SEUMUR-UMUR, baru pertama kali naik kereta api akhir pekan lalu. Jadi, maklum aja kalau rasa-rasanya ada banyak hal yang sayang untuk dilewatkan dengan tidur di perjalanan. Ya… yang dilihat, yang disentuh, yang dirasakan, apa pun itu. Minimal diperhatikan, benar-benar dialami sepenuhnya, meski barangkali rada terlihat udik.
Seperti ketika kereta masuk ke terowongan di bawah suatu bukit, atau saat melintas agak pelan di rel samping jurang curam. Kalau enggak salah sih kelihatannya begitu, jalur rel berada di ketinggian. Entah di mana daerahnya.
Saat momen itu berlangsung, refleks mbatin: “Pekerja yang bikin rel di sini pasti berkah banget! Mbangunnya pasti susah, tapi terus dipakai sampai sekarang.”
Enggak kebayang betapa sulit proses pembangunannya dulu. Jalur rel yang menembus perut bukit, maupun yang ditopang struktur mirip jembatan dari dasar jurang. Menjadi buah karya yang tak ada habis-habisnya; selama masih ada kereta api yang melintas di jalur rel tersebut; selama tetap ada ratusan atau ribuan orang yang diantar pulang ke kampung halaman.
Dari momen tersebut, saya jadi berpikir bahwa seseorang sebenarnya bisa hadir menjadi berkah bagi orang lain, begitu pun sebaliknya. Berkah yang hakiki, bukan sekadar urusan uang, bukan sekadar urusan meminta dan memberi/membagi. Seringkali bahkan tanpa disadari, tanpa disengaja, dan tentu saja tanpa pamrih.
Kembali ke jalur rel kereta api tadi. Mereka yang dahulu bekerja membangunnya secara riil, mulai dari para insinyur dan ahli teknik, sampai para kuli pemecah dan penghambur batu mungkin hanya bersikap realistis. Mereka tahu bahwa tanggung jawabnya membanting tulang memutar otak akan diganjar gaji dan penghasilan. Itu saja. Padahal ada jutaan orang, setidaknya para penumpang kereta api, yang patut berterima kasih atas hasil pekerjaan mereka.
Bagaimana caranya? Yang jelas enggak mungkin dengan mendatanginya satu per satu, atau nyekar di kuburan mereka juga sih. Namun bisa jadi cukup hanya dengan memunculkan rasa bersyukur di dalam hati, rasa berterima kasih, dan mempertahankannya selama mungkin–minimal sepanjang berada di kereta–sampai akhirnya digantikan dengan perasaan positif lainnya.
Tak hanya itu, cara pandang mengenai keberkahan hidup antara sesama manusia ini terjadi dalam segala situasi. Termasuk dalam keadaan yang tidak mengenakkan sekalipun, selama masih melibatkan akal budi.
Ketika ada orang yang berbuat jahat, akan ada orang-orang lain yang menyadari bahwa kejahatan tersebut tidak sepantasnya dilakukan. Berkah kemanusiaan.
Ketika ada orang yang bodoh dan bertindak tercela, akan ada orang-orang lain yang belajar untuk tidak melakukan tindakan serupa karena dampaknya. Ini juga berkah kemanusiaan.
Bukankah ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan? Iya, betul banget. Tak ada jaminan bahwa semua orang bisa bersikap seperti ini; menghargai orang lain sebagai berkah kehidupan, dan membuat diri sendiri menjadi berkah bagi kehidupan orang lain. Selama masih merasa sebagai seorang manusia, hal ini tetap patut dicoba.
Apakah perlu? Terserah pribadi masing-masing. Akan tetapi, konon manusia adalah makhluk paling mulia di bawah kolong langit ini, dan salah satu anugerah kemuliaan itu adalah kemampuan untuk menjadi manusiawi serta melakukan kebaikan, baik lewat pikiran, ucapan, maupun perbuatan. Dalam hal ini, memiliki dan menjaga perasaan penuh kebaikan tentu bermanfaat, bahkan bisa menjadi berkah bagi orang lain.
Toh menjalani kehidupan kan enggak gampang, ringankanlah sedikit dengan tidak berlama-lama menyimpan rasa hati yang susah, yang penuh rasa benci, penuh kelicikan, penuh rasa iri dengki, dan penuh ketidaktahuan yang berisik.
Merasa tidak bisa jadi berkah bagi orang lain dengan berlaku baik? Ya ndakpapa, setidaknya tidak bertindak buruk. Gampang, kan?
[]
udik utk pengalaman pertama kali mah gppa hehe
sy bbrp kali naik kereta jarak jauh…selalu punya cerita dan peristiwa, yg penting enjoy aja
jadi intinya saya sudah berkah blm ya buat sesama? *langsung ngaca diri sendiri
#glek
SukaSuka
Iya, namanya juga pengalaman pertama. Hahaha! 😀
SukaSuka