gratis sampai milyaran rupiah. Aku sempat hampir bikin gerakan emansipasi lonte lanang. Menuntut kenaikan upah per malam. Hampir, sampai satu kenyataan statistik lain muncul: hanya 5 di antara 22 orang ini yang menjadikan jualan sex sebagai profesi. 17 sisanya punya profesi lain. Model, barista, pengelola keuangan, pegawai bank, sebutin aja lainnya. Melacur cuma sampingan. Sekedar freelance menambah kocek atau, ya, kepuasan. Bandingkan dengan pelacur perempuan. Saking profesionalnya, ada yang naik takhta Cendana.
Sekarang soal Cinta. Pertanyaannya: “Kamu pernah jatuh cinta dengan pelanggan? Atau sebaliknya?” Biasanya, obrolan kami jadi lancar. Semacam ice-breaker untuk wawancara sistem kerja dan urusan teknis lainnya. Soal Cinta, mereka semua punya pengalaman. 80%-nya pelanggan yang jatuh cinta, terobsesi, bahkan menyakiti. Sebagai pelacur, muka, badan dan penampilan harus prima. Jatuh cinta sifatnya alami dengan ketertarikan dan layanan yang memuaskan.
Semua sepakat, kasus terberat bukan dari pelanggan, tapi jika mereka sendiri yang jatuh cinta. Mereka percaya, ndak jatuh cinta adalah bagian dari profesionalisme kerja. Nama-nama selanjutnya, samaran ya.
Daniel bilang “Jangan sampe deh. Banyak yang udah punya istri juga.” Lalu Andre, “Kita ini kan cuma untuk iseng…”
Bagi 30% persen pelacur yang aku wawancarai, sudah punya cintanya sendiri. Istri maupun pacar. Urusannya jadi rumit untuk 70% sisanya, karena “ndak jatuh cinta” membutuhkan usaha luar biasa.
Wisnu pernah jatuh cinta pada pelanggannya, seorang dosen di UI, pria beristri, punya 2 anak. Pelanggannya ini cukup puas dengan Wisnu. Secara berkala mereka tidur bersama. Sampai akhirnya ndak lagi melibatkan uang. Ndak satupun dari mereka menyatakan cinta selama dua tahun berjalan. Wisnu bilang, ndak terasa. Tiba-tiba udah dalam. Cintanya berbalas. “kita berdua jatuh cinta, tapi nggak bilang. Takut. Tapi sama-sama tau. Jadi, dijalanin aja. Sampe dia bilang istrinya kanker.”
Dari sana Wisnu punya tiga pilihan. Mundur, bertahan atau berjuang. Mundur, dengan sadar pria yang ia cintai punya istri dan menjelang ajal. Bertahan, dengan sepenuhnya bergantung keputusan pria yang ia cintai. Atau berjuang merebut pria yang ia cintai, toh istrinya akan pergi. Wisnu memutuskan untuk bicara. Setelah 3 tahun berhubungan, akhirnya mereka bicara soal cinta. Laki-laki itu bilang; “Aku butuh kamu…”
Bagi Wisnu, kalimat itu jadi pembenaran untuk pilihan kedua, bahkan ketiga. Satu tahun lagi mereka jalani. Pertemuan ndak melulu sex. Kadang hanya makan malam, atau pelukan, atau mengerjakan pekerjaan masing-masing di ruangan yang sama. Di tahun kelima, istri pria yang ia cintai selamat dari kanker payudara.
Wisnu sadar, harusnya ia ambil pilihan pertama sebelum pria itu bilang: “Istriku sembuh Nu. Aku nggak mau kehilangan dia…..” dan pergi.
kasi tau ya kak kalo udah ada yg bisa test-drive dan ada layanan purnajual wkwkwk
SukaDisukai oleh 1 orang
OK!
SukaSuka
Dan aku jadi scrolling path nya kak
SukaDisukai oleh 1 orang
Panteees kok kamu komentarin post 3 taun laluuu
SukaSuka
Kuraaang banyaaak ceritanyaaaa
SukaDisukai oleh 1 orang
Apa mau tak ceritain bagian sexuil nyaa?
SukaSuka
Ahh pahiit :(. Kenapa cinta selalu menempatkan diri di posisi yang sulit sih. Patah hati ga mengenal gender.
SukaDisukai oleh 1 orang
Aduh ini sedih 😦
Sebel deh sama suwamik suwamik yang bikin para single gini berharap.
SukaDisukai oleh 1 orang